Di ruang kelas, mahasiswa tengah serius memperhatikan Aji berbicara. Dosen satu ini tak pernah menyiapkan materi tulisan atau powerpoint. Ia hanya sesekali menuliskan poin-poin di papan dengan spidol. Selebihnya ia akan berbicara spontan lalu mengajukan pertanyaan untuk merangsang diskusi.
Mahasiswanya tak pernah merasa bosan. Aji pandai menguasai panggung. Penjelasannya tak pernah bertele-tele, dan ia selalu punya stok anekdot sarkas yang jenaka. Apalagi walaupun usianya semakin mendekati 40, Aji masih tampak segar dan penuh energi.
Meskipun sebenarnya, bagi orang yang sudah lama mengenalnya, Aji sudah tidak lagi memancarkan semangat yang sama seperti beberapa tahun lalu. Ada sesuatu yang betul-betul membuatnya terpukul dan kecewa.
“Baik, waktu kita sudah habis. Materi juga sudah selesai. Sekarang saya mau bahas proposal makalah akhir kalian untuk mata kuliah ini,” kata Aji seraya mengambil tumpukan kertas di meja.
“Saya udah baca. Ide kalian itu unik-unik, out of the box, tapi banyak yang gak ada HI-nya.”
Lalu ia membaca satu-satu judul dari tugas itu.
“Analisis Pemilu di Filipina.... Ini, 'kan, politik domestik? HI-nya mana?” tanyanya sambil membuang selembar kertas itu ke lantai dan mengambil kertas yang lain.
“Rencana Arab Saudi Mendiversifikasi Pemasukan Negara.... Ini juga domestik. HI-nya mana?” Satu kertas terbuang lagi.
“Pengaruh Konser Taylor Swift di Bursa Saham Amerika.... HI-nya mana?”
Aji meneruskan sampai membuang hampir sepuluh kertas ke lantai.
Rini sang asisten kelabakan berdiri dan memungut kertas-kertas itu.
“Korelasi Jumlah Monster Pokemon dengan Budaya Je... What the f-k?”
Beberapa mahasiswa tergelak tapi cepat-cepat menahan diri, khawatir dosennya marah. Namun, Aji tampak tak peduli. Ia berkata, “You semua baca lagi materi Pengantar HI, deh. Tidak semua yang berbau luar negeri itu otomatis HI. Kalau sudah semester 5 tapi masih bingung bedain mana yang HI mana yang bukan itu, sih, sudah parah. Kebacut kalau kata orang Jawa Timur.