Kamis pagi yang telah lama dinantikan akhirnya tiba. Fakultas tempat Maya menempuh studi S1 memberikan izin kepada para mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN untuk pulang ke rumah masing-masing sebelum acara perpisahan KKN pada hari Minggu. Bagi mahasiswa yang juga bekerja sebagai guru, kabar ini sangat menggembirakan karena Senin depan sudah memasuki tahun ajaran baru. Maya pun merasa senang, terutama karena ia memiliki kesempatan untuk mempersiapkan segala keperluan sebelum kembali mengajar.
Maya bersama putrinya, Liana, yang ikut ber-KKN bersamanya, mulai mengemasi barang-barang untuk dibawa pulang, menyisakan sedikit pakaian untuk dikenakan saat perpisahan KKN nanti. Di balik sikap antusiasnya, ada perasaan ganjil yang Maya rasakan. Sejak KKN dimulai, Bima, suaminya, tidak pernah menghubungi mereka. Setiap kali Maya berusaha menghubungi Bima, ia hanya mendengar suara operator yang mengatakan, “Nomor yang Anda tuju sedang dialihkan, cobalah beberapa saat lagi!”
Maya berusaha menyembunyikan kegelisahannya dari Liana. Ia tidak ingin merusak kegembiraan putrinya yang tampak begitu bersemangat untuk segera pulang dan bertemu ayahnya. Meski hatinya berkecamuk, Maya mencoba tetap tenang di depan Liana. Ia berharap firasat-firasat buruk yang muncul hanyalah hasil dari kekhawatiran yang berlebihan, terutama karena pertengkaran yang sempat terjadi antara dirinya dan Bima sebelum ia berangkat KKN.
Sekali lagi, Maya menata hatinya ketika panggilan ke Bima kembali tidak terhubung. Ia memutuskan untuk berhenti mencoba dan berpikir positif, mungkin ponsel Bima sedang rusak atau kehabisan baterai. Walau begitu, pikiran-pikiran negatif sesekali menghampiri. Ia menarik napas panjang, menahan, lalu mengembuskannya perlahan, mengulangi tiga kali untuk menenangkan diri.
“Bu, Ayah udah dikasih tahu belum kalo kita mau pulang?” tanya Liana, memergoki ibunya yang baru saja menutup ponsel.
“Hm, sepertinya Ayah masih sibuk, Nak. Gimana kalau kita jadikan ini kejutan? Nanti tahu-tahu kita udah di rumah, Ayah pasti senang,” jawab Maya sambil menatap putrinya dengan lembut.
“Wah, ide bagus, Bu! Aku udah nggak sabar buat kasih kejutan ke Ayah. Nanti aku bakal peluk Ayah seharian biar dia nggak keluar rumah, hehehe,” jawab Liana dengan semangat.
Maya berpura-pura tersenyum bahagia, tak ingin merusak kebahagiaan Liana dengan kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Untuk saat ini, Maya membiarkan putrinya bergembira menantikan kepulangan mereka.
Setelah semuanya siap, Maya kembali memastikan tidak ada barang yang tertinggal di kamar. Enam bulan sudah Maya menjalani KKN, dan ia bersyukur rekan-rekannya serta dosen pembimbing memberikan izin untuk membawa Liana selama sebulan terakhir. Liana tidak mau lagi dititipkan di rumah uwanya, apalagi setelah ia sempat sakit dan Bima menolak untuk mengasuhnya, malah menyuruh Maya membawanya ke tempat KKN.
Persiapan selesai. Para mahasiswa saling berpamitan, berjanji bertemu kembali di titik pertemuan di tugu perbatasan desa pada Sabtu sore, sebelum perpisahan resmi. Mereka pun berpisah di persimpangan, menuju rumah masing-masing.
Maya dan Liana memutuskan untuk mampir ke rumah Bu Jameela sebelum pulang. Maya harus menyelesaikan beberapa tugas administrasi guru yang harus diserahkan pada hari pertama masuk sekolah. Tugas tersebut perlu diketik rapi dan disambungkan ke internet. Di rumah Bu Jameela, tersedia komputer, printer, dan wifi, sehingga Maya bisa menyelesaikan tugasnya di sana.
Maya dan Liana tiba di rumah Bu Jameela pukul sembilan pagi, dengan cukup waktu sebelum pulang. Bu Jameela adalah sahabat almh. mamanya Maya, sehingga hubungan antara kedua keluarga sudah seperti keluarga sendiri. Karena rumah Bu Jameela terletak sebelum rumah Maya, mampir ke sana adalah pilihan yang tepat.
“Assalamualaikum, Bu,” sapa Maya ketika sampai di depan gerbang, melihat Bu Jameela yang sedang menyapu halaman depan.
“Waalaikumsalam, Maya. Wah, abis dari mana ini bawa banyak sekali barang? Abis pindahan, ya?” gurau Bu Jameela menyambut kedatangan Maya dan Liana.
Bu Jameela sudah mengetahui kedatangan Maya dan Liana pagi ini. Sebelumnya, Maya telah meneleponnya untuk meminta izin meminjam peralatan guna menyelesaikan tugas sekolah yang akan digunakan pada hari pertama tahun ajaran baru. Bu Jameela dengan antusias mengizinkannya dan bahkan meminta Maya untuk segera datang ke rumahnya.
Dua jam kemudian, tugas Maya selesai dikerjakan dan dicetak dengan sempurna. Setelah semuanya beres, Maya memberanikan diri untuk berbicara lebih intens dengan Bu Jameela. Ia menanyakan kabar suaminya, Bima, dengan harapan Bu Jameela mengetahui keberadaan suaminya.
Akan tetapi, sangat disayangkan, Bu Jameela pun tidak tahu di mana keberadaan Bima. Sudah hampir sebulan Bima tidak mampir ke rumahnya, sejak mengantarkan Maya dan Liana kembali ke lokasi KKN setelah kepulangan pertama mereka untuk menghadiri acara kenaikan kelas di sekolah. Kali ini adalah kepulangan kedua Maya yang diizinkan oleh fakultas selama masa KKN.
Maya mengembuskan napas kasar, tidak dapat dipungkiri, rasa kecewa telah menyelimuti dadanya kali ini. Kembali firasat-firasat buruk itu menghampiri, tetapi langsung ditepis kembali oleh Maya. Ia masih berharap, semua itu hanya praduga yang tidak perlu. Maya berusaha mengumpulkan kepercayaan dirinya, bahwa semua baik-baik saja.
Setelah mendapatkan informasi mengenai suaminya yang memang tidak diketahui keberadaannya selama ini. Maka, Maya memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Ia berharap, Bima ada di rumah sedang tertidur pulas, tidak dapat mengangkat ponsel dikarenakan sedang habis baterai pula, sehingga lupa untuk mengisi daya baterai ponselnya. Banyak sekali alibi yang ia pikirkan supaya tetap tenang dan tidak negatif thinking terhadap suaminya.
“Bu, pulang sekarang, kan?” rengek Liana ke sekian kalinya, sudah tak sabar ingin segera pulang sedari tadi, ketika Maya masih mengerjakan tugasnya.
“Iya, Nak. Ibu udah selesai sekarang. Kita pulang, ya! Ayo pamit dulu sama Nenek Jameela!” Maya langsung menyuruh Liana berpamitan kepada Bu Jameela.
Setelah pamitan, Maya dan Liana langsung meluncur pulang menggunakan ojek langganan mereka. Di perjalanan, Maya mencoba menanyakan kabar tentang Bima kepada Kang Ojek setelah sebulan ini. Namun, raut wajah Kang Ojek terlihat menyimpan keresahan, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada Maya, tetapi ia tampak ragu untuk memulai. Kang Ojek khawatir kabar tersebut akan membuat suasana hati Maya memburuk. Akhirnya, ia memilih untuk tidak berkata apa-apa dan meninggalkan Maya serta Liana setelah mengantar mereka sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, Maya merasa lega. ‘Home sweet home,’ pikirnya. Liana langsung berlari menuju pintu depan dengan riang, sambil melompat kegirangan. “Bu, kuncinya mana? Cepat buka pintunya!” seru Liana kepada Maya.
Maya segera mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Dalam hatinya, ia masih berharap pintu rumah sudah terbuka karena Bima ada di dalam. Namun, harapannya pupus ketika mendapati pintu terkunci rapat, bahkan terasa berat saat dibuka, seolah sudah lama tidak digunakan selama mereka pergi KKN.
“Assalamualaikum, Yah! Ayah! Liana sudah pulang! Ayah di mana?” Liana langsung berlari menuju kamar tidur, tetapi tidak menemukan siapa pun di dalam rumah.
“Bu, Ayah nggak ada! Coba Ibu telepon. Tanyakan Ayah lagi di mana, suruh cepat pulang, Bu. Liana kangen Ayah!” pinta Liana dengan suara mengiba. Di sudut matanya, mulai tampak bulir-bulir air mata yang ia tahan sekuat tenaga.
Langkah Maya mulai terasa berat begitu mendengar permintaan Liana, putri semata wayangnya. "Ponsel Ibu lowbat, Nak. Kita isi baterainya dulu, ya. Nanti, kalau sudah penuh, kita hubungi Ayah," bujuk Maya kepada Liana.
Raut kecewa segera tampak di wajah Liana. Sambil cemberut dan melipatkan kedua tangannya di dada, ia berkata dengan nada penuh kecewa, "Baiklah, tapi Ibu janji, ya? Kalau baterainya sudah penuh, langsung hubungi Ayah? Janji?" Liana menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan Maya, seolah menuntut janji untuk menepati ucapan tersebut.
Dengan berat hati, Maya mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Liana dan berkata, "Insyaallah, Nak. Semoga nanti ayahmu bisa segera dihubungi, mungkin Ayah lagi keluar rumah dulu sebentar, lagi ada keperluan.”
Untung saja tadi mereka sempat makan siang di rumah Bu Jameela. Kalau tidak, celaka! Tak ada sebulir beras pun di rumah, gas habis, dan lauk pun tak ada. Parahnya lagi, di saku Maya hanya tersisa uang sepuluh ribu rupiah, cukup untuk apa? Namun, hal itu tidak terlalu membebani pikiran Maya, karena ia masih punya seorang kakak yang selalu siap membantunya saat kesulitan. Ia segera menelepon kakaknya, yang sedang bekerja di pabrik sepatu dekat rumah.
“Assalamu'alaikum, A. Lagi di mana? Masih kerja?” tanya Maya begitu mendengar suara dari seberang telepon.
“Waalaikumsalam, Aa lagi di pabrik. Mau siap-siap pulang. Maya di mana sekarang?” balas kakaknya.
“Maya baru aja sampai rumah, A. Tadi dapat izin pulang lagi buat persiapan masuk sekolah. Kan, Senin sudah mulai aktif lagi,” jawab Maya.
“Oh, bagus kalau begitu. Aa juga mau pulang ini...”
“A, jangan dulu pulang! Bisa mampir ke rumah Maya dulu? Di sini nggak ada beras, uang Maya juga tinggal sepuluh ribu. Boleh minta uang dan makanan?” sergah Maya, khawatir kakaknya keburu pulang.
“Lho, emang Bima nggak ada di rumah?” tanya kakaknya bingung. “Dia tahu nggak kalau kamu pulang hari ini sama Liana?”
“Nggak ada, A. Justru Maya nggak bisa hubungi dia sejak berangkat lagi ke tempat KKN. Nomornya terus nggak aktif, malah dijawab operator,” terang Maya.
“Lho, ke mana dia? Aneh! Aa kira Bima ada di rumah. Udah lama juga Aa nggak ke situ, kan kamu juga lagi KKN,” sahut kakaknya. “Ya udah, tunggu sebentar. Nanti Aa mampir ke rumah.”
Fyuh, untunglah Maya masih sempat telepon kakak lelakinya itu sebelum dia benar-benar pulang ke rumahnya. Entah bagaimana nasibnya nanti, jika kakak lelakinya itu sudah pulang ke rumahnya, mana jauh pula dari rumah Maya. Mau makan apa malam ini dan besok, serta bagaimana nasibnya untuk balik lagi ke tempat KKN jika uangnya saja tinggal sisa sedikit?!
Sambil menunggu kakak lelakinya datang, Maya pun bersiap untuk mencuci pakaian kotor yang telah dibawanya dari tempat KKN. Tak lupa baju-baju yang sebelumnya ada di tempat cucian di rumah. Maya sudah berniat untuk sekalian mencucikan pakaian kotor Bima, siapa tahu belum dicuci olehnya.
Meskipun di rumah ada mesin cuci, tetapi tak pernah sekalipun Bima mencuci pakaiannya sendiri, selalu menunggu Maya yang mencucikan untuknya. Entahlah, sejak kejadian hari itu, Bima tidak lagi pernah membantu pekerjaan rumah tangga. Seolah otaknya sudah tercuci, bahwa pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang istri, seorang suami tugasnya hanya mencari nafkah di rumah. Padahal, dulu dia sangat rajin membantu, minimal untuk keperluan dirinya sendiri dikerjakan sendiri.
Akan tetapi, hari ini Maya tak satu pun mendapati. Pakaian kotor Bima di keranjang cucian. ‘Mungkin sudah dicuci oleh Bima?’ pikir Maya. Ia pun tak ambil pusing, langsung merendam pakaian kotor itu ke dalam mesin cuci, setelah sebelumnya sudah dipersiapkan air dan deterjen di bak mesin cuci.
Sambil menunggu mesin cuci selesai, Maya menyapu dan mengepel lantai, baik di dalam maupun di luar rumah. Setelah selesai, ia lanjut menjemur pakaian yang telah dicuci. Saat tengah menjemur, kakak lelakinya tiba di rumah.
Liana, yang mendengar suara motor uwanya, langsung berlari ke luar untuk menyambut. Ia meminta digendong, dipeluk, dan dicium di kedua pipinya. "Uwaaa!" teriaknya kegirangan.
Namun, kakak lelaki Maya tak bisa berlama-lama. Ia hanya mengantarkan makanan dan sejumlah uang yang cukup untuk keperluan makan Maya dan Liana selama di rumah, serta ongkos untuk kembali ke tempat KKN. Setelah memberikan semuanya, ia pun berpamitan untuk pulang.
Liana tampak sedih karena uwanya akan segera pergi. Kakak Maya mengusap rambut Liana dan berkata, "Besok Uwa ke sini lagi, ya. Sekarang Uwa harus pulang dulu, ditungguin sama Bunda," ujarnya, merayu agar Liana tidak terlalu sedih.