Ratri memeluk erat tubuh ibunya yang bersimbah darah. Kedua mata wanita yang telah melahirkan dirinya itu terpejam. Sementara tak jauh darinya, bapanya pun tergolek tak bernyawa. Darah merembes dari leher lelaki paruh baya itu yang tergorok. Kedua mata lelaki itu menatap nyalang, tak sempat terpejam.
Seorang lelaki berewok menyarungkan goloknya yang berlumuran darah. Menatap Ratri, lelaki itu menyeringai. “Sekarang siapa lagi yang akan melindungimu, Cah Ayu?” ujarnya. “Bapa-ibumu yang baru saja kujadikan mayat itu? Hahaha!” Lelaki itu tertawa diikuti oleh anak buahnya.
“Biadab kau, Madin!” teriak Ratri. "Hanya karena lamaranmu kutolak, kau melakukan hal sekeji ini. Kaupikir orang sepertimu pantas menjadi suamiku, ha?!"
“Jangan salah sangka, Ratri,” ujar Madin seraya terkekeh. “Aku memang kesal kau menolak lamaranku tempo hari. Tapi, bapamu itu sudah membuat ulah dengan Juragan Darwo. Kalau bapamu itu tidak lancang mengadukan Juragan Darwo kepada Gusti Adipati, Juragan Darwo tak akan semarah itu. Dan, tentu aku tak akan menghabisi bapamu. Lagi pula, memang sejak dulu bapamu itu kerap menjadi sandungan bagi Juragan Darwo.”
Penuturan bramacorah itu mengingatkan Ratri pada alasan bapanya mengadu kepada Gusti Adipati dan akibat yang ditanggung oleh Juragan Darwo. Pria culas itu memang pantas mendapatkan hukuman. Kabarnya, Gusti Adipati menyita tanah yang dikuasai oleh Juragan Darwo dan mengembalikannya kepada warga yang merupakan pemilik asli petak-petak tanah tersebut.
Madin mengangkat bahu. “Mau bagaimana lagi,” ujarnya, “memang sudah nasib bapamu mati di tanganku.”
Ratri menatap Madin jijik. “Kau benar-benar menjijikkan! Memangnya, berapa kepeng yang diberikan lubdhajana itu untuk menghabisi bapaku?”
Sekali lagi Madin terkekeh. “Mulutmu memang pedas, Ratri. Tapi, sekali lagi kau salah. Pikirmu aku melakukannya hanya demi uang yang tak seberapa itu? Kau benar-benar picik.”
Madin mengedikkan kepala, memberi perintah tanpa suara kepada anak buahnya. Mengerti, dua dari pengikut Madin mendekati Ratri. Mereka kemudian mencekal kedua lengan Ratri dan memaksa gadis itu berdiri.
“Lepaskan!” seru Ratri seraya berusaha melepaskan diri. Namun, tentu saja tenaganya tak ada apa-apanya dibanding dua anak buah Madin.
“Tenanglah, Cah Ayu.” Madin mendekat. “Kau tidak ingin tahu hadiah apa yang kudapat setelah menghabisi bapa biyungmu?” ujarnya seraya mengelus pipi Ratri, membuat Ratri risi dan memalingkan muka menghindar.
“Singkirkan tangan kotormu itu, atau—”
“Atau apa?” Madin terkekeh. Dicengkeramnya wajah Ratri kuat-kuat dan diarahkan untuk menatapnya. “Kaupikir kau bahkan punya kekuatan untuk melawan? Huh, gadis cantik yang sombong!”