Baraa'

Ahliya Mujahidin
Chapter #4

Butuh Kepastian

Sudah beberapa hari dari pertemuan itu, Bara masih belum juga hubungi aku masalah contoh desain yang dia inginkan. Aku heran. Sebenarnya dia niat atau nggak buat bikin clothing. Dia yang butuh kenapa aku jadi yang kepikiran. Masalahnya juga aku sibuk harus mikir buat desain sablon edisi berikutnya. Aku yang terlalu buru-buru atau Bara yang terlalu santai? Pusing ah!

Aku terkesiap ketika ponselku berdering. Kuraih benda pipih itu. Fandi. Aku menghela napas. Sudah beberapa hari kuabaikan telepon darinya. Haruskah aku menerima panggilan telepon darinya?

Aku menempelkan benda pipih yang kupegang pada telinga setelah menggeser ke warna hijau. Aku hanya menggumam untuk menyapanya.

"Kamu di mana?" tanyanya.

"Di distro." Aku membalas datar.

"Cepat keluar. Aku sudah di depan distro kamu."

Aku menyibak tirai. Kulihat mobil Fandi terparkir di depan distro. "Aku siap-siap," ucapku.

Aku menatap layar ponsel lalu menghela napas. Seharusnya, sebagai laki-laki yang baik itu turun dari mobil, masuk ke sini, baru ajak aku keluar. Ini nggak! Dia malah nyuruh aku turun sendiri dan seenak jidat dia. Cowok nggak peka!

"Sar, ada Fandi di depan."

Aku tak menatap Alma, memilih untuk bergumam sebagai tanda balasan untuknya. Aku sibuk memasukan laptop ke dalam tas. Alma duduk di kursinya.

"Lo balik lagi ke sini nggak? Gue mau ngajak lo jenguk ibunya Bara nanti sore. Tapi kalau lo sibuk nggak masalah gue datang ke sana sendiri," ajaknya.

Apa ini alasan Bara masih belum hubungi aku masalah contoh untuk aku desain? Aku sudah prasangka jelek sama dia. Dia juga pasti sibuk dengan kerjaannya.

"Sar!" seru Alma.

"Iya. Nanti gue WA. Gue pergi dulu." Aku keluar dari ruangan kerja karena Fandi pasti sudah lama menunggu. Bisa marah dia kalau nunggu lama.

"Jas, aku pergi dulu." Aku pamit pada Jasmin.

"Iya, Mbak," balasnya.

Aku keluar dari distro, menghampiri mobil Fandi, lalu masuk. Aku menoleh sekilas ke arahnya. Biasa saja. Dia melajukan mobilnya menuju tempat yang dia inginkan.

"Sibuk banget sampai lupa sama aku?" Fandi memulai obrolan.

"Iya, lagi banyak pesanan dan barang masuk." Aku membalas santai.

"Sampai nggak mau angkat telepon aku? Nggak biasanya kamu seperti ini." Fandi terdengar ketus.

"Lagi bad mood," balasku seadanya.

"Masih mengenai pas terakhir kita ketemu?" tanyanya.

Kalau sudah tahu kenapa nanya? Nggak peka banget jadi cowok. Kapan pekanya?

"Kamu jangan khawatir. Aku pasti nikahin kamu. Kamu hanya butuh sabar." Dia masih dengan janjinya yang menunda.

Dari dulu juga bilangnya seperti itu. Sabar, sabar, sabar. Aku juga punya batas sabar. Enak banget kamu bilang aku suruh sabar. Bilang saja masih belum siap. Males.

Fandi menyentuh tangan aku. Aku menarik tangan untuk menghindarinya. Aku masih kesal dengannya.

"Kamu kenapa?"

"Aku butuh bukti kalau kamu beneran serius mau nikahi aku. Minimal tunangan dulu. Aku pacaran sama kamu lebih dulu daripada Alma sama Rio. Tapi mereka dulu yang tunangan, malah Rio yang maksa buat tunangan. Kenapa kamu santai dan nggak mikir ke arah situ?" Aku mengungkapkan tanpa menatapnya, masih berusaha tenang.

Tak ada jawaban. Aku menoleh sekilas ke arah Fandi. Dia terdiam. Aku ingin lihat, seberapa dia serius sama hubungan kita. Sudah lama aku sabar menanti jawaban keseriusan darinya. Nggak mau aku terus-terusan seperti ini. Digantung.

"Aku akan buktikan, tapi tidak sekarang. Untuk bulan-bulan ke depan aku akan sibuk mengenai peluncuran produk baru." Dia kembali beralasan.

Aku memutar bola mata jengah. Sudah banyak alasan yang dia berikan padaku. Sibuklah, ini lah, itu lah. Basi!

Aku turun dari mobil ketika kami tiba di restoran yang cukup terkenal. Aku duduk di kursi kosong sesuai petunjuk dari pelayan restoran ini. Aku langsung membuka buku menu untuk memilih makanan yang akan kupesan. Aku memesan makanan dan minuman seperti biasa. Kuberikan kembali buku menu pada pelayan. Fandi masih memilih menu. Aku meraih ponsel untuk memastikan barangkali ada pesan penting masuk ke dalam ponselku. Mataku tertuju pada nama yang sedang kupikirkan dari kemarin. Bara.

From: Baraa

Assalamu'alaikum

Maaf kalau aku baru bisa kabari kamu sekarang.

Aku sibuk dengan pasien dan ditambah ibuku sakit.

Aku tersenyum menatap pesannya. Segera kubalas pesan darinya.

To: Baraa

Lihat selengkapnya