Pasca Pemberontakan Selir Fatia—ibu tiriku—Haqa Yahir diasingkan dari Ambar Thal. Ibuku memaksanya pergi untuk mengamankan perbatasan yang kacau balau akibat jatuhnya Min Thalaq ke tangan Sogül suku Cirkig. Saat itu dia hanya punya pakaian rombeng, sebongkah roti basi, dan kuda penyakitan.
Haqa Yahir tak keberatan dan cuma mengajukan satu permintaan: dia ingin sebuah panji. Merah, dengan simbol gagak mematuk mata.
Ibuku mengira dirinya akan tewas dalam perang. Aku mengira dirinya akan tewas dalam perang. Semua orang mengira dirinya akan tewas dalam perang. Terbukti, ibuku, aku, dan semua orang sudah salah besar.—Perang Empat Bajingan, oleh Safia al'Nukhar
DI TENGAH KEGELAPAN, di dalam hutan, di bawah naungan malam, Yahir as’Shakhar menyusun kayu api unggun sambil duduk sila di tanah. Kulit kayu lebih dulu, lalu ranting-ranting kering, diakhiri dengan dahan-dahan yang lebih keras. Api dinyalakan dengan obor yang sudah hampir mati, dan bunga-bunga panas mulai bergelegak, menerangi empat wajah yang mengelilingi.
Muhtaq tak kelihatan menyukai ide ini. Tampak dari matanya yang terus bergulir, menatap sudut-sudut tergelap hutan. Dia tak salah. Mereka berada di tengah-tengah wilayah musuh, jauh dari perbatasan, di bagian dunia yang senantiasa gelap gulita: Malam Panjang.
“Ini bukan tindakan bijak, ya Syaidina,” dia berujar, mengusap mulutnya yang dipenuhi pangkal janggut dan kumis. “Mereka akan melihat kita.”
“Siapa?” tanya Yahir.
“Abdi Malam. Pelaut asing. Tak ada bedanya.”
Yahir menggeleng, lalu menepuk pundak sang prajurit. Dia adalah satu orang yang Yahir tak pulangkan ke Su Aqthi. “Jangan samakan mereka, Muhtaq. Para pelaut itu membantai para Abdi, sama seperti kita. Mereka menyalakan obor di kegelapan malam berbulan, sama seperti kita. Mereka menumpahkan darah berwarna merah, sama seperti kita.”
“Tapi ... kita bahkan tak tahu dari mana mereka berasal.” Muhtaq melambai ke arah utara. “Tak ada apa pun di utara kecuali Anatonia—Negeri Hantu. Dan apa pun yang datang dari sana, jelas lebih buruk dari Abdi Malam.”
“Bukan Anatonia, aku rasa.” Yahir mengangkat bahunya. “Mungkin lebih ke utara lagi.”
Muhtaq menyipitkan mata, sangsi. “Poros Dunia?”
“Lebih utara lagi.”
“Sisi Kanan Dunia.” Hamir menimpali sambil membuka sepatu, menghangatkan kakinya ke api. Wajahnya yang tua tersinari, tampak penuh kerut dan kotor oleh tanah. “Negeri-Negeri Seberang yang terpisah oleh musim dingin ganas di Poros Dunia; semesta lain dengan mentari yang berbeda, manusia yang berbeda, serta Tuhan yang berbeda pula.”
“Dunia Omong Kosong, eh?” ledek Muhtaq.
Yahir terkekeh. Kitab Seribu Satu Sabda menyiratkan tentang sejumlah benua lain selain Delapan Mata Angin—tapi tak pernah sedetail itu. “Dari mana kau dengar dongeng macam itu, Pak Tua?”
“Seorang Abdi Malam, ya Syaidina.” Hamir mengerutkan kening, mengingat-ngingat. “Enam tahu yang lalu. Min Thalaq baru saja jatuh, ketika itu. Abdi Malam menusukkan patok perbatasannya makin dekat ke jantung negeri. Penjarahan melanda ke desa-desa lembah Sala Balah.
“Ketika itu, Syaidina masih belum datang dan mendirikan Su Aqthi. Aku sendiri yang mengumpulkan para penduduk desa untuk membentuk kekuatan. Banyak dari kami yang gugur, tapi setidaknya, tidak sebelum membacok salah seorang kaum kafir keparat itu.
“Suatu malam, kami berhasil menangkap salah seorang mata-mata musuh. Dia kepergok ketika sedang buang air di pinggir sungai dan kena gigit ular.” Hamir mendengus, teramat geli. “Kami menggantungnya terbalik dekat api. Dia menjerit-jerit dan minta pengampunan. Dia bujuk kami dengan berbagai informasi; salah satunya ya dongeng tadi.”
Muhtaq menaikkan kedua alisnya, tampak seolah baru saja memahami sesuatu. “Oh, memang Dunia Omong Kosong kalau begitu.”
Yahir menyipit. Ketika dia datang ke lembah Sungai Sala Balah enam tahun lalu, Hamir-lah yang memimpin penduduk untuk melawan penjarahan, menggantikan para bangsawan dan Putra Fajar yang gugur duluan dalam Pemberontakan Selir Fatia. Sebagai rasa hormat, Yahir mengangkat pria tua itu sebagai kapten garnisun miliknya. Dia pejuang yang andal, tapi itu tak menghapus fakta kalau dia masih rakyat jelata.
Dan seperti rakyat jelata pada umumnya, dia menggilai mitos serta dongeng yang tak masuk di akal.
“Ke mana perginya Abdi itu,” tanya Yahir. “Mati?”
“Tidak, Syaidina. Dia menggigit lidah dan meludahkan darah terkutuknya ke kayu bakar. Api naik dan membesar, membakar tali yang gantung kakinya. Dia berhasil lolos.”
"Cerdas," sahut Muhtaq.
"Aku menyesal tak bacok dia lebih awal. Nyaris semua orangku ketakutan setengah mati pada si bangsat." Hamir menunjuk lehernya. "Dia punya bekas luka di sini."
Sejenak, Muhtaq terdiam, mata melirik sekitar dengan risih. "Kau ... kau jangan bercanda, Pak Tua!"
"Hah! Kau juga kira dia Lidah Laknat, Muhtaq?" Hamir menunjuk menuduh. "Tak mungkin. Itu bangsat penampilannya menyedihkan betul. Pakaian rombeng, wajah dekil, badan bau. Manalah ada dia Lidah Laknat. Itu orang kafir pastinya udah mati lama."