Para pelaut Panjarnala datang dari utara, menyerbu layaknya tsunami, menelan Abdi Malam dan Saudara Sesabda tanpa pandang bulu. Satu orang lepas dari gelombang yang meluluhlantakkan Min Thalaq. Satu orang Abdi. Satu orang bajingan berbahaya. Mereka yang takut padanya memanggilnya Lidah Laknat, mereka yang benci padanya memanggilnya si Bugil. Di perbatasan, dia lebih dikenal dengan sebutan Tupai Hitam.—Perang Empat Bajingan, oleh Safia al'Nukhar
BAHAYA. Sumpah. Asli bahaya.
Kahaq Tupai Hitam tertegun dan menelan ludah. Di depannya, berdiri Qrak—kota-benteng milik para kafir Saudara Sesabda. Jika dihitung dari peta, jaraknya tak lebih dari sehastawara perjalanan dari pusat Kerajaan Nar Arath. Cuma butuh berjalan delapan hari, dan sampailah. Jarak yang bisa dibilang berbahaya, terutama untuk Kahaq, berhubung dia adalah seorang Abdi Malam. Abdi Malam yang paling dibenci, ditakuti, dan diburu di negeri yang satu ini.
Tak ada pilihan lain. Kahaq menoleh ke belakang, ke arah Min Thalaq. Sempat dia tergoda untuk kembali, tapi akal sehat mencegahnya melakukan kegilaan macam itu. Min Thalaq sudah runtuh. Diserang oleh pelaut-pelaut asing yang entah datang dari negeri antahberantah. Sekarang, mau ke mana pun dia pergi, hanya ada kematian yang menunggunya. Lebih baik aku cari yang enak-enak dulu sebelum ditendang ke Kerajaan Abadi.
Sambil memacu kudanya pelan-pelan menyusuri jalan berbatu, Kahaq menatap kota benteng yang luar biasa itu. Di bangun di antara dua tebing terjal, dengan tembok pertahanan setinggi sepuluh meter dan parit kering berdasar pasak, membentang di antara tebing. Gerbang bajanya kokoh dan berlapis dua, dijaga oleh selusin prajurit berzirah dengan senjata berupa tombak serta tameng—pedang lengkung tersarung di pinggang. Toko dan tenda pedagang berjejer tak rapi di jalan masuk. Panji-panji berkibar di puncak menara kubu gerbang, bersulam tujuh pipit dalam latar hijau hutan.
Kahaq memeriksa penampilannya degan risih: tunik cokelat yang basah oleh keringat, jubah abu yang penuh debu, dua belati di pinggang, serban colongan membelit leher, serta sepatu kulit dengan sol setipis kertas. Tak lupa, dia mengikat telapak tangannya dengan kain, layaknya yang Saudara Sesabda biasa lakukan. Kahaq mengangguk. Tak ada hal dari penampilannya yang menunjukkan kalau dia adalah seorang Abdi Malam.
Keramaian memenuhi gerbang masuk. Tak ada pemeriksaan. Para penjaga hanya berteriak-teriak, memaksa agar orang-orang bergerak dengan tertib. Usaha yang percuma, sebenarnya. Ketika para pelaut asing itu mulai mengarungi Sungai Sala Balah, maka tempat ini akan dijejal lagi oleh para pengungsi. Kahaq tak bisa membayangkan kesemrawutannya.
Sebenarnya para penjaga pun tak perlulah untuk takut. Kahaq datang kemari bukan untuk berbuat jahat. Lagi pula, hal apa yang bisa dia lakukan? Dia ini seorang Abdi; seorang! Dia sendirian! Dia satu hastawara perjalanan berkuda dari perbatasan Malam Panjang, dan seluruh rekannya di Min Thalaq sudah habis dibantai. Dia tak bakal datang ke sini kalau tak terjadi masalah di benteng itu.
Dengan penuh kehati-hatian, pria itu mengusap wajah kotornya dan bergabung bersama kerumunan yang cemas. Teriakan para pedagang menggelegar di sana-sini, dikalahkan oleh suara-suara penggosip yang lebih dekat. Banyak orang yang membicarakan soal perang. Tentang Abdi Malam yang menjarah desa-desa perbatasan, tentang para bandit yang berkumpul di Arungan Ternak, dan tentang harga barang yang makin mahal.
Kahaq meraih kantong kecil di pinggangnya: tipis dan ringan. Tak heran. Isinya cuma tiga belas keping perunggu, sisa dari sedikit uang yang secara pelit diberikan Sögül—sang jenderal Min Thalaq. Sejak kabur dari pengejaran para pelaut asing itu, Kahaq hanya mampu makan katak dan ulat dan kadal; terkadang burung, kalau sedang beruntung.
Kahaq berhasil melewati gerbang. Keringat dingin membulir di pelipis si pria. Selamat, selamat. Malam teduhkan aku. Buru-buru dia bergerak, memacu kudanya sejauh mungkin dari gerbang. Jauh di ujung kota, sebentuk menara kurus menyembul, lebih tinggi dari tembok pertahanan, lebih tinggi dari tebing, lebih tinggi dari puncak-puncak gunung. Pilar Langit. Kahaq mendongak dan menyipit, coba menatap Obor Surya yang bergelora di puncaknya, menyala terang dan menerangi seluruh kota dari kegelapan dunia tanpa mentari.
Al’Shada—benteng tempat syah kota tinggal—berdiri di ujung utara, tempat dua tebing menyatu. Kubah-kubah mengintip dari balik tembok pertahanan; usang, kotor, namun agung. Gerbangnya dibuka lebar-lebar, dan pintu jungkit diturunkan, melintasi parit kering yang pastinya juga penuh dengan pasak-pasak berujung tajam.
Mesti buru-buru. Kahaq mengingatkan diri. Buru-buru dia membelokkan kudanya ke jalanan yang lebih kecil, lalu celingak-celinguk tak tentu arah. Perangai bajingan macam ini tentu mudah diketahui. Dalam sesaat saja, beberapa gadis muncul dari jendela dan pintu bangunan, melambai.
"Haqa! Cuma satu perak, dan aku bakal hangatkan dirimu sampai meleleh!" jerit seorang wanita di umur pertengahan dua puluh. Bertubuh semampai, berwajah cerah, rambut hitam kelam. Sayang kelewat mahal.
"Enam belas perunggu, kalau kau memang seblangsak itu! Aku punya anak gadis baru di sini!" seru ibu-ibu induk semang berpenampilan menor. Lagi-lagi, terlalu mahal.
Beberapa orang kembali meneriakkan perak, sebagian bahkan emas. Kahaq tak menolehkan kepalanya dan terus melaju. Makin ke timur makin kumuh. Seorang gadis kurus berdiri di ambang pintu rumah yang bobrok. Rambutnya kusut dan wajahnya penuh dengan bintik. Dia tersenyum waktu Kahaq lewat, dan ketika ditanya "berapa", gadis itu bilang lima belas. Kahaq mencoba menawar, tapi yang dia terima malah bentakan pintu yang ditutup.
Rupanya, barang-barang memang sedang mahal.
Ada rumah bordil berlantai dua di ujung jalan. Setelah mengikatkan kudanya pada galah besi di pinggir bangunan, Kahaq berjalan memasuki bangunan, agak ragu dan waspada. Induk semang adalah wanita tua kurus yang mata sinisnya menatap Kahaq dengan galak. Sambil mengedik, dia langsung tanya, “Punya berapa?”
"Tiga belas."
Si wanita tua meludah, hampir mengenai kaki Kahaq kalau dia tak buru-buru melompat. “Sinting? Tambah satu keping lagi, dan kau boleh melakukannya sama ayamku. Harga lagi naik gila-gilaan karena perang keparat, Bung. Tahi saja buat Abdi Malam.”
Kahaq hampir berbalik ketika induk semang kembali nyerocos. "Bagaimana dengan kudamu? Aku lihat kau bawa kuda. Tua sama jelek, memang, tapi cukuplah buat meniduri gadis punyaku. Kualitas bawah, tentu saja. Bagaimana? Atau kau lebih doyan melakukannya sama pantat kudamu?"
Kahaq adalah pejalan yang cepat dan kuat. Dengan penawaran yang adil, dia mau saja menukarkan tunggangannya dengan jenis tunggangan yang lebih nikmat. Tapi tidak. Dia tak bisa. Kudanya bukanlah kuda biasa. Sama sepertinya, makhluk itu adalah Abdi Malam—berdarah hitam dan mampu melihat dengan cahaya bulan. Di kelahiran sebelumnya, dia adalah manusia yang bisa dibilang ... kurang berguna sehingga Sang Malam terpaksa mereinkarnasinya jadi binatang.
"Tidak. Makasih." Kahaq menggeleng.