Universitas Indonesia, Depok
Setelah 35 hari tak pernah menginjakkan kaki ke kampus, akhirnya Aji tiba lagi di tempat yang sudah sangat dirindukannya itu. Lantaran kaki dan lengannya belum terlalu pulih, ia memilih untuk naik taksi alih-alih Commuter Line.
Baru sampai di halaman parkir dosen saja ia sudah bersiul-siul riang. Sudah lama ia hanya menganggap naungan gedung universitas ini sebatas tempatnya berkantor. Namun, ia kini merasakan tempat ini justru seperti rumah yang damai, seolah menyambutnya dengan pelukan.
Sebelumnya ia sudah menghubungi Rini tentang rencana kembalinya ke kampus, sehingga asistennya itu sudah siap duduk di depan ruang dosen sebagaimana biasanya.
“Selamat datang kembali, Mas Aji!” kata Rini yang nyaris tak bisa menahan dirinya untuk memeluk bosnya itu. Untung ia masih sadar dan cepat-cepat menarik lagi kedua tangannya yang sudah terulur.
“Salim sini!” kata Aji bercanda mengangsurkan tangannya seperti orang tua kepada anaknya.
“Rini, Rini, saya dah lama pergi, pas datang kok kamu masih di sini-sini aja. Kecewa saya. Kok gak lulus-lulus kamu?”
“Ye, 'kan, sidangnya masih bulan depan, Mas,” kata gadis itu sembari mengikuti Aji masuk ke ruang kerjanya.
Ketika pria itu sampai di meja kerjanya, Rini menaruh segelas kertas kopi hangat.
“Kopi almond sialan lagi?” tanya Aji.
Gadis itu tersenyum dan berkata, “Tambah smoked beef toast juga, Mas. Soalnya pending paper yang belum dikoreksi ada tiga tumpuk. Sudah saya taruh di belakang situ.”
Aji membelalak menyaksikan asistennya itu menaruh roti bakar yang masih mengepul dibalut kertas. Kemudian, ia memalingkan mukanya ke belakang dan melihat tiga tumpuk tinggi makalah dari para mahasiswa yang harus ia baca semua.
“Hadeeh!”
Rini tertawa mengikik.
“Saya ke Kadep dulu, deh. Setor muka.”
“Oke, Mas.”
Sophia sampai berjingkrak di ruang kerjanya ketika melihat Aji datang.
“Seneng banget, our hero is back!”
“Hero supermarket?”
“Gimana kondisi, Ji? Sudah sehat bener? Istirahat dulu gak apa-apa, lho.”
Aji tersenyum dan duduk di kursi yang ada di sana.
“Sudah sehat, sih, Mbak. Sudah kangen sama kampus juga,” katanya sambil mencomot koran hari ini yang tergeletak di atas meja dan membaca halaman pertamanya.
“Sangat bangga sama kamu, Ji. Orang-orang mungkin gak tahu, tapi saya sudah denger ceritanya lengkap dari Bu Dwi dan Dimas. Bu Menlu nelpon kemarin. Kalau Dimas malah sempat datang ke sini langsung. Petualangan kamu luar biasa!”
Aji tak merespon karena perhatiannya tertuju pada berita di koran itu. Tajuk media massa memang masih riuh memberitakan keberhasilan misi pembebasan sandera kapal di Somalia. Sanjungan kepada kehebatan pasukan TNI ditulis di mana-mana. Tak pernah ada satupun yang menyinggung soal Aji, apalagi Sarah. Laki-laki itu sudah menduganya dan tak pernah merasa terusik. Namun, rasa jengkelnya tiba-tiba muncul ketika membaca berita yang tak pernah disangkanya.
Presiden Sematkan Bintang Penghargaan untuk Totok Winarto
Aji membaca isi berita itu cepat-cepat. Ia bernafsu ingin menemukan apa alasan pria itu bisa dapat penghargaan. Di paragraf ketiga baru ia menemukan yang dicari: “Totok dianggap telah berjasa kepada negara karena bekerja cepat mengoordinasikan stakeholders, baik di kalangan sipil dan militer untuk bersatu padu menyukseskan misi pembebasan sandera di Somalia.”
Kemudian di paragraf berikutnya ada komentar dari Totok, “Saya sangat terhormat menerima penghargaan ini dari Bapak Presiden. Saya hanya menjalankan tugas dari Bapak Presiden. Memang Bapak Presiden yang saya nilai punya kejelian luar biasa. Pemimpin ulung! Itulah sebabnya Indonesia tidak salah pilih. Saya berani bilang, beliau presiden terhebat yang pernah dimiliki negeri ini.”
“Apa-apaan ini, anjing?!”
“Gak usah cemburu gitu kalau gak dapet bintang penghargaan,” goda Sophia sambil terkekeh-kekeh.
Aji tersipu malu disindir begitu dan pelan-pelan menaruh kembali koran itu ke atas meja. Setelah itu Sophia berkata, “Mungkin Presiden punya alasan sendiri kenapa dia gak ungkap prestasi kamu. Itung-itungan politik, 'kan, beda ama nalar kita. Tapi dia udah terbukti bela-belain kerahin tentara tiga kapal untuk nyelametin kamu doang, lho. Itu, 'kan, jadi bukti gimana Presiden perhatian sama kamu, punya penghargaan yang tinggi sama kamu. Bener-bener aset vital negara!”
“Anjay, alat vital negara!”