“Biang, maafkan aku! Sekarang aku baru sadar bahwa aku telah melewatkan banyak momen bersama Biang. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa di sini, aku sendiri, aku rindu masa-masa indah di Bukit Surgawi. Aku rindu Biang, Bapak, Nakula, Bumi, dan semua orang-orang yang tidak akan pernah lelah mencintaiku, apapun statusku kini,” ungkap Sadewa melalui sambungan telepon ke nomor baru Pratiwi. Sebelumnya Sadewa mengirimkan sebuah surat elektronik ke alamat email Pratiwi. Pratiwi tidak pernah menggunakan email itu selain untuk registrasi akun media sosial. Dalam email itu Sadewa meminta Pratiwi membeli nomor ponsel baru, Sadewa ingin menelepon Pratiwi. Ia tidak ingin menelepon ke kontak Pratiwi yang biasanya, Sadewa khawatir ia akan diendus keberadaannya oleh pihak polisi atau KPK.
Pratiwi menuruti permintaan Sadewa. Lagi pula Pratiwi rindu berat kepadanya. Kalau toh Pratiwi tidak bisa melihat langsung wajahnya, setidaknya Pratiwi bisa mendengarkan suara asli Sadewa dari seberang sana, entah di mana.
“Saat ini kau di mana, Dewa?” Sadewa tidak pernah menjawab pertanyaan satu itu. Sadewa masih bersembunyi, ia tidak ingin orang lain datang menjemputnya.
“Apa aku perlu memberi tahu, Biang? Aku rasa ini hukumanku, Biang. Jika nanti aku bereinkarnasi suatu saat kelak, aku tidak ingin menjadi Sadewa yang mendukung perusahaan tambang batu bara. Aku ingin menjadi anak baik, aku akan selalu berjuang bersama Biang. Biang, aku kangen masakan babi gulingnya Biang. Aku tidak menemukan masakan seperti itu di sini. Aku bosan makan roti keras yang itu-itu saja di sini. Aku ingin pulang tapi aku tidak bisa.”
“Serahkanlah dirimu pada pihak berwajib. Meski kau dihukum, Biang masih bisa menengokmu. Biang akan rajin-rajin mendatangimu sambil membawakan babi guling ke tempatmu.”
“Aku tidak mungkin kembali, Biang. Jika aku kembali, aku akan menjadi abu. Pihak perusahaan tidak ingin aku membuka suara. Mereka tidak akan membiarkan diriku bebas lalu bersaksi di hadapan hakim. Di sini aku aman, meski begitu aku sama-sama menerima hukuman di sini. Aku tidak punya uang. Aku menggembel dan menggelandang di sini. Aku juga mengemis di sini, mengemis pada orang-orang asing. Aku sering kejar-kejaran dengan petugas keamanan. Aku juga sebenarnya sedang dihukum di sini, Biang, tapi setidaknya di sini aku bebas aku mau seperti apa, melakukan apa, aku tidak sedang di penjara di sini, bukan?”
“Bukankah lebih aman jika kau pulang ke Indonesia?”
“Kenapa Biang tidak pernah percaya kata-kataku? Mungkinkah ini juga hukuman karena dulu aku pernah membohongi Biang. Aku berbohong pada Biang bahwa nyawaku dalam taruhan, dan kini nyawaku benar-benar dalam ancaman jika aku sampai kembali pulang ke Indonesia.”
“Apa kau tidak rindu sama kedua anakmu. Anakmu lucu dan menggemaskan. Ia mirip denganmu, satunya lagi mirip Nakula.” Pratiwi benar-benar menginginkan Sadewa pulang, pulang ke Indonesia dan menemui kedua anaknya. Padahal Sadewa sudah menjelaskan kepadanya bahwa nyawanya terancam jika ia balik ke Indonesia.
“Biang, sampai kapanpun aku tidak akan menginginkan ada kelahiran-kelahiran di muka bumi. Aku masih setia dengan pemikiran childfree-ku, jika bayi-bayi itu tidak lahir, bumi tidak akan semakin sesak, bumi tidak akan kekurangan pangan, bumi tidak akan rusak, dan bumi tidak akan kebanjiran orang-orang brengsek pelanggar hukum.”
“Dewa, aku tidak bisa memaksamu—mau childfree atau tidak, tapi kau sudah menghamili istrimu, dan itu adalah tanggung jawabmu.”
“Biang, bisakah Biang tidak usah mengungkit kedua anakku itu. Aku hanya ingin Biang mendengarkan ceritaku, itu saja. Aku ingin merasa lega, di sini tidak ada satu pun orang mau mendengarkanku, mereka berbeda bahasa denganku. Aku tidak bisa bahasa mereka, kalau toh aku bisa, siapa mau berbicara dengan orang asing sepertiku. Mungkin ini adalah telepon pertamaku sekaligus terakhir dariku. Aku tidak akan menghubungi Biang lagi setelah ini. Bisa, kan, Biang?”
“Dewa apa maksudmu? Biang mau kok membeli kartu perdana setiap hari, asal Biang bisa meneleponmu.”