Bara Ibu Pratiwi

M Musa Al Hasyim
Chapter #15

Bagaimana Sadewa Berubah

Citra tidak menyangka, Sadewa melamarnya begitu Sadewa lulus kuliah. Waktu itu Citra sedang ikut seleksi TKI Hongkong di Jakarta—Pratiwi yang membiayai segala macam urusan perseleksian mulai dari tiket pesawat sampai akomodasi hotel. Citra kaget mendengar permintaan Sadewa. Citra sudah tidak menaruh perasaan apapun kepadanya. Rasa cintanya telah hilang setelah Sadewa pergi merantau ke Jakarta beberapa tahun silam dan dia tidak pernah menghubunginya.

Padahal Citra selalu menunggu kabar dari Sadewa. Citra selalu penasaran dengan kehidupan anak mahasiswa di Jakarta. Citra yang dalam hidupnya tidak pernah bermimpi kuliah—apalagi masuk jurusan Hukum, selalu bertanya-tanya apakah kehidupan kuliah lebih menyenangkan ketimbang kehidupan SMA. Apakah begitu lulus dari jurusan Hukum, Sadewa akan langsung menjadi hakim, jaksa, atau pengacara. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya muncul sekelebat, mampir sebentar lalu menghilang bersama absennya kabar Sadewa, atau sekadar suara Sadewa dari balik layar.

Ada jeda terlalu lama, jeda-jeda itu dibiarkan menganga tanpa kehadiran Sadewa. Ada kalanya Citra menghadapi hari-hari berat dan Sadewa tidak pernah sekadar menanyakan kabar. Ada kalanya Citra bimbang apa yang harus dia lakukan selepas lulus SMA, dan Sadewa tidak pernah bertanya hendak apa Citra setelah ini, Citra bercita-cita menjadi seperti siapa—apakah mimpi Citra masih sama dengan mimpi yang diucapkannya sewaktu kecil. Citra masih mengingat masa-masa indah bermain tanpa beban bersama Sadewa dari waktu kecil sampai remaja.

Citra paling ingat, ia selalu melihat Sadewa bermain permainan anak-anak dengan sungguh-sungguh. Sadewa selalu memenangkan setiap permainan dan tidak mau kalah dalam setiap pertandingan. Citra melihat Sadewa sebagai sosok anak kecil yang tidak pernah takut mewujudkan apa yang ia inginkan.

Ingatan masa-masa kecil sebenarnya masih menyantol mesra di otaknya. Angan-angannya hidup bersama Sadewa waktu itu masih ada. Benar apa kata pepatah, cinta hadir karena terbiasa. Bagaimana Citra menyemai cintanya kepada Sadewa sementara Sadewa sudah tidak pernah berkontak-kontakan dengannya. Sadewa seperti menghapus nama Citra dari otaknya kemudian begitu Citra berada di Jakarta—Sadewa mendadak teringat Citra dan langsung melamarnya.

Wanita mana di dunia ini yang tidak kaget dan terkejut. Sadewa yang telah melupakannya tiba-tiba melamarnya. Apakah waktu itu Sadewa hanya bercanda, atau Sadewa sebenarnya sedang memainkan perasaannya. Jika Citra bisa membaca pikiran Sadewa, tentu semua akan lebih mudah. Citra merasa aneh dengan lamaran itu. Seharusnya Sadewa mengajaknya berkenalan lagi, mengajaknya bernostalgia lagi, dan seharusnya Sadewa menjelaskan atau meminta maaf telah mengabaikannya selepas ia pergi merantau ke Jakarta untuk berkuliah.

***

Waktu itu Sadewa mengajak Citra bertemu di sebuah kafe elit di daerah Kemang. Citra yang sehabis ujian, langsung bergegas menuju kafe yang seumur hidup baru ia datangi. Citra tidak pernah bertandang ke kafe seperti itu di Bukit Surgawi, hanya ada warung-warung kopi sederhana di desanya. Perbedaan warkop dengan kafe elit di Kemang sangat jauh bagai bumi dan langit. Warkop sederhana di Bukit Surgawi hanya menyediakan kopi seduhan saset, kursi dan meja memanjang dengan satu televisi tabung di tengah. Harga-harganya bersahabat dengan kantong petani atau anak petani seperti dirinya. Meski begitu, Citra tidak pernah bosan atau merasa malu mengunjungi warkop yang didominasi oleh bapak-bapak petani selepas pulang dari sawahnya.

Sementara kafe elit di Kemang menyediakan berbagai jenis kopi yang baru Citra dengar—ada kopi Amerika, Vietnam, kopi Latte, dan kopi dengan takaran gula sesuai selera. Terdapat kursi dan meja berhadapan di dalam kafe dengan ruangan berpendingin udara, alunan musik Barat mengalun keras, dan ada banyak pegawai-pegawai lincah di dalamnya. Citra baru menemukan suasana semacam itu. Jika bukan Sadewa yang mengajak, barangkali Citra tidak akan pernah singgah di kafe khusus orang-orang berduit itu. Selain uangnya yang tidak bakal cukup, Citra lebih memilih memesan banyak pesanan di warkop kesukaannya di Bukit Surgawi. Di warkop itu, Citra juga belajar banyak dari petani-petani tangguh, petani yang tidak kenal menyerah, petani yang memberinya napas-napas kehidupan melalui padi-padi yang ditanam.

Citra agak canggung berada di tengah orang-orang kaya. Sadewa sudah menunggunya di kursi bagian pojok. Awalnya Citra tidak menyadari bahwa sosok itu adalah Sadewa. Sadewa tidak seberisi itu. Kulitnya tambah putih dan wajahnya tidak dekil seperti dulu lagi. Perubahan fisik juga mengiringi perubahan sikapnya. Kata-kata pembuka dari Sadewa sudah sangat bisa menuntun Citra untuk menyelami kepribadian Sadewa yang berubah.

Lihat selengkapnya