Bara Segara

Tsugaeda
Chapter #24

Bab 24

Malam itu pikiran Aji jelas kalut. Saat terbaring di kamar tidurnya ia gelisah memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Apakah rencana mereka bisa berjalan mulus? Apakah semua ABK bisa selamat? Bagaimana nasib Sarah nanti?

Ah, bagaimana pula nasibnya sendiri nanti? Apakah dia bisa selamat dan pulang ke Jakarta? 

Kalaupun dia tak selamat, apakah ada yang akan merindukannya di tanah air sana?

Pria itu bolak-balik mengganti posisi tidurnya dan berusaha keras memejamkan mata. Namun, ia tak kunjung bisa terlelap. 

Lalu tiba-tiba telinganya menangkap suara aneh dari luar.

Suaranya terdengar seperti suara isak tangis.

Aji bangun dari tidurnya dan keluar. Ia mengendap-endap dan menemukan suara aneh itu datang dari kamar yang dipakai Sarah. Karena pintunya sedikit terbuka, maka laki-laki itu pun mengintip ke dalam. 

Dilihatnya Sarah sedang bersimpuh dan menangis tersedu-sedu sembari memegang sebuah pas foto kecil. Aji memberanikan diri melangkah masuk, tetapi kehadirannya belum disadari oleh perempuan itu. 

Yang dipegangnya itu ternyata adalah foto seorang anak laki-laki, kira-kira seusia SMP. Aji merasakan ada sedikit kemiripan antara anak di foto itu dengan pemuda ABK yang ditemuinya tadi. 

Aji berdeham untuk memberitahukan keberadaannya di kamar itu. Sarah menoleh dan cepat-cepat mengusap air matanya dan menyimpan foto itu ke dalam buku catatannya.

“Sori saya langsung masuk. Saya tadi dengar sesuatu, saya kuatir ada masalah apa.”

“Iya, Mas. Maaf ganggu istirahatnya.”

“Itu foto siapa?”

“Bukan siapa-siapa,” katanya. 

Aji menghela nafasnya, lalu menunjuk ke arah kasur, “Boleh duduk sebentar di sini?”

“Boleh, Mas. Silakan.”

Pria itu duduk, lalu memandangi perempuan itu tanpa bicara. Ia tampak agak ragu untuk memulai pembicaraan, tetapi akhirnya menguatkan hati untuk melakukannya.

“Kita mungkin gak akan ketemu lagi setelah malam ini. Saya mau bilang terima kasih sama kamu. Kita sudah bekerja sama dengan baik. Gak mungkin misi ini bisa sejauh ini kalau tanpa kontribusi kamu. Rasanya saya akan terus berhutang budi sama kamu. Saya sendiri gak akan tahu gimana nasib saya besok. Tadi saya sempat kepikiran, kalau saya gak pulang, siapa, ya, yang akan merindukan saya di rumah? Toh, saya selalu hidup sendiri.”

“Pasti orang-orang di kampus dan para mahasiswa akan kehilangan.”

Lihat selengkapnya