Aku menatap sekilas laki-laki yang ada di sampingku saat ini dengan ekor mata. Aku tak tahu kelanjutan hubungan kami akan seperti apa. Dia yang tak pernah membicarakan keseriusan hubungan kami ke depannya. Aku sudah berulang kali menanyakan hal itu, tapi dia selalu mengalihkan topik itu atau beralasan jika dia ingin sukses terlebih dahulu pada karirnya. Bagiku, sudah cukup apa yang dia miliki saat ini. Dia sudah punya apartemen, pekerjaan, mobil, penghasilan cukup dan tetap. Apalagi yang dia tunggu? Bahkan selama satu tahun ini dia belum pernah mengenalkan aku pada orang tuanya. Aku bingung dengan hubungan ini. Seriuskah dia dengan hubungan kami? Sampai kapan akan terus seperti ini? Kenapa aku begitu mengharapkannya?
"Kamu mau langsung pulang atau ke distro dulu?"
Aku tak menatapnya, fokus ke luar kaca mobil. "Ke distro. Alma nunggu aku di sana," balasku cuek. Tatapanku masih pada awan yang menampakkan kemendungannya, sama seperti hatiku, galau.
"Bagaimana perkembangan distro kamu? Aku lihat akhir-akhir ini sepi?" Dia masih berusaha mengajak aku untuk mengobrol di sela menunggu kemacetan.
Jika saja dia tahu kalau penghasilanku lebih banyak via online ketimbang di distro. Dia hanya melihat usahaku dari luarnya saja tanpa tahu pemasaranku di media sosial. Kurang peka.
Entahlah. Sejak pulang dari menemaninya mencari jas di pusat perbelanjaan, mendadak aku kesal dengannya karena dia menyepelekan hubungan kami. Aku dan dia menjalin hubungan bukan hanya sebulan atau dua bulan, melainkan sudah lebih dari satu tahun. Wajar jika aku meminta kepastian darinya. Sampai kapan dia akan menggantungkan hubungan kami seperti ini? Aku butuh kepastian darinya, bukan hanya janji manis belaka sampai dia sukses. Aku rasa dia sama saja seperti laki-laki lain yang hobi mengobral janji manis.
"Apa ada masalah?"
Aku terkesiap. Kugelengkan kepala untuk menanggapinya. Malas.
"Lalu?" Dia memastikan.
Aku menghela napas. "Apa hubungan kita akan terus seperti ini?" tanyaku. Sudah ke sekian kalinya aku menanyakan hal ini.
"Maksud kamu?" Dia bertanya balik.
"Kita sudah pacaran lebih dari satu tahun, Fan. Apa kamu nggak ada niatan buat ngenalin aku ke orang tua kamu? Aku butuh kepastian dari kamu mengenai hubungan kita. Apa kamu nggak ada niatan buat nikahin aku?" Aku to the poin padanya. Geram.
"Sarah. Aku pasti akan nikahi kamu. Kamu harus sabar sampai aku dapat tabungan yang cukup buat acara menikah kita. Aku nggak mungkin nikahi kamu sekarang karena tabungan aku masih belum cukup. Menikah butuh dana banyak. Mengenai pertemuan dengan orang tua, aku rasa itu lebih baik nanti ketika kita akan menikah dengan kamu. Kamu tahu, tempat kelahiranku jauh di sana." Fandi beralasan.
Aku terdiam. Dia selalu banyak alasan untuk menjawab pertanyaanku. Aku tak mengerti apa yang dia sedang rencanakan. Aku selalu menunggu kapan dia akan mengenalkan aku dengan orang tuanya atau dia akan membicarakan keseriusan hubungan kami. Apa dia sudah tidak mencintaiku?
Aku kembali menghela napas. Kupejamkan mata sesaat. Kulihat langit dari balik kaca terlihat semakin gelap. Rintik hujan pun mulai turun. Aku sudah hampir tiba di distro.
"Aku turun di sini saja." Aku mengintruksi.
"Biar aku putar balik saja sampai distro." Fandi membalas.
"Nggak usah, nanti kamu puter baliknya lagi jauh. Aku nggak apa-apa kalau turun di sini. Lagian sudah dekat, tinggal nyebrang." Aku kukuh pada keinginanku.
"Ya sudah." Fandi menyahut singkat.