Siklusnya memang begitu.
Mengerti diri sendiri dahulu baru bisa mengerti orang lain.
Barga mendengkus jengkel saat menangkap Ranya lagi-lagi tertidur di dalam kelas. Dia lalu menoleh kepada Bayu, yang duduk di belakang tempat duduknya, kemudian bertanya sambil mengarahkan dagunya ke arah Ranya. “Dari tadi?”
Bayu mengangguk singkat, lalu kembali bermain game di ponselnya. “Tadi gue gangguin, malah dipukul pake penggaris besi.”
Helaan napas Barga langsung memberat. Kenapa sulit sekali membuat Ranya menjadi cewek normal yang lemah lembut dan mudah diatur? Setidaknya tak perlu tidur saat sedang berada di sekolah.
“Mau ngapain lo?” tanya Bayu saat melihat Barga mulai menggeser tubuhnya mendekati Ranya yang menelungkup di atas meja. “Dipukul baru tahu rasa lo.”
“Ini anak harus dibangunin biar nggak kebiasaan.”
“Biarin ajalah. Kelas kosong ini. Anak-anak yang lain juga pada ke kantin,” ujar Bayu. “Lagian kasihan dia. Kurang tidur katanya gara-gara nemenin Niko teleponan sampe jam 02.00.”
Mata Barga menyipit. “Ngapain mereka teleponan sampe jam 2.00 pagi?”
Bayu mengedikkan bahu. “Niko kan, lagi galau. Paling curhat ke Ranya.”
“Kayak nggak ada tempat curhat lain aja!” Barga menggerutu, lalu dengan sengaja menggeser tubuhnya ke kanan, membuat Ranya terjatuh.
Mata Ranya seketika terbuka lebar. Tidur nyenyaknya terempas begitu saja. Dan, matanya langsung membesar saat melihat siapa pelaku yang sudah mengacaukan kesenangannya.
“Barga! Sakit tauk! Sakit! Tahu sakit, nggak?!” Ranya mengomel sambil bangkit berdiri.
“Mampus lo, Bar,” bisik Bayu sambil terkekeh geli melihat kekesalan Ranya dengan muka bangun tidurnya.
Beberapa anak yang tidak meninggalkan kelas langsung menaruh perhatian kepada dua sahabat itu. Bagi mereka, adu mulut Barga dan Ranya adalah tontonan menarik yang sayang untuk dilewatkan.
Sedangkan, Barga hanya menatap Ranya datar. Tidak terpengaruh sama sekali dengan kekesalan Ranya. “Sekolah itu tempat belajar. Bukan buat tidur. Tahu, nggak?”
Dibalas seperti itu membuat Ranya makin meradang. Lalu, bergerak mendekati Barga dan menjambak rambut cowok itu dengan keras.
“Sakit, Ranya!” ucap Barga sambil berusaha melepaskan tangan Ranya dari rambutnya.
“Baru dijambak aja sakit! Apalagi gue yang dijatuhin ke lantai?!” balas Ranya sambil tetap menjambak Barga. “Sakit, kan?! Makanya jangan seenaknya dorong orang! Lo mau gue lempar ke kolam kodok?!” Akhirnya, Ranya melepas jambakannya, tapi masih menatap Barga kesal.
Bayu yang duduk di belakang keduanya tidak berusaha melerai. Sudah biasa. Paling sebentar lagi Ranya ngambek dan memilih duduk di sebelahnya.
“Makanya, jangan tidur melulu di kelas!” balas Barga tidak mau kalah.
“Kalo gue tidur emangnya lo rugi?!”
Barga menatap Ranya kesal. “Gue rugi, punya temen bego!” Ranya terdiam. Suasana kelas seketika hening. Hanya Ranya yang selalu bisa melawan hidup teratur yang Barga miliki. Tapi, kali ini pun, Ranya justru terdiam, walaupun matanya masih menyiratkan kekesalan.
“Terus kenapa kalo gue bego? Lo rugi?” tanya Ranya bersedekap.
“Coba lo pikir sendiri,” balas Barga singkat, lalu membuka buku pelajarannya. Dia tahu, Ranya tidak akan terpengaruh omongan seperti tadi.
Ranya mendengkus kesal. “Ya udah! Jangan temenan lagi sama gue! Kayak gue butuh lo aja!”
Barga langsung menoleh, menatap Ranya dengan tatapan mengejek. “Kalo lo nggak butuh gue, lo nggak bakal dateng malem-malem ke rumah gue cuma buat nyontek PR Kimia,” sindirnya.
Ranya ingin mencubit Barga saking kesalnya. “Bodo ya, Bar! Jangan ngomong sama gue sampe gue nikah! Kesel banget gue sama lo!” tandasnya sambil menarik tas punggungnya, kemudian duduk di kursi belakangnya.
Nah, kan! Bayu berdecak bangga karena tebakannya tepat. Sedangkan, anak-anak lain hanya terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kejadian seperti tadi sudah terlalu sering mereka lihat. Toh, tidak sampai berjam-jam, Ranya akan tiba-tiba mengajak Barga berbicara lebih dahulu. Dan, Barga juga pasti akan bertindak seakan-akan sebelumnya tidak terjadi adu mulut di antara mereka.
“Nya, ini tempat duduknya Niko, lho. Kalo lo di sini, dia duduk di mana?”
Bayu yang memang sengaja bertanya seperti itu, hanya menyeringai lebar saat Ranya menatapnya garang.
“Oke. Oke. Duduk di sebelah gue aja sampe lulus. Bosen juga gue duduk sama Niko terus,” tambah Bayu.
Ranya hanya berdecak. Matanya menatap nyalang punggung Barga yang duduk di depan Bayu.
“Lho, Nya. Lo ngapain duduk di tempat gue?” Niko yang baru masuk kelas menatap bingung Ranya yang sudah duduk di bangkunya.
“Biasalah. Urusan rumah tangga, Nik,” Bayu yang menjawab dengan nada menyebalkan. Membuat Ranya makin dongkol.
Niko terkekeh geli. Sudah paham maksud Bayu. “Oh, oke. Berarti hari ini gue duduk bareng Barga, Nya?”
Ranya mendelik. “Sampe lulus! Males banget gue duduk sama cowok sok pinter kayak dia,” sergahnya sambil mengedikkan dagu ke arah Barga, yang tetap duduk tenang, tidak terpengaruh sindiran Ranya sama sekali.
Bayu menahan senyum. Niko apalagi. Cibiran yang selalu diberikan Ranya kepada Barga itu seperti kelucuan tersendiri bagi mereka.
Sementara itu, Barga benar-benar hanya diam sambil mengerjakan soal-soal yang bahkan belum disuruh oleh guru mereka. Sama sekali tidak terpengaruh kejengkelan Ranya. Menurutnya, apa yang dilakukannya tadi sudah benar. Ranya tidak bisa dibiarkan selalu acuh tak acuh seperti sekarang. Barga memang akan selalu melakukan apa pun untuk Ranya, tapi bukan berarti akan mendukung cewek itu jika bersikap malas seperti hari ini. Niko yang baru duduk di sebelah Barga dan melihat yang dikerjakan cowok itu, sontak memutar kedua bola matanya. Kenapa hobinya harus belajar? tanyanya dalam hati.