Paris, Perancis
Paris malam hari adalah sebuah ironi. Di satu sisi ia adalah La Ville Lumière atau kota cahaya, tak hanya bermakna simbolik renaissance, tetapi juga karena lampu-lampu dan jiwa manusianya yang gemerlapan setelah matahari terbenam.
Di Montmartre, jalan-jalan berbatu dipenuhi oleh pejalan kaki turis. Aroma kopi dan croissant dari kafe-kafe kecil menguar, mengundang siapa saja yang lewat untuk singgah sejenak.
Di tepi Sungai Seine, kapal-kapal pesiar kecil berlayar perlahan, membawa pasangan-pasangan yang ingin menikmati malam romantis. Pemandangan Menara Eiffel yang berkilauan di kejauhan, jembatan-jembatan indah yang membentang di atas sungai, semuanya menciptakan latar yang sempurna untuk malam yang tak terlupakan.
Namun, sebagian besar pedestrian tampak kumuh. Sampah-sampah berserakan di tepi-tepi bangunan. Tikus-tikus seukuran kucing kerap dijumpai dan tak digubris. Tak cuma sekali-dua kali terdengar jeritan turis yang terkejut karena tasnya dijambret. Sementara di tempat lainnya, dua kelompok imigran dari Balkan dan Afrika Utara sedang baku pukul memperebutkan suatu tempat berkumpul di suatu pub di gang kecil.
Aji dan Sarah tiba di kota ini tadi pagi, setelah menempuh penerbangan dari Yordania dan transit di Turki. Perjalanan mereka tidak mudah. Sarah yang memberitahu kalau mereka tidak bisa berangkat dari bandara Baghdad.
“Kenapa gak bisa?” tanya Aji ketika mereka masih di rumahnya Mr. Hassan di Baghdad.
“Berbahaya,” jawab Sarah, “Saya menduga otoritas sini, yang masih dibekingi Amerika, sudah sadar tentang keberadaan saya sebagai aset dari negara asing. Saya juga curiga sangat mungkin mereka mengetahui penyekapan saya oleh para milisi tadi. Jika kita melewati pintu imigrasi dengan paspor, bisa saja mereka tak membiarkan kita pergi. Kita bisa diinterogasi dulu. Lebih parah lagi kalau kita malah diserahkan ke pangkalan militer Amerika untuk diperiksa.”
“Jadi, saranmu gimana?”
Belum sempat Sarah menjawab, pintu depan diketuk dari luar. Perempuan itu langsung memelesat bersandar pada tembok di sebelah pintu. Wajahnya waspada dan meminta Aji mencari tempat bersembunyi. Telunjuknya ditempelkan di bibirnya, meminta laki-laki itu tidak bersuara.
“Sarah, ini Hasan. Aku membawakanmu makan siang.”
Perempuan itu bergeser ke jendela lalu mengintip untuk memastikan identitas orang di luar sana. Setelah yakin memang hanya Mr. Hasan sendirian, ia pun membukakan pintu.
“Aku yakin kalian lapar. Ini dimasak oleh istriku,” kata Hasan sembari menyodorkan nampan. Di atas nampan itu tampak satu piring berisi setumpuk roti pita, dan piring yang lain ada empat tusuk sate kambing panggang yang dagingnya besar-besar.
“Saya benar-benar selalu merepotkan Mr. Hasan dan keluarga.”
“Tidak, tidak,” kata Hasan menggelengkan kepalanya, “Saya dan keluarga akan selalu berterima kasih pada Indonesia. Bekerja pada Indonesia yang membuat anak-anakku bisa sekolah.”
“Terima kasih,” kata Sarah menerima makanan itu. Ia menutup pintunya kembali dan meletakkan nampan itu di meja.
“Rezeki anak sholeh, Mas. Pastinya roti dan telur tadi gak bikin kenyang, 'kan?”
Aji tidak menyanggah. Memang sebetulnya perutnya masih lapar sekali. Ia pun langsung menyobek roti pita itu dan menggunakannya untuk membungkus sepotong daging. Kemudian, sepotong kambing panggang itu langsung dimakannya. Mulutnya penuh dan kesusahan mengunyah, tapi matanya berbinar karena lidahnya mengecap rasa yang lebih lezat ketimbang dugaannya.
“Kebab Irak memang luar biasa,” gumamnya.
Sarah mengambilkan dua gelas air putih, lalu bergabung menikmati makan siang itu. Kemudian di tengah makan, ia menjawab pertanyaan Aji yang tertunda tadi.
“Kita sebaiknya naik mobil dulu ke Yordania. Perbatasan di sana tidak seketat bandara. Kalau sudah masuk Yordania, lebih aman. Kantor saya punya hubungan kerjasama yang erat dengan intelijen sana.”
Setelah itu mereka melanjutkan makan sambil membahas rencana perjalanan. Keduanya juga langsung bergegas mengemas pakaian, perlengkapan dan perbekalan begitu makanan telah selesai disantap.
Sarah berkata terlalu berbahaya untuk pergi saat gelap, maka mereka memutuskan berangkat di keesokan paginya.
Perjalanan dari Bahgdad ke Amman, Yordania, ditempuh dengan mobil selama 10 jam. Mereka hanya beristirahat dua kali. Pertama, untuk mengisi bensin di pinggir Kota Baghdad. Kedua, di perbatasan kedua negara. Sesuai rencana, mereka bisa melenggang keluar Irak dan masuk wilayah Yordania dengan lancar.
Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil itu hingga sampai ke Amman, dan langsung menuju Bandara Internasional Queen Alia. Keduanya kemudian harus menunggu selama lima jam sebelum akhirnya bisa terbang dengan pesawat Royal Jordania menuju Bandara Charles de Gaulle di Paris.
Aji dan Sarah menginap di penginapan murah yang ada di daerah Bastille. Di dalam kamar mereka tak membuang waktu langsung sibuk merancang pertemuan dengan Jamal Buraale.
“Info yang saya dapatkan, Jamal hampir setiap malam ada di klab Palais Maillot. Jika nanti malam kita ke sana, kemungkinan besar bisa langsung bertemu.”
“Dia setiap malam party di situ?”
“Sepertinya dia mengendalikan bisnisnya dari situ, Mas. Si Jamal ini punya banyak rantai bisnis yang sebagiannya sudah jaringan internasional. Sebagian besar memang berada di ranah yang gelap atau abu-abu. Misalnya, kasino, jualan ganja, senjata api, dan salah satunya sebagai perwakilan kelompok bajak laut di Teluk Aden itu. Saya punya data kapan saja Jamal bernegosiasi dengan pihak perusahaan atau negara yang kapalnya tertawan. Dari setiap tebusan yang dibayarkan, dia mendapat komisi yang cukup besar. Tapi untuk kapal MV Sinar Fajar, dari info yang saya dapat, pihak perusahaannya tidak pernah berkomunikasi dengan Jamal. Mungkin dengan broker lainnya. Tujuan kita bertemu dengannya adalah untuk menggali informasi soal itu, Mas. Dia tentu kenal siapa saja pemain yang bertanggung jawab akan penyanderaan kapal kita. Kemudian, kita ingin informasi tentang lokasi persisnya kapal itu dan sanderanya.”
Aji masih tertegun dengan penjelasan Sarah itu. Ia masih tak habis pikir bagaimana mungkin Jamal yang dikenalnya dulu selama kuliah di Amerika kini berubah menjadi seperti sekarang.
Masih segar di ingatannya pergaulan dengan pria cerdas dari Afrika Timur itu ketika sama-sama di Columbia University. Aji sedang berusaha meraih gelar PhD-nya, sementara Jamal adalah mahasiswa S2.
Jamal adalah salah satu dari orang asing pertama yang dikenal Aji di New York. Kebetulan saat itu mereka sama-sama sedang mencari tempat tinggal. Sejak pertama bertemu di kampus, Aji sudah merasa Jamal orang yang enak diajak berteman. Pria kulit hitam itu murah senyum dan selalu melemparkan guyonan. Terlebih lagi, Jamal berasal dari Somalia, salah satu negara di kawasan yang menjadi obyek disertasi Aji. Itu semakin membuat hubungan keduanya rekat saat menempuh pendidikan.
Walaupun secara level studi, Aji ada tingkat doktoral, tetapi dia selalu merasa Jamal jauh lebih pintar. Terutama menyangkut pendekatan kuantitatif dalam penelitian. Jamal mudah saja melahap dan menjelaskan jurnal-jurnal ekonometri yang penuh dengan formula matematika. Sementara Aji setengah mati hanya untuk mengejanya. Itu juga tampak pada nilai-nilai mata kuliah laki-laki Afrika itu yang selalu sempurna.
Jamal pun tak hanya brilian di kelas. Dirinya juga aktif dan menonjol pada kegiatan di luar kampus. Ia memenangi lomba debat mahasiswa mengalahkan perwakilan Fakultas Hukum yang langganan juara. Dirinya juga dikenal sebagai penyanyi bersuara merdu dan sering muncul di pentas seni di kampus. Pada saat wisuda pun, dia terpilih sebagai valedictorian dan memberikan pidato mewakili angkatan kelulusan saat itu. Kharismanya sampai membuat laki-laki ini di kampus dijuluki Sobama, atau the Somalian Obama.
Jamal lulus dan meninggalkan Amerika Serikat lebih dulu ketimbang Aji yang masih berjibaku dengan disertasinya. Sejak itu mereka tak pernah bertemu ataupun berkomunikasi. Karena kesibukan dan banyaknya urusan, Aji pun sempat tak ingat sama sekali dengan kawannya ini. Sampai akhirnya nama itu muncul kembali di momen yang mengejutkan.
“Mudah-mudahan dia masih ingat sama saya. Berarti rencana kita nanti malam pergi ke klab ini, 'kan?”
“Iya, tapi sebelumnya, sebaiknya sekarang kita mampir dulu ke butik. Mas Aji perlu setelan jas, dan saya juga sedang tidak ada dress yang pas.”
“Lho, ngapain?”
Sarah tersenyum, dan berkata, “Dengan segala hormat, Mas Aji. Di klab semacam ini, mereka tidak akan kasih kita masuk, kalau penampilan kita kurang representatif.”
Malamnya, ketika berjalan menuju klab, Aji tak henti-henti meraba jas barunya. Kedua telapak kakinya juga terasa gatal di dalam sepatu kulit bermerk itu. Ia memang sangat jarang berpakaian seperti ini. Setelan jas tanpa dasi itu terasa terlalu mewah untuk gaya urakannya, dan itu membuatnya bergidik.