Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #4

Mata Juling


Al'Zulkar penuh dengan legenda dan sejarah. Semua pria memperebutkan pedang tua itu. Tak heran. Kitab Seribu Satu Sabda berkata bahwa al'Zulkar akan selalu jatuh pada titisan-titisan Sha'adin—sang nabi. Siapa pun yang memegangnya akan mendapat dukungan dari seluruh umat. Dari seluruh dunia.—Perang Empat Bajingan, oleh Safia al'Nukhar

  

BAATAR MENENDANG salah satu mayat, membuatnya terbalik. Hampir seluruh badan pria itu tenggelam di air, kecuali ujung hidungnya yang muncul bak puncak gunung laut. Wajahnya rusak parah. Ada retakan di kening, menganga sampai alis kanan. Sebelah bola matanya menonjol, satu lagi malah copot entah ke mana. Daging dan kulit robek, mengeluarkan darah hitam yang tersapu arus, asam dan kental.

Meski begitu, Baatar tahu: tak ada yang membunuh pria ini!

Saat tahu ada sepasukan Abdi Malam yang hendak datang, kawanan Muhtaqdai segera bersembunyi di tebing-tebing, ceruk, dan tonjolan batu terdekat. Busur-busur dipasangi tali, anak panah dihela, sementara parang dan pedang dilonggarkan dari sarung. Baatar dan Torjit merayap dari persembunyian mereka, mencari posisi di ujung tebing yang menghadap ke arungan.

“Gak. Gak, gak, gak. Jangan jadi manusia ampas, Baatar. Biarin mereka lewat. Mustahil kita menang.” Orang botak itu nyerocos, terus dan tak berhenti, sampai busa keluar dari sudut bibirnya. Meski begitu, dia tetap memasangkan anak panahnya pada busur.

"Kita liat aja dulu, Torjit." Busur yang sudah dipasangi tali tergeletak di samping Baatar, siap dipakai bersama beberapa batang anak panah. Sementara itu, si pria tua masih menempelkan wajah di tanah. “Aneh, nih. Mereka kayak rusuh gitu. Macem dikejar sesuatu.”

"Mereka ngejar sesuatu," Torjit meralat. "Tuh, tuh. Laki ceking yang tadi aku ringkus. Pasti mereka lagi uber dia."

"Buat apaan makhluk tulang 'cem gitu? Dimakan gak bisa." Baatar menggeleng. "Ini Abdi-Abdi cuma kebetulan lewat ke desa itu orang ceking. Aku ngiranya mereka ngejarah ke sana, makanya dia kabur, terus sampe ke sini."

Torjit berkerung tak suka, tapi tak membantah. Sesaat kemudian, matanya melebar. "Eh, pernah denger soal Pangeran Haram?"

"Anak jadah Raja Zahir yang tampangnya cakep gak ketulungan?" Baatar mengunyah lidah. "Situ denger soal dia dari sini, Torjit."

Torjit mengabaikan celaan itu dan melanjutkan, "Mungkin gak kalo dia taklukin Min Thalaq?"

"Kenapa jadi ke sana, Torjit?"

"Kalo Min Thalaq jatuh ke itu orang cakep, pasti Abdi Malam pada kabur dari sana, dong?"

"Kenapa kayak yang seneng gitu, Torjit?"

"Kalo Obor Surya nyala lagi di Min Thalaq, orang-orang bakal kumpul lagi. Industri bandit gak jadi mati!"

"Aku ogah abisin sisa idup buat jadi bandit, Torjit. Ibu aku bisa mewek abis-abisan."

"Cuih. Emang ibu situ pengen situ jadi apaan juga?"

"Jadi baatar—pahlawan."

"Cuih. Cuih. Ngimpi, anjing!"

"Hidup berawal dari mimpi, Torjit." Baatar menarik wajah dari tanah dan memutar kepalanya, menatap ke depan. Tangannya menyambar busur dan anak panah. "Mereka dateng."

Mendadak, segalanya menjadi hening. Segerombolan burung terbang jauh di atas langit yang kelabu, menjerit-jerit tak jelas. Lalat-lalat datang kembali, bergulung mengerumuni janggut Torjit dan rambut Baatar—keduanya diam mengabaikan. Tanah mulai gemetar ketika kedatangan pasukan berkuda itu semakin dekat.

Jauh di seberang arungan, penunggang pertama muncul dari balik belokan jalan yang terhalang batu besar. Tak lama kemudian, kawan-kawannya menyusul, berkuda dengan amburadul, tak jelas formasinya. Satu hal yang pasti: mereka sangat terburu-buru. Kuda mereka dipacu sekuat tenaga, dicongklang dan dipecut. Tak heran kalau makhluk-makhluk malang itu mengeluarkan busa darah dari moncong mereka—darah hitam, sama seperti darah penunggangnya.

Bagian tengah rombongan lebih rapat dan ramai. Seorang Abdi berkuda dengan dikerumuni oleh rekan-rekannya, seolah sedang melindungi. Dia punya gaya ala gembala, dengan rambut yang dikepang dan topi kulit bulu di kepala. Sebuah peti kayu panjang tersampir di bahunya, isi tak dapat ditebak. Baatar penasaran dengan benda itu, tapi setelah melihat jumlah lawan, dia pun memutuskan untuk membiarkan mereka lewat.

Atau ... seharusnya begitu, sampai akhirnya itu terjadi.

Penunggang paling depan masuk ke arungan tanpa memperlambat kudanya. Air terciprat ke mana-mana, menghambur bak ombak menerjang karang. Mendadak, tunggangan si Abdi oleng, mungkin terpeleset kerikil. Hewan itu meringkik dan jatuh, sementara si pengendaranya terbanting. Wajahnya menghantam batu, dan jadilah! Di belakangnya, para penunggang lain ikut terjatuh gara-gara tersandung tubuh si Abdi goblok dan kudanya.

Lihat selengkapnya