BARA KESUMAT: Rajah Sapa Pati

Mega Yohana
Chapter #6

EMPAT: Rajah Api

Menduduki sebuah batu besar, Ratri menatap kaki langit yang jingga membara di ujung barat. Dari atas bukit, tampak olehnya matahari yang telah separuh terbenam. Burung-burung terbang berkelompok kembali menuju sarang.

Mengembuskan napas, perempuan lima belas warsa yang semula terkenal sebagai kembang desa dari Desa Pariamba itu mengenang kembali nasib buruk yang telah menimpanya. Ya, ingatan tentang tragedi kemarin masih tergambar jelas di dalam benak Ratri. Ditambah lagi, dirinya yang kini tak lagi gadis. Tanpa sadar air mata Ratri mengalir.

Ya, Dewa, lelaki mana yang akan bersedia memperistri perempuan semacam ini? Ratri terisak-isak. Sudah tak memiliki orang tua, tubuhnya pun penuh kotoran akibat tangan-tangan bejat bramacorah-bramacorah yang bercokol di Desa Pariamba. Mengingatnya, kesedihan Ratri menjelma menjadi rasa muak. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat. Geram. Dengan mengingatnya saja membuat kemarahan perempuan itu membuncah.

Orang-orang seperti Madin… tidak layak hidup di bumi ini. Mereka serupa penyakit. Seperti gulma. Jika dibiarkan, mereka akan berkembang makin banyak dan membuat tanaman utama mati. Hanya satu yang bisa dilakukan untuk mencegahnya, yaitu dengan menumpas mereka. Ya.

Mereka.

Harus.

Binasa!

Angin senja berembus menggerakkan rambut panjang Ratri yang sehitam jelaga. Angin itu seolah-olah ingin meredam bara di dada Ratri. Namun, bara itu terlalu besar, membakar dada perempuan berkain cokelat itu hingga sesak.

Ratri menyeka air matanya. Rasa sakit ini… dia akan membalasnya!

Udara di samping Ratri bergerak-gerak, tampak gelisah. Seolah-olah, sesuatu tengah menikam udara itu, membuat lubang untuk menembusnya. Lalu, setitik lelatu memercik di sana, mengambang di udara. Dalam sekedipan mata, lelatu itu membesar dan membara sebelum kemudian redup dan menampakkan sesosok laki-laki muda yang berdiri tegak di samping Ratri.

“Aku akan mengatakan ini terlebih dahulu,” ujar Runjung Alas, si laki-laki jelmaan banaspati. Dia menatap jauh ke cakrawala saat melanjutkan, “Dengan mengucapkan sumpah ini, kau menjadi tumbal atas dendammu. Tak ada jalan mundur bagimu. Karena setelah sumpah terucap, selamanya aku terikat kepadamu dan kau terikat kepadaku. Itu berarti, meski dendammu kepada orang-orang itu telah tercapai, kau tetap harus memberikan angkara sebagai makanan untukku. Dan, tak ada yang dapat memutus ikatan sumpah ini kecuali kematian. Kematianmu, atau kemusnahanku. Apa kau menerima semua ini, Ratri?”

Lihat selengkapnya