BARA KESUMAT: Rajah Sapa Pati

Mega Yohana
Chapter #9

TUJUH: Ki Ajar Wenang

Begitu kakinya menjejak tanah, Ratri langsung menjauhkan diri dari Runjung Alas. Pemuda dari golongan kalanāsura itu baru saja memberikan Ratri pengalaman baru: terbakar.

Pagi tadi usai Ratri membersihkan diri di sungai, Runjung Alas mengatakan bahwa perempuan itu harus belajar olah kanuragan. Dan, itu dimulai hari ini juga. Belum hilang kekagetannya, Runjung Alas telah menarik Ratri. Api berkobar seketika dari tanah di bawah kaki Runjung Alas, membakar dirinya dan Ratri. Meski sempat berteriak, Ratri tak memiliki kesempatan untuk melepaskan diri dari api yang membungkus tubuhnya. Dia merasakan panas dari api itu. Saat dia kira dirinya meleleh, yang terjadi justru di luar dugaan. Tubuhnya melebur bersama api Runjung Alas. Seolah-olah, dirinya adalah api itu sendiri. Lalu dalam sekejap, mereka lenyap bersama embusan angin, meninggalkan udara kosong di tempat semula mereka berdiri.

Ratri menatap sekelilingnya. Tempat dirinya berada kini cukup lapang. Rumput dan berbagai jenis semak membentang dengan subur. Hanya terdapat satu-dua pohon berkayu di sini meski perbukitan yang mengitari tanah ini terlihat cukup sesak oleh pepohonan yang rimbun.

“Lembah Maruta.” Runjung Alas menjawab rasa penasaran Ratri sebelum perempuan itu bertanya apa pun.

Ratri mengangguk paham. Sesuai namanya, angin dingin bertiup cukup kencang di lembah ini.

“Kakang akan mengajariku berlatih bela diri di sini?” Ratri bertanya cepat, sedikit malu memanggil Runjung Alas dengan sebutan itu. Bagaimanapun, panggilan itu seperti menyiratkan sebuah keakraban. Namun, akan terasa tidak sopan kalau Ratri hanya menyebut "kau" atau lebih-lebih memanggil nama. Dia sadar sudah berlaku kurang sopan kemarin-kemarin, dan tak ingin meneruskan kekurang-ajarannya itu. Setidaknya, panggilan "Kakang" cukup umum digunakan. Maksud Ratri, itu biasa diucapkan seorang adik kepada kakaknya. Atau, tetangga di sekitar rumah. Atau… entahlah!

Ratri menggeleng, mencoba meluruskan kembali pikirannya yang melantur ke mana-mana.

“Tidak, Ratri.” Runjung Alas sedikit mengulum senyum menyadari apa yang ada di pikiran Ratri, tetapi dia pura-pura abai. Perempuan itu akan makin malu kalau ingat Runjung Alas dapat membaca benaknya.

Ratri menatap Runjung Alas penuh tanya. Jika dia tidak akan mengajarinya, lalu untuk apa mereka ke sini? Dan, dari siapa Ratri akan belajar olah kanuragan?

Saat Ratri masih sibuk bertanya-tanya, sebuah suara terdengar sayup-sayup bersama embusan angin.

“Runjung Alas,” kata suara itu, “kau datang berkunjung.”

Runjung Alas melebarkan senyum. “Guru,” sapanya lalu memberi isyarat kepada Ratri.

Lihat selengkapnya