Baghdad, Irak
Aji sebenarnya sering berkunjung ke Timur Tengah, terutama ke Qatar, Uni Emirat Arab dan Turki. Biasanya ia datang untuk menjadi pembicara di konferensi, atau untuk keperluan kerjasama antar universitas. Namun, ia tak pernah membayangkan akan menginjakkan kakinya di negeri seribu satu malam ini. Perang telah lama berkecamuk di Irak, sejak era Saddam Hussein, hingga masa setelah ia jatuh. Negara ini selalu dijauhi banyak orang.
Itu pula kenapa Aji terkejut ketika turun dari pesawat dan masuk ke gedung bandara. Ternyata bangunannya lebih megah dari yang ia sangka. Ia pun melihat orang-orang berlalu-lalang dan beraktivitas seperti biasa. Tampak banyak keluarga yang hendak bepergian. Ada pula anak-anak yang berlarian sambil tertawa.
Mungkin Dimas benar, pikir Aji. Irak tak sekacau yang ia bayangkan sebelumnya. Bahkan bandara ini tampak lebih baik daripada beberapa bandara di Indonesia yang pernah ia singgahi.
Aji bisa melewati pintu imigrasi dengan mudah, walaupun menunggu agak lama. Ia hanya mengisi form visa on arrival dan menyerahkan paspornya. Kemudian, setelah menunggu sejam, paspornya dikembalikan dan ia diizinkan lewat.
Ketika sudah melintasi pintu keluar, beberapa pria mendatanginya untuk menanyakan tujuannya dan menawarkan taksi. Namun, Aji merasa pendekatan mereka tergolong sopan. Ada banyak negara lain yang pernah dikunjungi Aji yang penjaja jasanya lebih agresif dan mengganggu.
Dari Jakarta, Dimas telah membantunya mengatur taksi yang sudah dipesan sebelumnya. Aji menjumpai sopir yang menunggunya itu tengah mengangkat kertas bertuliskan namanya. Setelah berjabat tangan dan berkenalan, pria yang bernama Yasir itu pun mengantarkannya menuju mobil.
Matahari sebentar lagi terbit. Cipratan fajar telah sedikit tampak di ufuk timur. Yasir tak banyak bicara di perjalanan. Walaupun Aji berusaha memecah kekikukan dengan mengucapkan salam dan bertanya basa-basi, pria berkumis tebal itu hanya menjawab sekadarnya lalu kembali menutup mulut.
Lantaran sebelumnya di pesawat sulit tidur karena terpikir macam-macam, Aji jadi mengantuk ketika menempuh perjalanan mobil menuju pusat kota Baghdad itu. Ia berusaha terjaga dengan memperhatikan pemandangan di sekitar. Akan tetapi, cahaya yang masih sedikit membuatnya tak bisa melihat macam-macam.
Tak lama kemudian ia sudah terlelap di bangku sebelahnya Yasir.
Entah berapa lama ia tertidur. Sampai suara teriakan orang lah yang membangunkannya.
Aji membuka matanya. Di luar sana sudah terang. Mobil telah berhenti.
Ia menoleh mendapati Yasir tidak ada di kursi kemudi. Ke mana dia?
Kendaraan itu terparkir di sebuah gang yang dihimpit bangunan seperti pertokoan yang sedang tutup.
Suara teriakan itu terdengar lagi, kali ini benar-benar menyadarkan Aji dari kantuknya.
Ia melihat rupanya ada tiga orang berpenutup muka keffiyeh sedang di luar mengelilingi mobilnya.
“Passport! Passport!”
Aji terbelalak karena akhirnya menyadari situasinya. Dua dari mereka menenteng senapan Kalashnikov. Ia melongok ke segala arah mencari Yasir, tetapi tak kunjung menemukannya. Apakah sopirnya itu sengaja mengumpankannya ke sini?
Satu orang memaksa masuk dari pintu pengemudi, dan berteriak sekali lagi, “Passport!”
“Oke, oke,” kata Aji panik seraya mengaduk-aduk tasnya mencari paspornya. Tak ada pilihan lain selain menyerahkannya kepada pengepung misterius ini.
Ia memberikan paspornya kepada pria di sebelahnya itu, yang langsung merebut dan memeriksa halaman data pribadinya. Setelah itu ia menoleh kepada dua temannya dan mengangguk.
Kedua kawan yang tadi menunggu di luar kini ikut masuk ke dalam mobil di bangku belakang. Sementara itu pria yang pertama tadi kini dengan cepat menghidupkan mesin mobil, memasang gigi mundur dan menginjak pedal gas. Kemudian, persneling digeser lagi ke gigi satu. Mereka pun meninggalkan lokasi. Mobil itu melaju kencang sekali entah menuju ke mana.
Aji mematung pucat di kursi depan.
Baru beberapa saat tiba di Irak, dirinya sudah diculik gerombolan misterius.
Tak lama kemudian salah satu dari mereka memasangkan kain menutup mata Aji. Ia tak mampu menolak apalagi melawan.
Perjalanan itu terasa lama sekali baginya. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi. Siapa mereka? Apakah mereka bandit yang menculik orang asing secara acak untuk tebusan? Tidak mungkin mereka memang mengincarnya sejak awal, 'kan? Seharusnya tidak ada yang tahu identitasnya dan rencana kunjungannya ke negeri ini.
Di tengah matanya yang tak bisa melihat, Aji diam-diam mencoba mendengarkan percakapan mereka. Tiga laki-laki itu berbicara dengan bahasa Arab fushah, menandakan tidak semuanya asli orang Irak. Penggunaan bahasa itu juga memberi petunjuk identitas kelompok mereka. Paling tidak Aji kini sudah bisa menduga-duga.
Setelah sekian lama, perjalanan yang seolah tak berujung itu berhenti tiba-tiba. Aji mendengar mesin mobil dimatikan. Salah satu dari mereka keluar lebih dulu, membukakan pintu dan menarik Aji keluar. Kemudian, setelah berjalan beberapa langkah, kain penutup matanya pun dibuka.
Aji terbelalak. Sejauh mata memandang yang bisa ia saksikan hanya gundukan-gundukan pasir. Mereka benar-benar berada di tengah gurun. Mobil yang dikendarai tadi parkir begitu saja di salah satu daratan yang agak lebih datar dan tinggi ketimbang sekelilingnya. Matahari sudah mulai meninggi dan menyengat.
Aji menoleh ke arah penyekapnya dan berkata dalam bahasa Arab fushah yang ia kuasai, “Coba kutebak, kita ada di antara Ramadi dan Fallujah? Kalian para mujahidin?”
Walaupun wajah mereka tertutup keffiyeh, tetapi tampak jelas keterkejutan dari mata mereka. Kenapa orang yang mereka tangkap ini bisa menebak dengan jitu? Ketiganya saling berpandangan, lalu tertawa. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Aji.
Kemudian, mereka memaksa Aji mengikuti langkah mereka berjalan kaki. Sementara itu, AK-47 masih mereka panggul dengan setia.
Aji memang berhipotesis dari apa yang ia dengar di mobil tadi dan kondisi alam gurun ini. Ia menebak mereka ini adalah sisa-sisa milisi yang melakukan perlawanan ketika Irak masih dikendalikan Amerika setelah Saddam Hussein jatuh. Sebagian dari mereka adalah bekas tentara Irak dan intelektual yang sebetulnya tidak loyal kepada Saddam Hussein, tetapi mereka juga marah karena negerinya dikoyak-koyak tentara kiriman Washington. Sebagian yang lain adalah relawan-relawan dari negeri lain yang datang dengan niat berjihad mengusir kekuatan kafir Amerika. Sebetulnya perlawanan besar mereka sudah selesai beberapa tahun lalu, tetapi sisa-sisa milisi ini masih bertahan dan bergerak diam-diam.
Mereka berjalan sekitar lima belas menit dan itu menjadi perjalanan yang sangat berat bagi Aji. Luar biasa sekali rasanya berjalan kaki di gurun pasir di bawah terik matahari. Kulit tengkuk, kening dan punggung tangan terbakar. Sepatu bot yang dipakai pun rasanya tak sanggup mengamankan telapak kaki. Beruntung tak lama setelah berjalan, salah satu dari penculik meminjamkan keffiyeh-nya untuk menutupi kepala Aji.
“Syukron,” kata Aji, “Jazakallah.”
Tak lama berselang mereka pun sampai di dasar sebuah bongkahan batu besar. Di dasar batu itu ada lubang setinggi satu meter lebih sedikit. Salah satu dari penculik membungkuk dan masuk ke dalam lubang itu. Aji kebingungan ketika dua yang lain menyuruhnya masuk ke dalam juga. Bagaimana mungkin masuk bersama-sama ke dalam lubang kecil itu?
Aji terpaksa masuk walaupun dengan nyali menciut. Sambil merunduk dan meraba-raba pinggiran gua itu ia pun berjalan masuk ke dalam.
Apa yang dilihat di dalam mengejutkannya. Rupanya di dalam gua itu jauh lebih luas dari bayangannya. Ada tiga obor ditambatkan di sisi-sisinya sehingga kondisinya cukup terang. Aji juga kaget karena ia bisa bernafas cukup lega di tempat tertutup seperti ini. Gua ini mungkin memiliki tembusan ventilasi udara yang tak bisa dilihatnya sekarang.
Di dalam sana Aji menjumpai ada tiga orang lagi yang sudah menunggu. Wajah mereka pun tertutup keffiyeh. Salah satu dari mereka tampak berbeda pakaiannya karena lebih bersih. Tubuhnya pun tampak lebih tinggi dan perkasa. Sementara itu di suatu pojok yang lain, Aji melihat sosok perempuan yang seluruh tubuhnya tertutup pakaian burkak hitam sedang duduk dan menangis tersedu-sedu.
Aji tambah terkejut ketika perempuan itu menatapnya dan langsung mengulurkan tangannya dan meraung-raung, seperti minta tolong.
Siapa perempuan ini?
Satu pria yang tampak berbeda dan paling perkasa tadi maju mendekat. Aji bisa merasakan milisi lain langsung berdiri tegap dan menjaga sikap. Dari situ Aji menebak pria yang ini adalah pemimpinnya.
“Assalamu’alaikum,” sapanya.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Aji berusaha keras untuk tetap tenang.
“Jadi, kau akan menjemput istrimu?” tanyanya tiba-tiba dengan bahasa Arab sambil menunjuk perempuan di pojokan itu.
“Hah?”
“Kau mau menjemput istrimu, 'kan?” tanyanya sekali lagi.
Aji masih kebingungan dengan pertanyaan itu. Apa maksudnya?
“Kau bisa bahasa Arab, 'kan?” tanyanya mulai tak sabar.
Aji menatap perempuan yang masih sesenggukan itu. Tiba-tiba dia menyadari tangan perempuan itu bergerak-gerak. Jari-jarinya membentuk isyarat. Alis Aji terangkat ketika teringat isyarat itu berpola sama dengan yang ia dapat dari Dimas kemarin.
“Berengsek. Itu maksudnya gambar-gambar pola jari tak jelas kemarin itu?” pikir Aji.
Jadi, perempuan bercadar inilah orang yang perlu ia jemput dan akan membantunya dalam misi ke Somalia? Lalu apa yang perlu ia kerjakan sekarang? Aji berpikir cepat, dan menyimpulkan tampaknya perempuan itu ingin dirinya mengikuti skenario yang diharapkan oleh para milisi ini.
“I-iya. Saya mencari istri saya,” jawabnya.
Pria itu langsung mencecar, “Kenapa kau membiarkannya sendirian? Kami menemukannya berkeliaran sendirian di dekat tempat kami biasa berkumpul di Baghdad beberapa hari lalu. Kami curiga dia mata-mata. Dia mengaku muslimah yang terpisah dari rombongan. Tapi kami tak begitu saja percaya, karena kami menemukan banyak data-data mencurigakan di flashdisk yang dibawanya. Apalagi dia tidak tampak seperti perempuan Indonesia seperti yang kami ketahui ciri-cirinya. Kami duga dia mata-mata untuk kepentingan pemerintah Indonesia. Walaupun kami tak ada masalah dengan rakyat Indonesia, tetapi kami tidak suka mata-mata pemerintah. Kami juga tahu pemerintah kalian juga masih menjalin kerjasama dengan musuh kami.
“Kemudian dia bilang dia adalah istri dari Aji Hakim Bimantara, seorang dosen terkenal di Indonesia. Data-data di flashdisk adalah milik suaminya, katanya. Dan dia bilang kau pasti sedang mencarinya. Kami lalu mencari tahu tentang profilmu. Ternyata benar, kau terkenal, dan kau juga sering membicarakan soal Timur Tengah.”
Aji menelan ludahnya dan berkata, “Iya, kebetulan Timur Tengah dan Afrika adalah wilayah yang saya pelajari sejak jenjang master sampai doktor. Itu juga kenapa saya berada di Irak, untuk mengumpulkan bahan-bahan penelitian. Istri saya hanya membantu saya, tetapi kami terpisah.”
“Kau mendapat gelar PhD dari New York?”
“Gawat”, pikir Aji. Informasi itu jelas tidak menguntungkannya.