Rosalia tidak berkutik, dia tersungkur dari kursi roda dengan posisi tengkurap. Baron menaruh belanjaan ke sembarang tempat. Pria itu merengkuh adiknya cemas. Sesekali menepuk pipi tirusnya berharap dapat cepat sadar. "Apa yang terjadi? Rosalia, buka matamu!"
Wajah gadis itu pias dengan napas yang nyaris tak terdengar. Baron melingkarkan lengan kekarnya kemudian mengangkat Rosalia ke atas sofa. Dia memindai adiknya secara keseluruhan tetapi semuanya normal. Tidak ada sedikitpun goresan ataupun cedera.
Baron mengerang kesal berperang dengan asumsinya sendiri. Namun dia bersumpah siapapun manusia yang berani masuk tanpa izin dan menyakiti Rosalia, nyawa mereka adalah taruhannya.
***
Lambat laun gadis dengan iris biru layaknya kilauan batu safir tersebut terjaga. Dia mengerjapkan matanya pelan, lalu merintih kesakitan sebab pening kembali menyerang. Runtutan peristiwa tempo hari menyeruak ke dalam ingatan. Tatapan sinis, seringaian serta nada bicara sarkastis orang itu sangat membekas di otaknya.
"Dewi Lunathea ... apa yang harus aku lakukan?" gumam Rosalia lemah. Dia bangun dari posisinya, duduk bersandar ke tepi ranjang.
Rosalia seketika terperanjat kala suara bariton kakaknya menggema tembus sampai ke dalam dinding kamar. Nada suara pria berahang tegas itu kian meninggi.
"Norvin!"
Marquess Baron Gevariel mendengus kesal melihat sosok dengan kepala tertunduk di hadapannya. Earl Osmar Norvin, pelayan pribadi keluarga Baron sejak dulu. Pria itu berdiri gamang sambil mengatupkan mulut rapat. "Kemana saja kau kemarin?"
"M-maafkan saya, Tuan."
Baron mendekat ke arah Norvin lalu sedetik kemudian dia mengerutkan hidung mancungnya. Wangi manis parfum begitu menusuk indera penciuman. "Jadi kau bersenang-senang minum alkohol di bar dan tidur bersama wanita malam sementara adikku ditinggalkan tanpa pengawasan?"
Norvin lantas bersimpuh di atas lututnya dan memohon ampun. "Seseorang telah menjebak saya, Tuan Baron. Mohon dengarkan penjelasan dari saya terlebih dahulu."
Hening sejenak menyelimuti suasana yang tengah menegang. Baron duduk di atas sofa dengan kaki terbuka lebar. Sorot matanya lurus menatap tajam ke arah Norvin. Dia berdeham, "Kenapa masih diam saja? Cepat, bicaralah."
"Sesuai perintahmu aku telah mengantarkan uang ke beberapa panti sosial," Norvin membuka suara, "Namun saat perjalanan pulang tidak sengaja aku melihat wanita yang sedang digoda banyak pria."
"Lalu?"
"Saya menolongnya," Norvin mengangkat wajahnya tetapi tetap tidak berani bertemu pandang. "Ternyata dia anak pemilik bar terdekat dan sebagai rasa terimakasih mereka ingin memberiku minum dan makanan gratis."