Bara Segara

Tsugaeda
Chapter #23

Bab 23

Rumah si bos perompak itu sangatlah megah bak istana yang kelewat mencolok dibanding rumah-rumah di sampingnya. Aji menebak luasnya bisa jadi sekitar 2.000 meter persegi. Pintu gerbangnya dari baja yang dicat hitam. Belasan mobil sport beraneka warna berjejer di lahan parkirnya. Belasan pula penjaga yang berdiri dengan menenteng senapan. Semuanya menatap Aji dan Sarah dengan pandangan ingin tahu.

Keduanya diantar masuk rumah besar bercat putih itu, melewati taman kecil di tengah, lalu masuk lagi ke koridor hingga sampai di sebuah ruangan besar terbuka yang menghadap pantai. 

Seorang laki-laki tampak sedang sibuk mengasah pedang, dibantu oleh beberapa anak buahnya. Dua penjaga dengan senapan juga siaga di dekat pintu ruangan tersebut. 

Salah seorang pengantar mendekati orang itu dan menceritakan tentang tamu yang saat ini datang. Pria itu mengangguk dan tersenyum kepada Aji dan Sarah. Pedang yang diasahnya tadi diserahkannya ke salah satu pengawalnya. 

Mendapati tatapan pria itu tertuju ke arahnya, Sarah membuka mulutnya. “Assalamu’alaikum.”

“'Alaikumsalam. Kalian wartawan dari Indonesia?” tanyanya dalam bahasa Arab.

Sarah menjawab, “Benar. Namaku Sarah, dan ini Aji kameramenku. Kami dari Jakarta. Kedatangan kami kemari ingin meliput tentang kehidupan di sini. Terutama menyangkut kapal dari Indonesia yang tertahan di sini, beserta ABK-nya. Kami ingin tahu sendiri kondisi di lapangan, dan juga perspektif dari teman-teman di sini, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kalau boleh kami ingin minta waktu wawancara.”

“Silakan duduk,” katanya menunjuk ke bangku-bangku kayu yang ada di salah satu sisi ruangan. 

Aji pun langsung memulai aktingnya sebagai kameramen. Ia juga memasangkan mikrofon kecil yang tersambung dengan kamera itu di baju Sarah.

“Maaf, dengan siapa kami berbicara?” tanya Sarah sopan setelah mereka berdua duduk.

“Kau bisa memanggilku Awale.”

“Kau pemimpin di sini?”

Dia tertawa memperlihatkan giginya, “Begitulah.”

“Terima kasih telah menerima kami dan bersedia untuk diwawancara. Bisakah Anda ceritakan tentang diri Anda, dan apa sebenarnya yang orang-orang Anda lakukan di lautan terhadap kapal-kapal asing yang melintas?”

Awale menceritakan tentang dirinya dengan singkat dan tak serius. Namun, ketika mulai menjawab soal apa yang mereka lakukan di lautan, raut muka dan nada bicaranya berubah. 

“Kami melakukan ini bukan karena ingin jadi penjahat. Kami ini orang-orang biasa, yang membutuhkan penghidupan. Orang-orang asing telah merampas banyak ikan-ikan di perairan kami dan kami tak pernah dapat apa-apa. Sekarang saatnya kami berusaha untuk menerima kompensasinya.”

“Tapi apakah tebusan jutaan dolar itu memang sepadan dengan alasan untuk sekadar mencari penghidupan?” tanya Sarah hati-hati.

“Uang sebesar itu, 'kan, tidak masuk ke kantongku sendiri. Kami menghidupi banyak orang. Di El Dhanan saja ada 10.000 orang yang harus mendapat nafkah. Belum lagi kami juga membantu ke kampung-kampung sebelah seantero wilayah Mudug. Kami tak punya pilihan pekerjaan di sini.” 

“Ada berapa personil yang Anda miliki?”

Bukannya merahasiakan, pertanyaan dari Sarah ini justru dijawab dengan kebanggaan oleh Awale, “Pasukan utama kami ada 300, tapi jika kondisi darurat kami bisa mengerahkan 2.000 cadangan. Warga sini sepenuhnya mendukung kami. Kalau perlu semuanya pun akan ikut berjuang.”

“Bagaimana dengan persenjataan? Apa saja persenjataan yang Anda miliki?”

Di pertanyaan ini lah Awale baru ragu menjawab. Ia hanya menggeleng dan tersenyum..

“Pernahkah Anda memikirkan kalau orang-orang itu punya keluarga seperti Anda? Kebanyakan dari mereka adalah tulang punggung keluarga. Jika ditahan di sini berminggu-minggu, berbulan-bulan, tanpa kejelasan, itu membuat bukan hanya mereka saja yang menderita, tapi juga anak-istri mereka di kampung halaman.”

“Kami tak pernah memberikan ketidakjelasan. Semuanya jelas-jelas saja. Jika tebusannya dibayar, maka mereka kami lepas.”

“Bagaimana rencana Anda pada kapal Indonesia dan krunya? Apa yang sedang terjadi sekarang?”

“Kami menunggu Indonesia membayar tebusannya. Jika sudah dibayar, mereka bebas pergi.”

“Masih bernegosiasi dengan pihak Indonesia?”

“Kami sudah malas bernegosiasi. Bayar atau tidak, itu pilihan Anda. Mumpung Anda di sini, kabarkanlah soal ini kepada pemerintah kalian.”

Mendengar kesempatan bagus ini, Sarah pun meluncurkan permintaannya, “Apakah kami diizinkan untuk berkeliling di sekitar sini, untuk mengambil gambar? Dan juga bisakah kami bertemu dengan para sandera dari Indonesia? Untuk memastikan kondisi mereka, dan juga mengabarkan kepada keluarga mereka kalau mereka baik-baik saja.”

Awale lalu memanggil beberapa anak buahnya dan memberikan perintah kepada mereka. Setelah itu ia berkata kepada Sarah, “Kalian akan diantar. Tapi waktu kalian tidak banyak. Gunakan dengan baik-baik untuk mengabarkan kepada Indonesia agar segera membayar tebusannya.”

“Terima kasih banyak, Tuan Awale. Kami sangat terhormat bisa mendapatkan kesempatan ini.”

Lalu Awale bertanya, “Siapa namamu tadi?”

“Aku Sarah.”

Awale tersenyum dan berkata, “Aku punya 11 istri. Aku tidak akan memaksa, tetapi barangkali kau ingin menjadi yang ke-12? Kau akan bahagia di sini. Aku bisa memberimu apa saja. Tidak ada satupun istriku yang hidup miskin di sini. Semua makan cukup, dan punya anak banyak.”

Lihat selengkapnya