Bara Segara

Tsugaeda
Chapter #18

Bab 18

Mogadishu, Somalia

Senja mulai jatuh di atas Kota Mogadishu, menebarkan sinar jingga keemasan menyapu langit, menyelimuti segala penjurunya. Lamat-lamat suara azan berkumandang, menggema di antara bangunan-bangunan tua dan modern yang berdiri berdampingan. 

Di jalan-jalan berdebu anak-anak masih berlarian dengan tawa riang. Pasar-pasar mulai berbenah seiring para pedagang merapikan dagangan dan menutup lapak mereka. Masih tercium harum rempah-rempah tatkala mata dimanjakan dengan kain-kain berwarna cerah yang melambai tertiup angin sore. 

Mogadishu adalah kota yang terletak di pesisir. Di sepanjang pantainya, Samudera Hindia bergulung lembut seolah tak berkenan mengusik. Para nelayan kembali dari laut dengan wajah dan sekujur tubuh terbakar matahari, menenteng tuna sebesar badan mereka sendiri. 

Aji dan Sarah baru saja tiba di Somalia. Mereka mendarat di Bandara Aden Adde setelah melalui penerbangan dengan Turkish Airlines dari Amsterdam dan transit di Istanbul. Walaupun sudah bertahun-tahun sejak kedatangannya pertama kali dulu, Aji tak merasa kesulitan keluar dari airport dan mencari tumpangan ke hotel.

“Saya dulu delapan bulan tinggal di sini. Untuk kepentingan disertasi,” ceritanya pada Sarah ketika mereka di dalam mobil pribadi yang difungsikan sebagai taksi.

“Ah, tapi kamu pasti juga sudah tahu itu,” lanjutnya.  

“Kita menuju area pemukiman pegawai negeri, jadi relatif aman. Dulu pemilik penginapan ini pensiunan pegawai pemkotnya. Sekarang sudah meninggal dan diwariskan oleh anaknya. Saya beruntung ia masih mengenalku, jadi tak kesulitan menyiapkan tempat kita tinggal sementara di sini.”

Sepanjang perjalanan Aji bercerita tentang betapa kota itu tak banyak berubah. Puing-puing bangunan sisa perang masih terlihat di mana-mana. Debu-debu beterbangan diterpa lalu lintas kendaraan. Namun, masyarakatnya tampak tak terganggu dan beraktivitas seperti biasa. 

Mereka berhenti di rumah susun tingkat tiga berwarna biru muda tak jauh dari pesisir pantai. Bendera Somalia berwarna sama dengan bintang putih berkibar di tiang yang terpancang di atapnya. 

Ketika turun Aji sudah disambut dengan hangat oleh seorang pria seusianya. 

“Bashar, luar biasa kita bisa ketemu lagi!” seru Aji riang seraya langsung memeluk pria yang sudah menunggunya itu. 

“Aku gembira mendengarmu datang, Aji. Walaupun aku terkejut waktu kau bilang tujuanmu kali ini,” kata Bashar yang mengenakan kemeja berwarna krem dan celana jeans. 

“Yah, begitulah. Sebenarnya aku lebih suka ke sini untuk jalan-jalan ke pantainya saja denganmu dan kawan-kawan. Just like old times, huh?

Aji kemudian mengenalkan Sarah kepada teman lamanya ini sebagai rekan kerja. Dalam perjalanan tadi, perempuan itu sempat mengenakan jilbab berwarna coklat gelap untuk membuatnya tak tampak mencolok. 

“Aku sudah menyiapkan unit kalian. Coba tebak? Ini kamar yang sama dengan yang kau gunakan dulu,” kata Bashar pada Aji.

“Masa?”

“Ayo, kita segera ke sana,” ajak Bashar. 

Laki-laki pemilik rumah susun itu mengantarkan mereka ke satu unit di lantai dua. Aji dan Sarah mengikuti dan mendapati banyak penghuni yang keluar dari unit mereka masing-masing karena penasaran dengan tamu asing ini.

“Tidak ada yang kukenal. Penghuninya sudah berubah semua, ya?”

“Ya, begitulah. Tapi sebenarnya bukan karena sesuatu yang buruk. Beberapa tahun ini situasi Somalia sebenarnya sedang stabil dan lumayan membaik. Kebanyakan penghuni yang dulu menemukan tempat tinggal yang lebih bagus di tengah kota. Sekarang yang tinggal di sini keluarga muda atau bujangan.”

“Senang mendengarnya,” kata Aji. 

Lihat selengkapnya