Baraa'

Ahliya Mujahidin
Chapter #5

Ketahuan Selingkuh

Paling senang kalau konsumen puas dengan desain karakter dan bahan yang keluar setiap edisi. Aku sebagai pembuat karakter sablon buat kausnya pun merasa senang. Kalau dibilang puas, nggak lah. Aku masih belum puas karena kerjaan ini masih terus berlanjut sampai kapan pun. Walaupun kadang dapat respon negatif, tapi aku berusaha ambil positifnya saja. Aku beruntung punya sahabat seperti Alma. Kita sama-sama saling mengerti walaupun lebih banyak dia yang ngertiin aku.

Aku melepas sweter yang kukenakan. Sweter lama rasa baru. Baru karena ada sesuatu yang berbeda. Ada sablonan karakter Palestina di bagian depan sweter yang kukenakan. Ya. Aku menyablon sweterku dengan karakter Palestina yang ditolak Bara. Menurutku ini bagus, tapi nggak tahu kenapa Bara nolak. Pesanan Bara pun akan segera di proses kalau bahan sudah ada. Ada kebahagiaan sendiri bisa bantu dia. Semangatnya buat bedonasi sangat tinggi. Bahkan dia menyisihkan tabungannya buat ke sana. Pemuda hebat.

"Datang kapan lo? Gue nggak dengar lo buka pintu atau suara lain?"

Aku menatap Alma yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Baru saja gue datang. Ya kali gue grusuk-grusuk mau masuk ke sini." Aku membalasnya santai.

"Jaket baru?" tanya Alma sambil menatap jaket yang aku gantung di belakang kursi kerjaku.

"Jaket lama rasa baru. Cuma gue sablon gambar karakter yang nggak dipilih Bara." Aku menambahi.

"Lo sudah ke tempat sablon?" Alma duduk di kursinya.

"Belum. Gue nunggu Bara, katanya mau ke sini buat ninjau tempat sablon sama sekalian mau hunting bahan. Kalau sweter ini, gue minta tolong Angga buat sablonin." Aku mulai berkutat pada laptop.

"Gue nggak bisa ikut, Sar. Rio ngajak gue makan siang sekalian milih undangan buat pernikahan kita."

Tatapanku langsung ke arah Alma. Dia masih sibuk dengan laptopnya. "Lo serius mau nikah tahun ini?" Aku memastikan.

"Ya kali gue bohong sama semua orang." Alma membalas santai.

Aku merasa sedih di atas kebahagiaannya. Aku dan Fandi lebih dulu menjalin hubungan daripada Alma dan Rio. Tapi kenapa justru mereka yang lebih dulu ke pelaminan. Aku memang harus tegas sama Fandi. Aku nggak mau hubungan kita seperti ini terus. Hubungan kita butuh kepastian. Kalau dia nggak serius, terpaksa aku harus rela melepaskannya walaupun berat. Aku sudah cinta mati sama Fandi. Satu tahun lebih kita pacaran dan hubungan kami nggak terus-terusan seperti ini. Apalagi Mama sering tanya, kapan Fandi ke rumah buat lamar aku. Pusing aku rasanya.

"Sarah!"

Aku terkesiap ketika Alma menyeru namaku. Hanya gumaman yang kuberikan untuk membalasnya. Galau hatiku.

"Bara lagi di jalan mau ke sini. Gue suruh ajak Hasan biar Bara nggak risih karena cuma berdua sama lo. Sekalian nanti belanja bahan buat edisi bulan depan. Gue transfer ke rekening elo sekalian bayar kontrakan distro cabang setahun ke depan. Gue takut lupa kalau nunggu pekan depan. Jangan lupa lo bayarin ke bokap lo. Entar lo lupa lagi." Alma menyampaikan.

"Bukannya masalah bayaran biasanya elo langsung. Gue malas urusan bayar-bayaran. Mending lo langsung yang bayar ke Putro nanti." Aku menolak masalah belanja.

"Sekalian, Sar. Kan lo mau ketemu Putro. Kalau gue ikut juga, ya pasti gue yang bayar. Sekali-sekali lo berhadapan duit sama Putro." Alma tertawa setelah membalasku.

Aku hanya menghela napas. Aku memang malas kalau disuruh hitung-hitungan uang. Prinsipku hanya percaya, dan syukurnya aku punya teman seperti Alma. Ya. Distro cabang ngontrak ruko punya Papa aku. Tempat ini sebenarnya pun punya Papa, tapi beliau kasih tempat ini ke aku waktu awal merintis sebagai modal dari beliau. Aku bersyukur karena sudah tiga tahun merintis bisnis ini sejak lulus kuliah masih terus berjalan sampai sekarang.

Lamunanku buyar ketika mendengar pintu ruangan ini terbuka. Aku menoleh ke sumber suara. Jasmin masuk ke dalam ruangan ini.

"Mbak, ada tamu mau ketemu sama Mbak Alma dan Mbak Sarah," kata Jasmin.

"Dua cowok?" tebak Alma.

"Iya, Mbak." Jasmin mengangguk.

"Suruh masuk saja." Alma menambahi.

Aku membetulkan posisi dudukku. Tak lama, pintu pun terbuka disertai salam. Aku merapikan meja kerjaku yang terlihat berantakan.

"Wa alaikumussalam." Alma menjawab salam Bara. "Masuk, Bar. Sarah sudah nungguin kamu," lanjutnya.

Aku? Kenapa aku? Siapa yang nungguin dia? Perasaan dia yang nungguin Bara. Entah kenapa aku masih merasa canggung dengan kehadiran Bara di sini.

Lihat selengkapnya