Bara Segara

Tsugaeda
Chapter #22

Bab 22

El Dhanan, Somalia

El Dhanan berjarak sekitar 500 kilometer ke utara dari Mogadishu. Melalui perjalanan darat dengan mobil, jarak ini dapat ditempuh selama dua hari. Buruknya kondisi jalan dan menghindari bepergian di larut malam menjadi alasan kenapa orang-orang tak bisa sampai hanya dalam sehari saja. 

Berbekal referensi dari Imam Abshar, Aji dan Sarah menyewa mobil dengan pengemudinya. Sopir yang bertubuh gempal dan berkepala plontos ini, bernama Syarief, dulunya adalah mantan tentara nasional Somalia. Ia keluar setelah perang saudara dan memilih menjadi pengawal sewaan. “Lebih baik menjaga orang asing daripada aku membunuh saudaraku sendiri,” katanya. 

Syarief mengendarai Toyota Hilux tua berwarna cokelat. Kursi untuk penumpangnya ada dua baris, sempit di depan. Sementara itu di belakangnya ada bak truk yang kini juga terisi oleh empat orang pria yang tidak dikenal oleh Aji dan Sarah. 

“Mereka menumpang. Tujuan mereka searah dengan kita. Kuharap kalian tak keberatan. Percayalah, semakin banyak orang dalam rombongan kita, akan semakin baik untuk keamanan.” 

Aji dan Sarah tak punya pilihan selain menurut. Terutama bagi Aji, jika Imam Abshar sudah mempercayakan Syarief kepada mereka, tentu orang ini bisa diandalkan. Mereka berangkat dari Mogadishu tepat setelah matahari terbit. Kartu pengenal jurnalistik sudah berhasil mereka dapatkan sebelumnya, berbekal referensi dari JKTNews TV. Perencanaan sederhana telah didiskusikan bersama. Selebihnya mereka hanya bisa berdoa. Medan El Dhanan masih samar bagi keduanya. Bahkan bagi Aji yang sudah punya pengalaman di Somalia sebelumnya. 

“Terus terang aku belum pernah ke tempat itu. Sebelumnya aku pernah melihat markas bajak laut yang di Hobyo dan Eyl. Sementara El Dhanan ini, ketika di eraku dulu belum terkenal sebagai markas perompak. Hanya desa nelayan kecil yang tidak penting.”

Selama perjalanan, Aji banyak bercakap-cakap dengan Syarief. Pengemudi mereka itu ternyata orang yang enak untuk diajak berdiskusi. Aji curiga laki-laki itu bukan mantan tentara rendahan. Pikirannya tajam dan pengetahuannya luas. Jangan-jangan ia dulunya perwira tinggi, pikir Aji. 

“Pemerintah Somalia sebetulnya tidak tinggal diam dengan para perompak ini. Mereka juga melakukan tindakan-tindakan. Tapi apa daya, kekuatan penegak hukumnya memang mengenaskan. Aku tahu ada satu kapal patroli di Puntland yang hanya bekerja dua kali dalam sebulan. Hanya satu. Kapalnya hibah dari Jepang. Jika pun mereka bisa menangkap perompak, mereka tak tahu harus diapakan. Tidak ada sistem pengadilan yang bekerja di Somalia. Kebanyakan mereka dilepas lagi ke laut,” cerita Syarief,

“Kau pernah ke El Dhanan sebelum ini, Syarief?” tanya Sarah.

“Ya, beberapa kali.”

“Seperti apa di sana?”

“Sebelumnya, seperti yang Aji katakan tadi, El Dhanan hanya kumpulan desa nelayan yang tenang. Tapi tahun-tahun ini sudah berubah total. Para bajingan yang ada di tempat lain mulai merayap ke sana dan menebarkan pengaruhnya ke anak-anak muda di situ.”

“Bagaimana dengan koordinat yang sudah kami berikan?” tanya Aji merujuk pada informasi lokasi yang mereka dapatkan dari laptop milik Arjen Woldring. 

“Aku pernah sekali ke sana. Ya, aku bisa mengantar kalian ke lokasi itu.”

“Kira-kira adakah orang di sana yang masih mau membantu kami? Maksudku, membantu menemukan kawan-kawan kami yang disandera.”

“Aku tidak yakin. Aku sendiri bukan warga sana, jadi aku tak bisa mengetahui benar-benar siapa lawan siapa kawan.”

Sementara itu, empat orang yang menumpang bersama mereka satu persatu turun ketika sampai di tujuannya. Berganti lagi dengan orang-orang baru yang mencegat untuk menumpang. Biasanya sebelum mereka naik ke bak truk di belakang, Syarief akan menanyai dulu dengan detil siapa mereka dan ke mana tujuannya. Ada juga satu orang yang ia tolak, tapi selebihnya ia persilakan menumpang. 

Memang benar seperti klaim Syarief sebelumnya. Para penumpang itu tidak menjadi gangguan. “Aku bisa membedakan mana yang orang biasa dan mana yang bandit,” kata Syarief menenangkan tamu utamanya. 

Ketika malam sudah mulai larut, mereka menepi. Syarief mengarahkan mereka untuk mampir ke rumah salah satu penduduk. “Jangan khawatir, mereka saudaraku. Kalian aman di sini. Besok setelah subuh kita langsung berangkat lagi,” katanya kepada Sarah dan Aji.

Keesokan harinya mereka pun melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya ketika sore hari, mobil Toyota Hilux itu telah masuk ke wilayah El Dhanan. Di bak belakang sudah tidak ada lagi orang yang menumpang. 

Lihat selengkapnya