BARA KESUMAT: Rajah Sapa Pati

Mega Yohana
Chapter #4

DUA: Banaspati

Udara panas yang sesak membangunkan Ratri. Dia terbatuk-batuk, terlalu banyak asap terhirup. Masih gemetar, Ratri berusaha meloloskan tali yang mulai kendur di pergelangan tangannya. Dadanya sesak, hidungnya menghirup terlalu banyak udara tercemar, dan dia terus terbatuk-batuk. Namun, Ratri tidak menyerah. Setelah berhasil melepaskan tangannya dari tali yang mengikat, dia menyeret tubuhnya keluar dari bilik. Api berkobar memenjarakannya. Kasau yang terbakar mulai berjatuhan menimpa lemari, kursi, dan menimpa apa saja di bawahnya. Di antara api yang berkeletak-keletak dan rumah yang mulai runtuh, Ratri masih berusaha menyeret tubuhnya menuju pintu keluar.

Tidak, pikir Ratri, aku tidak akan mati dengan cara seperti ini.

Ratri bangkit berdiri. Dadanya makin sesak, matanya begitu pedih, dan tubuhnya terasa terkoyak-koyak, tetapi Ratri tidak menyerah. Dengan segenap tenaga, dia berlari menerobos kasau yang jatuh melintang di pintu belakang rumah. Gadis lima belas warsa—yang tak lagi gadis—itu terengah-engah, akhirnya dapat lolos dari kobaran api. Dia kembali menjatuhkan dirinya, menenangkan degup jantungnya seraya menghirup udara segar banyak-banyak. Setelah cukup, Ratri bangkit dan tertatih menuju hutan. Tidak pernah Ratri merasa seberuntung ini memiliki rumah di tepi hutan, yang cukup jauh dari penduduk desa lainnya. Pergi ke desa tentu bukan pilihan yang bagus, orang-orang desa terlalu takut untuk berurusan dengan antek-antek Juragan Darwo. Maka, satu-satunya pilihan adalah pergi ke hutan.

Terseok-seok, Ratri terus menembus kegelapan hutan. Semak-semak berduri dan rumput-rumput tinggi melecuti kaki, lengan, juga wajahnya. Namun, Ratri tak peduli. Dia mempercepat langkah hingga kemudian berlari masuk makin dalam ke hutan. Ketika rasanya sudah lama sekali berlari, dia berhenti. Ratri beristirahat di bawah pohon besar yang akar-akarnya menyembul keluar. Malam itu dingin, tetapi peluh membanjiri tubuhnya.

Bersembunyi di celah-celah akar pohon, Ratri menangis. Perempuan—sebaiknya mulai sekarang kita sebut begitu—lima belas warsa itu tersedu-sedu di sana. Bayangan ketika Madin dan anak buahnya menghabisi bapa dan ibunya tergambar jelas di dalam benaknya. Mata bapanya yang tak sempat terpejam karena lebih dulu tercerabut nyawanya... dan ibunya dengan perut menganga bersimbah darah. Lalu, seringai Madin ketika menyentuhnya. Dan, setelah itu... anak buahnya bergiliran—

“Biadab!” geram Ratri. “Manusia biadab!”

Ratri ingin berteriak, meraung, menggugat Sang Dewa yang telah menimpakan tragedi kepadanya. Namun, dia tahu diri. Menggugat Dewa hanya akan mendatangkan malapetaka. Lagi pula, hutan adalah rumah bagi makhluk-makhluk buas. Dia tak ingin mengundang mereka makan malam. Tidak, dia harus bertahan hidup untuk membalaskan dendam orang tuanya. Dia harus hidup untuk mencincang Madin dan semua orang biadab yang perilakunya lebih rendah daripada binatang paling rendah sekalipun. Ratri. Harus. Hidup.

Bunyi kerisik membuat Ratri menegang di tempatnya. Pelan… mencekam. Seketika, Ratri curiga itu bunyi langkah binatang berkaki empat yang tengah mengendap-endap mengintai mangsa. Suara geraman lirih menguatkan dugaan perempuan yang kain penutup tubuhnya koyak-koyak itu. Lalu, mata mengilap yang muncul dari balik semak-semak makin memperjelas semuanya. Sepasang. Dua pasang. Tiga….

Mata-mata yang berkilat lapar itu mendekat. Pelan… mencekam. Tubuh-tubuh sewarna kunyit dengan garis-garis putih dan hitam tampak di bawah cahaya remang śaśadhara yang menerobos di antara daun pepohonan.

Ratri mematung di tempatnya. Bagaimana bisa? Padahal, Ratri sudah sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara yang dapat mengundang binatang-binatang buas ini. Padahal, ini juga bukan bulan purnama. Bukan juga bulan gelap. Namun, kenapa binatang-binatang ini langsung menemukannya? Mereka tidak seharusnya keluar pada saat seperti ini!

Ratri sering menemani bapanya memasuki hutan. Akan tetapi, tidak pernah sekali pun bertemu macan. Apalagi sampai tiga seperti ini. Macan bukanlah binatang yang biasa berkelompok. Mereka juga biasanya menghindari manusia. Kecuali… Ratri menatap dirinya sendiri. Hatinya mencelus seketika. Tentu saja binatang-binatang itu dapat mengendus baunya, bau anyir darahnya!

Lihat selengkapnya