Rotterdam, Belanda
Rotterdam, kota modern yang gemilang di tepi Sungai Maas. Di sinilah terjadi perpaduan menawan antara arsitektur kontemporer dan sejarah maritim yang kaya. Di tengahnya, gedung-gedung pencakar langit dengan desain futuristik berdiri megah. Bangunan-bangunan dengan bentuk geometris tajam dan fasad kaca berkilauan mencerminkan semangat inovasi nan futuristik. Namun, di sisi lain, kanal-kanal kuno yang mengalir tenang di antara gedung-gedung tersebut senantiasa mengingatkan akan riwayat panjang jalur kapal di kota ini.
Bicara soal kota ini, tentu tak lepas dari pelabuhannya. Pelabuhan Rotterdam merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Eropa. Aktivitas seolah tak pernah berhenti di sini. Deru mesin kapal dan suara crane yang bergerak tidak henti menciptakan simfoni industri yang khas. Kapal-kapal raksasa dari berbagai belahan dunia berlabuh di dermaga, membawa barang-barang dan komoditas yang menjadi urat nadi ekonomi global.
Arjen Woldring baru saja menyelesaikan rapat dengan para manajer yang menjadi bawahannya di area pelabuhan itu. Ia berjalan keluar gedung kantornya yang hanya berjarak tiga kilometer dari pelabuhan, menuju mobilnya yang sudah siap menjemput.
Woldring yang berusia 52 tahun sudah makan asam garam tentang bisnis pelabuhan. Ia mewarisi kekayaan dan profesi ini dari ayahnya. Sejarah keterlibatan keluarganya di dunia perkapalan nyaris sama tuanya dengan riwayat Pelabuhan Rotterdam itu sendiri. Bahkan ada satu dermaga di pelabuhan yang didedikasikan namanya untuk keluarga Woldring.
Arjen hanya sendirian saja di bangku penumpang sedan BMW itu. Tas kerjanya yang berisi laptop ia taruh begitu saja di sebelahnya. Ada partisi yang memisahkannya dengan pengemudi di depan. Ia terbiasa begini, menjalani kehidupan sehari-harinya tanpa pengawalan. Sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang penting di Belanda, termasuk perdana menteri dan anggota kabinet, mereka terbiasa tidak dikawal dalam kondisi normal.
Apalagi Arjen sudah lama terlalu percaya diri tidak akan ada yang berani mengganggunya. Polisi Belanda saja enggan berurusan dengan ningrat industrialis satu ini. Koneksinya tak hanya di level kabinet dan parlemen Belanda saja, tetapi bahkan sudah seantero Eropa. Aparat penegak hukum enggan direpotkan oleh tekanan politik jika mengusik hidup warga negaranya yang satu ini.
Namun, itu pula yang membuatnya lengah kali ini.
Pria itu mengambil tas dan mengeluarkan laptopnya. Kemudian, ia mulai melanjutkan pekerjaannya, mengecek kembali agenda-agenda yang harus ia kerjakan esok hari sembari membalas surel yang belum sempat ia respon hari ini.
Awalnya ia tak merasa ada yang aneh, sampai akhirnya ia menengok ke luar jendela, mendapati mobilnya masuk ke jalur yang tak seharusnya di pintu keluar kompleks pelabuhan itu. Arjen pun menekan tombol interkom yang tersambung ke pengemudinya, “Hey, kita salah jalan!”
Tak ada respon dari sopirnya di depan. Mobil masih tetap melaju kencang. Arjen menggedor-gedor jendela partisi. Masih juga tak ada respon. Maka ia pun menggeser partisi itu dengan kasar dan siap-siap memaki. Namun, Arjen kaget bukan kepalang ketika melihat di belakang kemudi bukanlah sopirnya yang biasa, tetapi sesosok perempuan.
“Apa-apan ini?!” pekiknya dalam bahasa Belanda.
Mobil tiba-tiba berubah arah. Tubuh Arjen terbanting ke sisi kiri. Kemudian kendaraan itu meninggalkan jalan utama, memasuki jalan setapak yang tersembunyi oleh tumpukan kontainer kosong yang diletakkan menunggu diambil oleh perusahaan pemiliknya.
Perempuan itu menginjak rem dalam-dalam membuat sedan berhenti mendadak. Arjen terlontar dan menabrak partisi di depannya. Lalu punggung kerahnya direnggut oleh perempuan tadi. Kemudian ia dihempaskan ke bangku lagi. Arjen tersengal-sengal menerima serangan mendadak ini. Apalagi perempuan tak dikenalnya itu kini sudah menodongnya dengan pistol.
“Jangan melakukan hal bodoh!” perintahnya.
Kemudian, pintu di samping Arjen terbuka dan sesosok laki-laki memaksa masuk dan duduk di sampingnya.
Arjen makin kebingungan melihat pria di sebelahnya itu. Perawakannya seperti orang Asia dan tak pernah dikenalnya. “Wie zijn jullie?” tanyanya, lalu ia tambahkan dengan bahasa Inggris, “Who the f-k are you?”
“Siapa kami tidak penting,” kata Aji, “Yang penting sekarang kau harus menuruti perintah kami,” kata Aji dalam bahasa Inggris.
“Oh, great! Perampok amatiran lagi? Kalian mau menculikku untuk tebusan?”
“Kami tidak mau uangmu. Kami menginginkan informasi. Kau sedang sibuk menjadi negosiator untuk kapal MV Sinar Fajar, 'kan? Kapal dari Indonesia?”
“Aku tak pernah mendengarnya.”
“Sudah kuduga kau tak mengaku. Kau mau temanku yang di depan itu membuka kepalamu dan mencari jawabannya sendiri, atau kau sukarela memberikannya kepada kami sekarang?” kata Aji menggertak.