Tahun 66, Era Fajar. Era ketika dunia kehilangan mentari, era ketika Sang Malam tertidur panjang di benteng tergelapnya, era ketika Obor-Obor Surya berdiri menerangi muka bumi fana. Kontak pertama antara Abdi Malam dan Panjarnala terjadi di Min Thalaq, tapi aku ingin memulai hikayat ini dari tempat lain. Tempat yang lebih terpelosok. Di sebuah arungan kecil di perbatasan Nar Arath dan Padang Sunyi. Di sana, bersarang sekelompok bandit yang dipimpin oleh seorang pak tua bermata juling.—Perang Empat Bajingan, oleh Safia al’Nukhar
BAATAR MATA JULING tiarap mengamati. Angin dingin berhembus keras, menerbangkan jubah si pria tua yang lebih mirip kain rombeng ketimbang pakaian. Tanah terasa kasap di bawah perut, kerikil terasa tajam di pipi. Pedang melengkung tergeletak di sampingnya, masih tersarung dan terikat pada sabuk. Gagangnya yang berlapis kulit tampak usang dan dekil, telalu sering digenggam dalam permainan berdarah.
Sudah lewat sehari sejak Baatar tergeletak di puncak bukit itu, mirip bangkai. Satu-satunya hal yang dia lakukan hanyalah berkedip; sekali-sekali menyalakan pipa rokok, tapi selalu padam gara-gara angin bangsat yang terus melolong tiada ampun. Seandainya ada orang iseng yang lewat ke sana, tak akan jadi perkara aneh kalau dia bakal menjerit histeris, salah kira Baatar sebagai jenazah.
Dari arah utara, jalanan meliuk-liuk menghindari perbukitan, lalu menyabet sungai Tirqik tepat di bawah bukit. Sungai kecil. Dangkal dan melebar sampai beberapa lemparan batu jauhnya. Arungan Ternak, begitu orang menamainya—walau akhir-akhir ini Baatar tak lagi lihat ternak lewat sini. Akhir-akhir ini, Baatar tak lagi lihat apa pun lewat sini.
Angin berhenti bertiup untuk sejenak. Mengambil kesempatan, segerombolan lalat bajingan muncul entah dari mana. Makhluk kecil keparat. Entah karena menyangka Baatar sebagai bangai atau cuma sudah sifatnya, mereka mengerubungi kepala pria tua itu hingga tak jelas bentuk rupanya. Beberapa hinggap di wajah, beberapa merayap ke mata, beberapa bertualang ke telinga, mulut, bahkan lubang hidung.
“Hus!” Seseorang menggebah lalat-lalat itu, dan penglihatan Baatar pun kembali. Tampak seorang pria membungkuk di sampingnya—dengan tubuh pendek dan kekar, kepala bebas bulu semulus telur, namun kumis dan jenggot jabrik tak keruan. Busur tak bersenar mengintip dari kantong kulit di pinggangnya, terbuat dari kayu dan tanduk yang direkatkan godokan otot hewan. “Masih belom ada yang nongol, ya?” Torjit menghela napas lelah. Lalat-lalat kembali, kini menggembrongi janggut orang itu. Mungkin hendak membalas dendam. “Udah berapa hari?”
“Sebelas,” timpal Baatar acuh tak acuh. Tampak giginya yang hitam lagi gingsul, dua butir bagian depannya hilang sama sekali. “Yang kedua belas baru dateng, tuh.” Si pria tua menunjuk ke ufuk utara, ke separuh bulan yang baru terbit. Di era ketika mentari lenyap dari langit, manusia hanya bisa menghitung hari lewat siklus bulan.
“Duh! Padahal ini arungan biasanya ramai juga!” Torjit melambai ke utara. “Nar Arath,” ujarnya, lalu menoleh ke selatan, “Padang Sunyi. Ini tempat mestinya jadi jalan utama gembala buat jual kulit sama ternak mereka! Terus, kenapa?”
“Bukannya barusan ada orang lewat? Aku liat, kok. Datang dari utara.”
“Cuma satu,” Torjit mengerang. “Jalan kaki, pula! Aku sendiri yang uber dia. Timpuk kepala dia pake batu. Sekali serang, langsung tepar. Buang-buang waktu, sih, aslinya. Itu anak manusia cuma bawa pisau karatan, sendal sebelah, sama pakean yang dipake—dia macam lagi ... kabur dari sesuatu.”
“Sesuatu?” Bukan seseorang?
“Tau apaan, sih, pastinya. Setan aja kalo aku peduli. Yang jelas, buruan yang payah banget. Gak guna. Kaasar pengen panggang dia buat dimakan, tapi mustahil berhubung ‘tu orang kurus keterlaluan.”
“Seenggaknya masih ada otaknya.”