Kantor JKTNews TV, Kedoya, Jakarta Barat
“Jadi, teori kita bukan sekadar dugaan kosong?” tanya Rumbeh di ruang rapat, ketika ia dengan Nova dan Bella kembali membicarakan kasus Darma Hadi.
“Ya, gitu, kalau berdasarkan keterangan narsum yang udah kita punya. Masalahnya, 'kan, mereka yang gue dapet ini masih mau off the record semua. Tapi ini, 'kan, sudah jadi lead yang bagus. Tinggal Pak Rumbeh aja jadiin ini topik utama investigasi biar bisa kerahin orang lebih banyak untuk cari narsum atau bukti yang on the record,” ujar Bella.
Rumbeh mendengarkan sambil mengamati lembar demi lembar dokumen yang didapatkan Bella dari Dicky. Dahinya berkerut. Kacamatanya melorot hingga ujung hidung. Tak lama kemudian ia menoleh ke perempuan di sebelahnya dan berkata, “Gimana menurut lo, Nov?”
“Menurut gue ini sangat layak untuk di-follow up sih, Pak. Karena ini, 'kan, aktual, penting dan dampaknya besar juga buat masyarakat. Ditambah lagi kita punya angle yang tidak dimiliki oleh news station lain.”
“Oke, berarti masih ada satu keping puzzle yang belum ketemu, ya. Yaitu tentang apa yang sebenarnya mereka sembunyikan di kapal ini. Artinya fokus investigasinya, selain mencari bukti-bukti, juga untuk menguak rahasia ini. Kalau itu sudah ketemu, maka kisahnya bisa lengkap.”
Nova menimpali, “Anto sudah mulai bergerak ke jaringan narsumnya untuk menambahkan testimoni dan bukti-bukti. Gue sih yakin dia bisa kasih ke kita bukti kuat dalam beberapa hari ke depan. Mungkin Mas Rumbeh bisa kerahkan anak-anak yang lain untuk membantu menguak satu rahasia yang belum ketemu ini, Mas.”
Rumbeh manggut-manggut.
Bella sudah ingin bicara lagi, tetapi terinterupsi oleh ponselnya yang mendadak berdering. Ia mengecek dan menemukan yang meneleponnya adalah Kiki, asisten bagian umum di divisi ini.
“Kenapa, Ki?” tanyanya.
“Kak Bel, ada telepon, line 1.”
“Nanti, Ki. Gue lagi meeting sama Kak Nova dan Mas Rumbeh.”
“Tapi kayaknya ini penting, Kak. You don't wanna miss it.”
“Dari siapa, sih? Presiden?” tanya Bella ketus.
“Bukan, dari Mas Aji.”
“Lo jangan macem-macem, deh, Ki!”
“Demi Tuhan! Gak berani, Kak. Beneran ini.”
“Hmm? Ya, udah, bentar!” kata Bella mengakhiri pembicaraan di ponsel.
“Kenapa?” tanya Nova.
“Ada telepon. Urgent katanya. Boleh gue terima di luar?”
“Silakan,” kata Nova. Rumbeh pun ikut mengangguk.
Bella pun keluar ruangan dan berjalan cepat ke kubikelnya. Di situ ia mengangkat gagang telepon saluran kantor dan menekan tombol 1.
“Halo?” tanyanya.
“Halo, Bella?”
Perempuan itu terkesiap mendengar suara yang dikenalinya, “A-Aji? Ini beneran kamu?”
“Iya, ini nelpon kantor soalnya ..., anu, nomer kamu di HP-ku ilang.”
Yeah, right, pikir Bella dalam hati. Tentu saja laki-laki itu melakukan hal yang sama sepertinya, menghapus nomor di ponsel masing-masing.
“Kamu di mana?”
“Ceritanya panjang. Mungkin ini bakal bikin kaget, tapi aku lagi di Somalia.”
“What?!”
“Sstt, jangan sampai orang lain tahu dulu!”
“Ngapain kamu di sana?”
“Like I said, ceritanya panjang. Bisa atur waktu untuk bicara di saluran, waktu dan lokasi yang lebih personal?”
Bella menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapati semua orang di sekitarnya sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak ada yang tertarik dengan pembicaraan teleponnya..
“Nanti malam setelah aku kerja, di rumah?”
“Jam berapa?”
“Jam sembilan malem. Mau lewat apa?”
“Bisa video call? Kasih tahu lagi nomermu, ya.”