Kakak tiriku, Yahir as'Shakhar, lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Haram. Ibuku membencinya. Amat membencinya. Sering kali wanita itu mencoba membunuh Haqa Yahir dengan memberinya berbagai misi berbahaya yang nyaris mustahil diselesaikan. Sayang buatnya, Haqa Yahir adalah bajingan, dan bajingan tak pernah gampang untuk mati.—Perang Empat Bajingan, oleh Safia al'Nukhar
UNTUK KALI TERAKHIR, Yahir menatap telapak tangannya. Tampak garis-garis rumit yang konon menyimbolkan Nama Abadi-nya, ditulis dengan Aksara Asali. Aksara Tuhan. Entah bagaimana cara mengeja huruf-huruf itu. Yahir tak tahu. Lagi pula, memang tak boleh ada yang tahu. Nama Abadi adalah identitas asli Yahir di Kerajaan Abadi. Bukan nama dari raga fananya yang akan mati suatu hari, melainkan nama dari rohnya yang akan terus ada, berputar dan berputar dalam Sungai Penitisan.
Layaknya Saudara Sesabda yang beriman, pemuda itu membungkus telapak tangannya dengan kain, lalu mengikatnya erat-erat. Dengan sigap, dia menunggangi Ruhya—kuda perang berwarna hitam—dan memacunya ke tengah-tengah pasukan yang sedang bersiap.
"Eratkan pembalut tangan kalian," Yahir memerintah. "Sebentar lagi kita masuk perbatasan. Jangan sampai Sang Malam membaca Nama Abadi-mu."
Serempak, orang-orang bergerak untuk mematuhinya. Anak selir atau bukan, tak sulit untuk merendahkan diri di hadapan Yahir. Pria itu menjulang tinggi di atas pria lain, bertubuh keras dan berpostur tegas. Wajahnya menua bukan pada waktunya. Kendati baru berusia delapan belas, rupanya sudah usang oleh pengalaman. Dengan mata cekung, hidung bengkok, dan bekas luka menghiasi kulit.
Yahir mengenakan pakaian, sepatu, dan serban yang sehitam malam, membuatnya jadi sesosok bayangan hidup. Dia hampir tak bisa dibedakan dengan Abdi Malam, kecuali jubahnya yang sewarna darah, gagak mematuk mata tersulam di punggung. Di balik itu, dia dibalut oleh zirah rantai yang dilapisi plat dada. Tak terlalu berat sampai menghambat pergerakan Ruhya.
Seribu prajurit berkumpul di Hutan Dahaq. Mereka rakyat Su Aqthi—rakyat perbatasan—dengan pakaian ala kadarnya, namun pengalaman luar biasa. Tangga-tangga lipat dikumpulkan, tambang-tambang berujung kait digulung. Berbagai alat perang ditampilkan: lembing, pedang, busur, tameng, dan bahkan beberapa zirah. Panji gagak mematuk mata terikat di puncak tombak, berkibar tertiup angin. Pilar Langit tertinggal jauh di belakang, dan kini dunia kian redup seiring bertambahnya jarak.
Seluruh orang menunduk ketika Yahir lewat. Si tua Hamir berkuda di sampingnya, memegang panji utama yang berkelebat bak ekor ular. Di depannya ada si bocah Tar'iq, membuka jalan dari kerumunan. Ketika Yahir tiba di sebuah puncak bukit kecil, semua orang diam dan menoleh.
Wanita keparat itu benar-benar bakal membunuhku sekarang. Untuk sesaat, Yahir melirik ke tas pelananya. Ada sebuah surat mandat di sana, dicap oleh sang raja sendiri, tapi ditulis oleh Permaisuri Hawla—semoga cahaya kutuk dia. Entah berapa kali wanita itu coba membuat Yahir mati.
Yahir memandang pasukannya, dan dia kembali memasang tampang wibawanya. Tak ada pilihan lain. Jika dia harus melakukan ini, maka dia akan melakukannya dengan benar.
Yahir mulai berseru, suaranya menggelegar bagai guntur. Dengarkanlah suara gagah ini, wahai saudara-saudaraku. "Sudah lewat seribu tahun semenjak al'Zulkar jatuh ke bumi Delapan Mata Angin. Banyak yang pedang itu lalui. Dari satu avatar nabi, ke avatar nabi yang lain. Mulai dari Sha'adin sang Pembebas, sampai al'Nukhar sang Pemberontak."
Semilir angin bertiup. Di langit, bulan mulai condong ke arah selatan buat terbenam. Yahir berputar, menatap mata-mata yang bisa dia temukan dengan pandangan memaku.
"Al'Zulkar bukanlah cuma pedang. Bukan cuma sekadar besi yang dipanaskan dan ditajamkan. Dengan pedang itulah Sha'adin melukai Penguasa Malam untuk pertama kalinya. Dengan pedang itu pula al'Nukhar membebaskan manusia dari Malam Panjang untuk yang terakhir kalinya. Pedang itu adalah pertanda penitisan sang nabi, dari avatarnya yang lahir kembali."
Yahir diam sejenak. "Aku tahu di antara kalian ada yang membuka mulut. Berkata sumbang. Ini misi bunuh diri. Mustahil. Serang Min Thalaq dengan seribu orang? Tai saja. Jawabku: ya. Ini misi bunuh diri. Ya. Tai saja. Maaf bila kalian ikut terciprat masalah keluargaku. Karena suatu alasan, ibu tiriku ketagihan buat coba membunuhku."
Sejumlah orang terkekeh; Yahir membiarkannya sampai kembali sunyi. "Tapi biar kukatakan satu hal: ibu tiriku benar. Mungkin niatnya memang tai, tapi titahnya tak salah sama sekali. Selama pedang itu ada di tangan musuh, sang nabi tak akan menitis. Selama pedang itu tersembunyi di kegelapan, manusia tak akan lagi bersatu di bawah satu panji."
Yahir menghunus pedangnya, Nanah, berbilah lurus dan berwarna seputih tulang. Dia meludah. "Orang-orang beriman tak akan selamanya aman sebelum seluruh bayangan ditumpas. Mungkin sekarang kalian bisa hidup nyaman sebab perjuangan al'Nukhar dan para Sahabat, tapi bagaimana dengan anak kalian? Cucu kalian? Cicit kalian?
"Tentu. Musuh berada di wilayah mereka, terlindung dengan rapi di balik tembok-tembok batu Min Thalaq. Tentu. Kita cuma ada seribu orang. Tentu. Kita dijamin mati kalau berani-berani menantangnya. Berita buruknya, walau pun kita bersembunyi di ujung dunia, manusia tetap mati. Jadi, cuma ada dua pilihan. Mati konyol dan ditendang ke neraka? Atau mati terhormat dan ditinggikan di surga?"
"Ini jawabanku!" Hamir mengacungkan pedangnya.
"Ini jawabanku!" Tar'iq menimpal, ikut menarik senjata.
Tak lama kemudian, udara bergetar oleh dencing baja. Bilah-bilah tajam teracung ke udara, penuh semangat dan emosi. Sejumlah orang menjerit, menyerukan nama Sang Pencerah, nama raja, atau bahkan nama Yahir. Si pemuda sendiri coba untuk mempertahankan wajahnya agar tetap berwibawa.
Kalian bakal mati, pikir Yahir. Serang Min Thalaq dengan seribu pasukan? Tak masuk akal. Tapi tugas Yahir bukanlah untuk menyelamatkan nyawa orang. Dia ada untuk merebut pedang al'Zulkar. Permaisuri Hawla memberinya perintah ini untuk membunuhnya, tapi Yahir akan memanfaatkannya buat keuntungannya sendiri. Sebentuk rencana mulai tersusun di kepalanya. Simpel dan sederhana. Biarkan orang lain bertempur, biarkan mereka mati. Sementara itu, Yahir akan menyelinap masuk ke dalam Min Thalaq dan mencuri al'Zulkar. Persetan kalau semisal dia mesti pulang sendirian.
BARISAN BERGERAK dengan cepat, di pimpin oleh Yahir sendiri. Bukit demi bukit, sungai demi sungai, cerang demi cerang. Kian jauh mereka pergi, kian gelap pula dunia jadinya. Langit membengkak merah, udara menusuk dingin, tetumbuhan dan hewan hilang. Mereka mulai memasuki Perbatasan Senja, kawasan terbengkalai yang tak terjangkau penuh cahaya Obor Surya atau pun kegelapan Malam Panjang.
Sebuah menara kayu di bangun di tepi jalan. Prajurit yang menjaganya segera turun ketika melihat pasukan Yahir, mulut berbau arak dan mata merah berair. Jelas-jelas sedang mabuk, para pecundang ini. Tak heran kalau mereka cuma bisa jadi manusia dekil rendahan.