Sudah beberapa hari aku sibuk dengan pekerjaan, mengabaikan pesan dan telepon dari Fandi. Aku lelah dengannya yang tanpa kepastian. Biarlah dia intropeksi diri dengan kelanjutan hubungan kita. Aku lelah meladeninya. Lebih baik aku fokus dengan usaha yang sedang aku jalani. Aku seperti pengemis yang meminta kepastian darinya. Seharusnya dia yang mengemis meminta kepastian, bukan aku.
Konsentrasiku terpecah ketika pintu ruangan ini terbuka. Kulihat Alma tiba di ruangan ini. Aku kembali menatap layar laptopku.
"Tumben lo sudah datang jam segini." Alma membuka suara, duduk di kursi kerjanya.
"Sudah siang kali, Al. Lagian gue lagi jenuh saja di rumah." Aku membalasnya.
"Hari libur nggak jalan-jalan sama Fandi?" tanya Alma.
Aku memutar bola mata jengah. Kenapa pula Alma sebut nama itu orang. Bikin aku jadi makin bad mood saja.
"Jangan sebut dia. Gue lagi sebal sama dia," ucapku dengan nada sebal.
"Ada apa, sih? Kok kedengarannya seperti lagi ada prahara?" Alma menebak.
"Kalau menurut lo, Fandi sudah cukup belum buat nikah?" tanyaku.
"Kok lo tanya gue? Kenapa nggak tanya langsung sama dianya? Dia pacar lo, bukan pacar gue." Alma tanya balik.
Aku menatap Alma kesal. "Gue nanya lo, Al. Gue butuh pendapat. Gue sudah nanya langsung ke orangnya, tapi jawaban dia belum siap. Katanya masih ingin nambah tabungan buat nikahin gue."
"Ya, elo ngertiin dia, mungkin memang tabungan dia belum cukup buat nikahin elo." Alma membalas santai.
"Gue nggak minta dinikahi langsung, minimal dia lamar gue gitu, tapi dia tetap nunggu tabungannya cukup. Sedangkan Rio, dia yang maksa buat lamar lo. Sedangkan hubungan gue sama Fandi sebaliknya sama hubungan lo dengan Rio. Coba lo pikir." Aku mengeluarkan uneg-uneg pada Alma.
Alma terdiam memikirkan ucapanku. Salah nggak kalau aku ngomong seperti itu sama Alma? Aku rasa, Fandi memang nggak serius hubungan sama aku. Ke arah serius pun nggak. Sedangkan Mama selalu menanyakan hubungan aku sama Fandi.
Deringan ponsel menggema. Aku menghela napas, kembali menatap laptop yang menampilkan desain gambar untuk sampel kaus. Aku kembali sibuk pada laptop sambil mendengarkan Alma yang sedang asyik ngobrol dengan temannya. Perhatianku terusik ketika dia menyebut nama 'Bara'. Aku memang penasaran dengan sosok laki-laki satu ini. Seperti apa dia. Alma selalu memujinya di depanku. Katanya, kalau dia belum punya Rio, mungkin akan terus jatuh cinta pada Bara. Gila itu anak. Kalau Rio tahu bisa kelar hidupnya.
"Sar, Bara minta ketemu sama kita masalah clothing. Mumpung dia libur. Lo bisa nggak ketemu buat hari ini sekalian makan siang gitu?" tanya Alma.
"Atur saja, gue bisa kok hari ini. Mumpung gue lagi stres, butuh hiburan." Aku membalas datar.
Alma tertawa. "Gue baru lihat lo stres berat begini. Ya sudah, gue kasih kabar Bara dulu kalau kita bisa ketemu dia hari ini," balasnya senang. Senang ngeledek aku yang lagi kesal.
Kuraih ponsel di atas meja karena mendapati panggilan masuk dari Fandi. Sengaja aku modus diam biar nggak diganggu dia. Aku masih kesal dengannya. Biasanya kalau libur seperti ini dia ngajak aku jalan. Tapi pekan ini aku malas bertemu dengannya sampai dia ada kepastian. Aku kasih waktu buat dia berpikir. Kulihat beberapa pesan dari Fandi masuk.
From: My Fandi
Kamu sibuk?
Kenapa teleponku nggak diangkat?
Aku rindu kamu, Sar.
Aku sudah nggak percaya sama kata-kata manismu sampai kamu datang ke rumahku dan mengutarakan niat keseriusanmu padaku.
To: Fandi.
Iya.
Aku sibuk.
Aku mengirim pesan itu pada Fandi, lalu meletakkan ponselku ke tempat semula, kembali fokus pada laptop. Aku membiarkan ponselku walaupun sudah dapat balasan pesan dari Fandi.