Bara Ibu Pratiwi

M Musa Al Hasyim
Chapter #21

Harapan yang Masih Menyala

Bendera merah putih berkibar anggun di sepanjang jalan. Angin sore menyapu wajah Pratiwi seolah ingin menceritakan tentang kisah perjuangan yang tak pernah padam. Suara tawa anak-anak yang mengikuti lomba antar desa di lapangan kota kecamatan menerobos masuk ke gendang telinganya. Pemandangan itu sungguh indah.

Andai Bumi masih hidup, barangkali ia menjadi salah satu dari anak-anak yang berada di sana. Bumi pasti akan naik podium, lalu begitu pulang dari kota kecamatan, Bumi akan memamerkan piala itu kepada Pratiwi. Bumi yang suka bercerita akan langsung menghujaninya dengan cerita-ceritanya kenapa ia bisa menang. Suara anak-anak itu berganti menjadi suara tawa Bumi. Bumi dan Nakula—mereka memiliki tawa yang sama. Guratan di bibir Bumi seperti duplikat utuh dari Nakula. Ketika Pratiwi mengingat Bumi maka Pratiwi juga akan mengingat Nakula.

Pemandangan lapangan berganti ke sawah-sawah hijau yang lolos dari cengkeraman perusahaan tambang batu bara. Pratiwi menyaksikan semuanya dengan jelas di balik jendela mobil—tepat di hari kemerdekaan Pratiwi telah menghirup udara bebas setelah mendapat remisi. Pratiwi tidak mendekam setahun penuh di penjara. Ia dianggap berperilaku sopan dan berkelakuan baik selama tinggal di penjara. Itulah sebabnya kenapa ia mendapatkan remisi bebas.

Penjara bukanlah sebuah musibah bagi Pratiwi. Pratiwi bertemu kawan senasib baru dan pelajaran hidup yang barangkali tidak bakal ia temui jika ia tidak merasakan dinginnya lantai sel. Setelah keluar dari penjara—sesuai janjinya dulu—Pratiwi akan lebih aktif membela kaum-kaum tertindas. Awal langkah perjuangan Pratiwi disambut meriah oleh iring-iringan desa. Mereka berbaris memanjang, dari gerbang desa menuju rumah sederhana Pratiwi. Masing-masing peserta iringan membawa bendera plastik merah putih kecil di tangan.

Pratiwi dijemput Green Calm dan Alibi menggunakan mobil khusus. Begitu sampai di gerbang desa, Pratiwi keluar dari mobil—memilih berjalan kaki— ia memberi senyum langsung kepada iring-iringan hangat itu.

Mereka menyoraki dan memberinya tepuk tangan bangga tiada henti. Pratiwi seperti pahlawan yang habis pulang dari medan perang padahal ia baru saja keluar dari penjara. Jika saat ini Pratiwi berusia di bawah tiga puluh lima tahun dan hendak melamar kerja sebagai calon aparatur sipil negara, Pratiwi dipastikan tidak akan lolos seleksi administrasi karena ia tidak mungkin mendapatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari pihak kepolisian. Barangkali definisi pahlawan sudah berubah di masyarakat. Pahlawan bukan semata-mata mereka yang berada di garis terdepan perang melawan bangsa lain atau mereka yang berkelakuan baik di mata polisi—pahlawan adalah mereka-mereka yang melindungi lingkungannya dari kerusakan alam dan berjuang menegakkan keadilan. Barangkali Pratiwi masuk ke dalam kriteria itu.

Bukit Surgawi tidak banyak berubah. Rumah-rumah yang dulu Pratiwi lewati masih berdiri kokoh, bentuknya masih sama, tidak berbeda dari yang lama. Jalanan yang dilalui Pratiwi pun tidak ada yang dibenahi, kondisinya sama persis tidak ada yang berubah, masih terlihat banyak lubang di sana sini akibat dilalui oleh truk-truk besar pengangkut batu bara. Beberapa tambang batu bara terbuka masih beroperasi, hanya sebagian kecil yang ditutup karena terbukti tidak sah atau ilegal di mata hukum. Tidak ada perubahan mendasar di Bukit Surgawi, bahkan kolam keruh tempat berendamnya dedemit batu bara masih dibiarkan begitu saja—benar adanya bahwa perusahaan tambang batu bara masih kokoh perkasa. Hanya saja ada satu yang benar-benar baru dan tidak Pratiwi saksikan sebelum ia masuk penjara.

Pratiwi disambut kedatangan penghuni baru di rumahnya. Tidak hanya satu, tapi dua sekaligus—dua bayi baru saja dilahirkan di rumahnya.

Maya, menantunya, baru saja melahirkan dua bayi kembar berkelamin perempuan di rumahnya. Dunia kadang suka sebercanda itu kepadanya. Pratiwi dulu pernah menginginkan anak perempuan dan menebak anaknya bakal perempuan, sekarang menantunya melahirkan dua anak perempuan. Bayi yang masih merah itu terlihat mirip sekali dengan Sadewa dan Nakula versi perempuan.

Ibu dari bayi kembar tersebut secara resmi tinggal di rumah Pratiwi. Rumah dan apartemen Sadewa di Jakarta telah disita oleh KPK. Begitu pula dengan seluruh harta kekayaannya. Sadewa telah terbukti melakukan transaksi gelap, beberapa penambangan batu bara di bawah komando Sadewa adalah penambangan ilegal berkedok legal. Perusahaan pusat tempat Sadewa bekerja selamat dari tuduhan, seolah-olah hanya Sadewa yang berperan di dalamnya.

Maya memilih menjadi warga desa Bukit Surgawi. Di desa inilah Maya menemukan kenyamanan dan mendapatkan sosok ibu yang kasih sayangnya jauh lebih besar ketimbang murkanya.

Pratiwi menggendong kedua cucunya. “Apakah kau menamainya sesuai usulku?” Maya mengangguk.

“Namanya Bethari Buana dan Bethari Brigitta. Panggilannya Bebu dan Bebi.”

Sewaktu Pratiwi dipenjara, Maya sering mengunjunginya. Tak luput Maya membawakan makanan kesukaan Pratiwi—apapun yang berupa sayuran. Sementara Pratiwi meredam ketakutan-ketakutan yang menyambangi pikiran Maya ketika ia telah sah menyandang status sebagai seorang janda dan kini menjadi orangtua tunggal tanpa Sadewa. Maya bimbang, bagaimana ia membiayai seluruh kebutuhan anaknya kelak. Apa yang harus ia lakukan, apakah anaknya dapat hidup berkecukupan. Pratiwi memberi keyakinan dan motivasi kepada Maya. Pratiwi mengajak Maya untuk berjuang bersama.

Lihat selengkapnya