Bandara Internasional Sukarno-Hatta, Cengkareng
Politisi dan birokrat sama saja. Awalnya selalu menjanjikan semuanya akan baik-baik saja, lancar dan mudah. Hal-hal mendetil yang tak menyenangkan akan diberitahukan belakangan. Akibatnya, orang yang tak terbiasa dengan gaya main seperti ini akan kelabakan kemudian.
Aji dongkol malam itu di ruang tunggu Gate 9, Terminal 3, menunggu waktu boarding ke pesawat Emirates sebentar lagi. Bukan karena pesan yang baru diterimanya dari Dwi, bahwa rapat terbatas di istana sudah selesai, dan Presiden memutuskan opsi militer segera disiapkan. Namun, ia kesal karena jalur perjalanannya ternyata lebih rumit daripada yang diberitahukan kepadanya tadi siang. Ia merasa benar-benar sudah dijebak.
Dimas ternyata tidak langsung memberinya tiket pesawat ke Mogadishu, Somalia. Rupanya ia perlu menjemput dulu personil BIN yang dijanjikan akan menemaninya, di tempat lain.
Bagaimana ini? Bukannya tadi bilang personil BIN ini akan membantu supaya Aji mudah menjalankan tugas? Kenapa belum apa-apa dia sudah merepotkannya? Apalagi tempat penjemputannya bukan lokasi yang mudah.
Aji terbengong-bengong ketika memeriksa tiket pesawat yang diberikan Dimas padanya. Ada dua tiket. Pertama, Emirates dengan tujuan Doha, Qatar. Kedua, penerbangan lanjutan dengan Iraqi Airways dari Doha ke Baghdad.
“Dim, oke, ini sebenernya kapalnya disandera perompak Somalia apa diculik jin botol Aladin? Kenapa ke Baghdad?” tanyanya.
“Lo perlu jemput orang BIN dulu. Rendevous akan diberikan ke lo nanti tepat sebelum berangkat. Top secret.”
“Sengaja gak dikasih tahu pas rapat tadi siang? Supaya gue terjebak?”
“Udahlah, jangan khawatir. Irak udah aman sekarang. Udah gak perang,” kata Dimas berusaha menenangkan.
Aji melotot, “Baru seminggu lalu perwira Iran lagi berkunjung terus dibom sama drone-nya Amerika. Jangan ngarang! Gue dosen HI, update lah sama urusan begini.”
“Cuma satu kejadian selama bertahun-tahun, dan lo bukan orang Iran. Aman lah. Amerika gak peduli sama dosen Indonesia keluyuran di Baghdad.”