Barga

Bentang Pustaka
Chapter #3

BAB 2

Seringnya, nyaman itu hadir karena terbiasa.

Terbiasa tertawa bersama. Terbiasa menangis bersama.

Sampai akhirnya, terbiasa menyayangi tanpa disadari.

Barga masih menunggu di depan kelas X IPA 1, sambil memegang ponselnya. Bibirnya berdecak kecil saat melihat chat-nya belum dibalas oleh Ranya. Sudah hampir satu jam menunggu, cewek itu belum juga muncul.

Selang satu menit kemudian, Ranya akhirnya membalas.

Bibir Barga langsung mengumpat jijik kepada sahabatnya yang sangat tak tahu malu ini.

Barga mengulum senyum. Bersama Ranya memang tidak pernah membosankan.

Hanya di-read. Barga yakin, saat ini Ranya pasti sedang memikirkan kata-kata yang pas untuk membalas chat-nya. Dua menit kemudian, balasan Ranya langsung membuatnya terpingkal.

Barga kembali terpingkal. Memang hanya dengan Ranya, dia bisa menjadi seabsurd ini.

Barga hanya bisa menggelengkan kepala. Kecepatan otak Ranya dalam menghina orang memang lebih cepat dari otaknya saat menerima pelajaran.

Baru saja Barga akan membalas chat Ranya, ponselnya sudah berdering dengan layar yang memunculkan nama “TheSweetRanya”. Menjijikkan, kan?

Pernah sekali Barga mencoba mengganti nama kontak Ranya di ponselnya. Tahu apa yang dilakukan Ranya? Cewek itu menggerutu panjang lebar, membuat Barga akhirnya menyerah. Memilih mengalah. Padahal, Barga tidak pernah memusingkan nama kontaknya di ponsel Ranya, yang bernama “SiJomloBarga”.

“Apaan?” ujar Barga ketus saat menjawab panggilan kedua dari Ranya.

“Gue masih ada meeting sama anak-anak. Kayaknya agak lama. Lo duluan aja nggak apa-apa deh, Bar. Nanti gue balik bareng Niko atau Cakra.”

Kening Barga mengerut. Sudah menunggu hampir satu jam, dan akhirnya justru diminta pulang duluan. Adakah yang lebih menyebalkan dari seorang Ranya Maheswari?

“Kenapa nggak bilang dari tadi?” kesal Barga. “Gue udah nunggu hampir satu jam, Ranya. Emang sinting lo, ya.”

Ranya hanya meringis, merasa tidak enak juga sekalipun dia memang sering seperti ini kepada Barga. “Dadakan, Bar. Soalnya butuh gitaris cepet. Kan, mau mulai cover-cover lagu lagi.”

Barga berdecak. Seingatnya, di antara tiga orang cowok yang sekarang sedang latihan band bersama Ranya itu, semuanya membawa motor. Dan, alam bawah sadar Barga selalu memusuhi kendaraan roda dua itu karena kejadian mengerikan bertahun-tahun lalu. “Gue tunggu aja. Kalo udah kelar, langsung ke sini. Gue di depan kelas X IPA 1.”

“Serius. Nggak usah, Bar. Takutnya gue masih lama,” tolak Ranya.

“Gue nunggu sambil main basket,” sahut Barga. “Udah, matiin. Meeting aja yang cepet. Biar langsung balik.”

“Ya udah. Makasih ya, Kakandaaa.” “Jijik, Nya!”

Barga masih bisa mendengar tawa renyah Ranya sebelum akhirnya panggilan ditutup oleh cewek itu. Berjalan ke arah lapangan basket yang berada di tengah gedung SMA Nusa Cendekia, Barga menghampiri beberapa adik kelas yang dikenalnya untuk ikut bermain.

Belum ada satu jam bermain, suara menggelegar milik Ranya sudah terdengar memanggilnya. Barga hanya bisa berdecak kecil saat melihat Ranya heboh melambaikan tangan ke arahnya, lalu duduk di kursi panjang yang tadi didudukinya.

Lihat selengkapnya