Bara Ibu Pratiwi

M Musa Al Hasyim
Chapter #17

Menjadi Ibu untuk Ketiga Kalinya

Pagi itu meski Pratiwi kurang tidur, semangatnya tidak luntur. Pratiwi justru merasa bahwa dirinya telah hidup kembali. Sejak Bumi meninggal dunia, Pratiwi memang kedapatan murung dan hawanya selalu terpuruk ditambah lagi dengan kematian Sekar—langkah kakinya pun memberat seperti ada tumpukan batu gunung di tumit kakinya. Pagi yang baru ini, batu-batu itu lenyap seketika. Pratiwi merasa bahwa dirinya harus menjadi cahaya, menyinari orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan cahaya dan semangat dari Pratiwi—baik sebagai ibu maupun sebagai sahabat.

Ada dua wanita terluka sedang berada di rumahnya, satu terluka karena ibunya baru saja meninggal dunia, satunya lagi karena perlakuan semena-mena dari suaminya. Kehadiran Citra dan Maya merupakan obat paling manjur—Pratiwi tidak akan menemukannya di apotek terdekat langganannya. Dan kini Pratiwi berperan sebagai dokter yang mengobati kedua perempuan sakit hati itu setelah dirinya benar-benar sembuh.

Pratiwi merasa dirinya seperti melahirkan dua manusia baru—kembali menjadi seorang ibu yang harus senantiasa menjaga dan merawat buah hati—melindunginya dari rasa takut dan kondisi tidak nyaman.

Dulu Pratiwi memang salah, dia terlalu berharap memiliki anak perempuan. Bahkan sebelum Nakula lahir dari rahimnya, Pratiwi sudah menyiapkan nama perempuan untuknya. Waktu itu Pratiwi tidak mengandalkan USG kehamilan karena memang alat itu belum tersedia di Kalimantan Timur. Pratiwi hanya mengandalkan mitos yang beredar. Mitos itu mengatakan jika perempuan tengah hamil terlihat lebih kusam dan kurang cantik di mata suaminya, maka janin itu dipastikan berjenis kelamin perempuan. Katanya, kecantikan si ibu hamil diserap oleh bayi di dalam perutnya sampai habis. Sang suami akan menikmati kecantikan si istri lagi begitu bayi itu lahir ke dunia. Pratiwi percaya saja dengan mitos itu.

Pratiwi juga sudah membelikan beberapa baju khusus bayi perempuan. Sementara Putu menginginkan anak laki-laki. Keinginan Putu terkabul, Pratiwi tidak memendam secuil pun perasaan kecewa, hanya saja ia menyesal kenapa ia terlalu berharap lebih dan kenapa ia terlalu percaya pada mitos yang nyatanya sering terbantahkan itu. Pratiwi menerima Nakula sebagai bagian anugerah terindah, sebuah hadiah dari Tuhan. Tak apa bukan perempuan, asalkan itu memang Nakula. Asalkan dia sehat dan menjalani hari-hari dengan suka cita. Nakula memenuhi kriteria-kriteria itu.

Pada kehamilan kedua, Pratiwi mengulangi pengulangan pertama. Ia tidak tega membuang baju khusus perempuan yang dulu pernah dibelinya. Ia pun kembali mencatat daftar nama-nama bayi perempuan yang cocok untuk anak keduanya. Di kehamilan kedua, Putu justru sepaket dengan Pratiwi. Ia sama-sama menginginkan anak perempuan, biar lengkap katanya—satu laki-laki sisanya perempuan. Kakak laki-laki diharapkan dapat melindungi adik perempuan. Baik Pratiwi maupun Putu harus menerima keputusan Tuhan, Pratiwi melahirkan bayi laki-laki yang kemudian mereka namai Sadewa.

***

Di rumahnya kini, dua perempuan sedang rebahan di ranjang. Citra tidur sekamar dengan Maya. Dua perempuan itu sudah Pratiwi anggap sebagai anaknya sendiri mulai hari ini. Barangkali ini adalah jawaban Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa suatu saat kelak Pratiwi akan diamanahkan dua anak perempuan. Harapan masa lalu Pratiwi baru terjawab sekarang. Pratiwi tidak peduli mereka lahir dari rahim siapa, pertanyaan itu tidak penting. Hal terpenting saat ini adalah bagaimana menjamin rasa aman dan nyaman bagi keduanya. Pratiwi mensyukuri kedatangan Citra dan Maya di rumahnya. Ia berharap mereka berdua mau menetap lebih lama, kalau bisa selama Pratiwi hidup, sebagai teman cerita dan teman di masa tua. Toh Sadewa, anak satu-satunya tidak akan pernah mau kembali ke rumah penuh kenangan di Bukit Surgawi itu.

Pratiwi segera menuju dapur, ia menyiapkan minuman hangat, teh melati dengan aroma menyegarkan. Tradisi membuat teh di pagi hari adalah rutinitas yang dilakukan secara turun-temurun. Dalam ingatan masa kecil Pratiwi, ibu dan neneknya tidak pernah absen membuatkan teh di pagi hari sebelum seluruh anggota keluarga beraktivitas dengan kegiatannya masing-masing. Pratiwi ingat betul, dulu ibunya terlihat cantik dan bersahaja saat menyediakan teh untuknya. Ada semacam aura berseri-seri turun dari langit saat seorang perempuan menyiapkan teh untuk orang terkasih.

Tradisi minum teh di pagi hari selalu Pratiwi bawa ke Kalimantan. Setiap kali ia membuat teh, kenangan masa-masa yang telah lalu seolah hidup. Pratiwi damai hanya dengan menghirup aroma teh yang nantinya akan ia suguhkan kepada orang-orang tersayang. Secangkir teh mampu menghangatkan jiwa-jiwa kelelahan akan hidup, mampu mengangkat beban-beban berat dalam hidup. Tuhan Maha Adil menciptakan teh dan melimpahkannya di bumi Nusantara.

Pratiwi juga memasak Nasi Kuning Samarinda. Semenjak tinggal di Kalimantan Timur, Pratiwi selalu mau belajar hal-hal baru, termasuk berkenalan dengan kuliner daerah. Nasi Kuning Samarinda adalah salah dari sekain banyak makanan daerah favoritnya. Nasi kuning memang banyak tersebar di berbagai daerah—baik Nasi Kuning Samarinda maupun nasi-nasi kuning daerah lain sama-sama memiliki bumbu-bumbu dasar yang sama yakni kunyit, serai, dan daun pandan—namun Nasi Kuning Samarinda seolah punya magnet tersendiri, Nasi Kuning Samarinda punya citra rasa khusus dan spesial. Terdapat lauk iwak haruan atau ikan gabus yang dimasak merah atau masak habang sebagai sajian wajib pada Nasi Kuning Samarinda. Nasi Kuning Samarinda memiliki tambahan lauk lain seperti telur, ayam, ikan, tempe, mentimun, dan tomat yang umumnya sama dengan nasi-nasi kuning di daerah lain.

Pratiwi memang tidak punya kuasa seperti Sadewa, tapi di dapur ia adalah rajanya. Pratiwi bebas mengkreasikan makanan yang akan disuguhkan. Pratiwi punya kuasa atas bahan-bahan yang telah ia beli sebelumnya. Tidak ada seorang pun bisa mengintervensi dirinya di dapur. Barangkali itulah yang melatarbelakangi Pratiwi untuk selalu masak dan mencoba berbagai masakan baik hidangan khas Pulau Dewata maupun Pulau Borneo.

***

Di meja ruang tengah, teh-teh itu sudah siap diminum. Pratiwi menambahkan camilan berupa pisang goreng. Semua bahan sudah Pratiwi beli kemarin.

Pisang goreng panas dengan teh hangat, pagi yang sempurna di mata Pratiwi. Belum lagi hidangan utama berupa Nasi Kuning Samarinda. Pratiwi segera mengajak kedua anak perempuannya untuk bergabung. Pratiwi sengaja tidak meminta bantuan mereka di dapur, ia ingin sajian pagi kali ini sebagai kejutan spesial darinya.

Lihat selengkapnya