El Dhanan, Somalia
Suara burung camar terdengar sayup-sayup seiring dengan debur ombak. Matahari telah sempurna meninggi dan membakar kulit. Aji telah digiring di tepian pantai dalam kondisi terikat dan duduk bersimpuh. Kepalanya pening, sementara kulit tangan dan kakinya mulai melepuh tersengat terik. Rahang dan hidungnya pun masih merasakan perih akibat hantaman kepalan tangan Awale tadi.
Ia mendongak dan mengetahui dirinya telah berada di panggung eksekusi. Banyak sekali orang-orang berkerumun di depannya. Semuanya laki-laki dari yang berusia muda hingga renta. Hampir separuhnya menenteng senjata. Tidak ada wajah-wajah duka atau prihatin di sana. Mereka semua antusias dan tertawa menanti laki-laki biang onar semalam dipancung oleh algojo.
Aji termenung, lalu benaknya mengembara, tidak lagi di pantai itu, tidak lagi di El Dhanan, tidak lagi di Somalia. Tanpa disadarinya pikirannya terbang kembali ke malam sebelumnya, di mana ia terbaring di ranjang kamar itu, tak bisa tidur setelah berbincang dengan Sarah.
Saat itu ia teringat sedang hanyut dalam lamunan panjang. Betapa beruntungnya Lilo, adiknya Sarah, memiliki kakak perempuan yang sangat menyayangi dan merindukannya. Namun, Lilo pasti belum menyadarinya, karena ia ditinggal Sarah ketika masih sangat belia. Oleh karena itu, pikir Aji, bocah itu harus menyadarinya, dan Sarah harus diberi kesempatan sekali lagi untuk menunjukkannya. Karena apa sebenarnya yang lebih penting di dunia ini selain mengetahui ada manusia lain yang peduli akan keberadaanmu, yang siap berbagi, menyayangi?
Awale ikut berdiri bersama kerumunan yang menyaksikan. Lalu ia memerintahkan sang algojo, seorang pria kekar yang bertelanjang dada, untuk memulai proses eksekusi. Pria kekar itu maju mendekati Aji dengan menenteng pedang melengkung berkilat.
Kemudian, pikiran Aji otomatis mengasihani dirinya sendiri. Apakah ada orang yang menyayanginya seperti Sarah kepada adiknya? Ingatannya tentang orang tua yang sudah meninggal kini samar-samar belaka. Apalagi tentang adik-adiknya yang selalu sibuk dengan urusannya masing-masing dan membiarkan kakak laki-lakinya ini menjalani petualangan hidupnya sendirian. Aji sebetulnya menikmati kemandirian ini. Namun, di tengah situasi menjelang ajalnya ini, mau tak mau ia tersentuh sisi sentimentilnya. Tidak enak rupanya hidup sebatang kara.
Namun, dia lalu berusaha menguasai benaknya, dan tak mau mengisi menit-menit terakhirnya dengan memelas kepada diri sendiri. Ia mengalihkan lamunannya berupaya mengingat momen-momen manis yang pernah terjadi dalam hidupnya. Ia ingin mengenang dan bersyukur atas hadirnya potongan-potongan kebahagiaan itu yang membuatnya hidupnya menjadi utuh. Ia tidak akan menyesal.
Sang algojo telah siap pada posisinya di samping Aji. Ia pun menghunus pedang itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi dengan kedua tangan, siap menebas leher laki-laki malang itu.
Keheranan merambat di benak Aji, karena pada saat mengingat hal-hal membahagiakan ini, selalu muncul sosok yang sama, yang sepertinya ingin dimunculkan oleh alam bawah sadarnya.
Istana Kepresidenan Bogor
Seorang wanita petugas protokoler menyambut kedatangan Bella dan menemaninya melewati pemeriksaan X-Ray oleh Paspampres. Kemudian ia mengantarkan tamu yang masih kebingungan itu ke pekarangan barat istana.
Bella masih tak percaya jika ia akan menemui orang itu, sampai ia benar-benar melihat sosoknya sedang berdiri bersama rusa-rusa di bawah sebatang pohon trembesi yang besar dan rindang. Petugas protokoler tadi berhenti ketika sudah berjarak 50 meter dan mempersilakan Bella melanjutkan perjalanannya sendiri.
“Pak Presiden,” sapa Bella menangkupkan tangannya, ragu-ragu apakah ia perlu bersalaman atau bagaimana.
Pria separuh baya itu tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Saya dengar kamu sedang dalam kesulitan, ya?” katanya sembari memberikan seikat kacang panjang kepada rusa-rusa yang mendekat padanya.
Bella memperhatikan pria di depannya itu masih mengenakan setelan lengkap jas formal, dengan pin tanda kepresidenan di dada kirinya.
“Saya pikir Bapak terlalu sibuk untuk tahu tentang apa yang terjadi pada saya.”
“Saya setiap pagi dapat memo dari Kepala BIN. Saya selalu baca sambil sarapan. Jadi, gini-gini, ya, saya tahu lah.”
“Sedang short break, Pak? Saya kaget banget dibawa menghadap Bapak tiba-tiba begini.”
Presiden tersenyum dan menjawab, “Baru saja menerima beberapa dubes tadi. Sekarang ada jeda sebelum agenda berikutnya. Saya tadi pagi mendengar kabar tentang kamu, dan saya langsung telepon Kapolri untuk memastikan kamu baik-baik saja.”
Penjelasan itu makin membuat Bella kebingungan. Ia tak mengerti mengapa kejadian yang baru menimpanya bisa menarik perhatian orang nomor satu di negeri ini yang pasti memiliki segudang penuh persoalan pelik di pikirannya.
“Terima kasih, Bapak. Lalu kalau boleh tahu, kenapa saya diundang kemari?”
“Tentu saja saya peduli jika ada yang mengancam kerja independen jurnalis. Apalagi jurnalis sekaliber kamu. Jika kamu yang dikenal luas saja mereka berani, apalagi terhadap yang lain.”
“....”
“Kemudian, memang ada lagi yang ingin saya bicarakan,” kata Presiden.
“Ini dia,” pikir Bella.
“Saya mengapresiasi liputan kamu dan kawan-kawan di JKTNews perihal masalah di balik Satgas Garuda Diwangkara. Itu tidak hanya membangkitkan concern publik, tapi juga kami di pemerintahan. Saya sudah telepon Kapolri. Hari ini juga yang bersangkutan akan langsung ditangkap. Baik yang di kementerian, yang di swasta, yang terlibat harus diproses hukum. Saya juga instruksikan ke Kapolri supaya Mbak Bella ini dapat perhatian khusus untuk diamankan. Tidak boleh ada yang mengganggu kerja jurnalis di negara demokratis seperti Indonesia ini. Saya tidak bisa biarkan.”
Sebagian beban di hati Bella terasa terangkat dan hilang. Ia pun berkata, “Saya mewakili rekan-rekan mengucapkan terima kasih atas atensi Bapak.”