Bara Segara

Tsugaeda
Chapter #5

Bab 5

Kantor Kementerian Luar Negeri, Gambir, Jakarta Pusat

Satu jam berlalu setelah mereka meninggalkan Cilangkap, Dimas dan Aji telah sampai di Jl. Pejambon No. 6, Jakarta Pusat. Mereka diantar oleh kendaraan TNI yang tadi, tetapi Mayor Irfan ternyata tidak bisa menemani lagi karena dipanggil mendadak untuk tugas lain oleh atasannya.

Aji membiarkan Dimas berjalan duluan dua langkah di depan di kompleks perkantoran para diplomat itu. Sebetulnya ini bukan pertama kalinya Aji menginjakkan kaki di kantor Kemenlu. Ia sering diundang ke sini untuk memberikan materi kepada para diplomat, atau melakukan Focus Group Discussion dengan lingkar pejabatnya. 

Bahkan, menteri luar negeri yang sekarang ini juga sudah dikenalnya dengan baik. Mereka dulu sering berinteraksi ketika Aji kuliah S3 di New York dan Dwi Septiani menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh mewakili Indonesia di PBB.

Setibanya di depan ruang menteri, seorang ajudan mendatangi dan mempersilahkan mereka duduk di ruang tunggu. Namun, ternyata baru juga mereka meletakkan pantat di sofa itu, ajudan tadi sudah kembali. 

“Pak Aji, silahkan masuk. Ibu sudah menunggu.”

Aji menoleh ke Dimas yang ternyata lagi-lagi hanya menunggu di luar.

“Emang lo jagoannya yang ditunggu,” kata Dimas.

Ini baru pertama kalinya Aji masuk ke ruang kerja menteri luar negeri. Sebelumnya ia hanya bertemu Dwi pada acara-acara di luar, seperti gedung konferensi, atau ballroom hotel. Itulah sebabnya ketika masuk ia terpana juga dengan pemandangan di dalamnya. 

Ruangan kerja menteri jauh lebih luas ketimbang dugaannya. Rak buku dari kayu tebal ada di dua sisi ruangan. Karpet merah marun empuk dengan corak emas terhampar. Meja kerja menteri ada di sisi lain yang terjauh. Sementara itu di tempat yang lebih dekat, ada serangkaian sofa untuk menerima tamu. Di situlah Aji melihat tuan rumah sedang duduk bersama dua pria yang memakai setelan jas lengkap.

Dwi berdiri menyambut diikuti oleh dua laki-laki lainnya. 

“Selamat datang, Aji. Finally, kamu lihat ruangan kantor saya. Maaf, saya langsung panggil kamu begitu Dimas tadi laporkan jika rapat di Cilangkap sudah selesai. Karena ada perkembangan terbaru setelah saya berbicara via telepon dengan Presiden. Saya perlu ngomong langsung dengan kamu.”

Setelah menyalami tamunya yang baru datang, Dwi berpaling pada salah satu pria di sebelahnya.

“Aji, ini Pak Budi Sutrisno, Kepala BIN yang baru dilantik tiga pekan lalu. Saya yakin kalian sudah pernah bertemu sebelumnya, tapi sepertinya belum ketika Pak Budi menjabat di BIN, 'kan?”

“Halo, Pak Budi, ya saya masih ingat dulu ketemu waktu masih di Mabes Polri, 'kan? Selamat atas jabatan baru.”

“Terima kasih, Mas Aji. Saya selalu mengikuti kabar Mas Aji.”

“Serem, sih, kalau Bapak yang ngomong,” celetuk Aji.

Begitu giliran bertemu pandang dengan pria yang berikutnya, raut muka Aji berubah masam. Ia pun memberi tatapan kepada Dwi, mengirim pesan, “Kenapa orang ini ada di sini?”

Dwi berkata, “Mas Totok hadir sebagai staf ahli presiden, yang memang khusus ditugaskan dari istana untuk mengawal permasalahan ini.”

“Aji! It’s been a while,” kata Totok dengan muka ceria dan merentangkan tangannya hendak memeluk dosen UI itu. 

Totok masih sama menjengkelkannya seperti yang terakhir Aji ingat. Senyuman mencemooh itu. Nada suara angkuh itu. Kumis jelek itu. 

Aji menepis tawaran rangkulannya, “It’s been a while for a reason,” jawabnya.

“Ayolah. Masa kamu masih pendam terus amarah itu? Orang-orang lain sudah rekonsiliasi, lho. Masa kamu tidak ingat jika kita dulu pernah bekerja sama, dan itu pengalaman yang hebat, bukan?”

Aji tak menggubrisnya.

Lihat selengkapnya