Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #6

Tupai Hitam


Kendati tak lagi berkuasa sebagai Jenderal Tinggi Nar Arath, nama asli Lidah Laknat tetap tabu disebut di komunitas Ruhian. Ini merupakan bukti dari kedalaman trauma yang pria itu torehkan di kerajaan ini. Dialah orang yang memecah belah pasukan al'Nukhar, membunuh Khadiba Putri Mentari, serta melukai ayahku.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

  

“ANJING!” Kahaq mengumpat, lalu menghela napas. Dia berdiri di punggung gundul sebuah bukit, kotor dan kelaparan. Jauh di depannya, membentang barisan bukit lain, membentuk lembah-lembah yang mengular ke utara, merapat, lalu menyatu dengan Pegunungan Kelopak Bawah.

Sekali lagi, Kahaq menghela napas.

Semenjak turun pangkat dari jenderal tinggi menjadi mayor detasemen pengintai, kebanyakan hari-hari dia habiskan buat bolak-balik dari Min Thalaq ke Su Aqthi. Jarak satu hastawara itu dia tempuh dengan berkuda, berlari, berjalan, naik perahu, dan kadang berenang pula kalau—sialnya—ada pengawas perbatasan yang pergok dia.

Kahaq mulai terbiasa. Stamina dan fisiknya beradaptasi. Sekarang, dia dapat berkuda secepat gembala Padang Sunyi, berjalan setangguh keledai, serta berenang layaknya katak. Meski begitu, kondisinya kali ini lain lagi ceritanya.

Di tiap misi, dia selalu dapat perbekalan: daging asap buat isi perut, pakaian tebal buat lindungi tubuh, sepatu buat alas kaki, busur buat berburu, serta pedang untuk bertempur. Sementara sekarang? Kahaq menunduk, memandang dirinya sendiri.

Tak ada perbekalan. Satu-satunya hal yang dia makan semenjak kabur dari Qrak adalah kadal, rumput, kadang ubi liar, atau burung pipit nyasar—kalau beruntung. Pakaian yang dia kenakan cuma tunik jelek selutut yang dia curi dari sebuah rumah terpencil di pinggiran Qrak, tanpa celana, tanpa dalaman, dan tanpa sepatu. Burungnya menggantung tak nyaman di antara selangkangan; sama menyiksa dengan telapak kakinya yang lecet parah, beradu dengan tanah dan batu.

Kahaq menoleh ke belakang. Tampak puncak-puncak perbukitan yang tiga hari lalu dia lewati—tanpa jalan, petunjuk arah, apalagi peta. Satu-satunya hal yang bisa dia andalkan adalah ingatan berpuluh-puluh tahun silam, ketika dia masih menjadi Jenderal Tinggi dan berperang melawan Tu Adal. Jadi, dia tahu. Setidaknya, butuh empat hari untuk melewati perbukitan ini; enam hari ... jika kau dapat seorang anak yang perlu di asuh.

Agak jauh di belakang, Hanan berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Kahaq berdiri. Kahaq tak tahu nama aslinya, dan memang tak ingin tahu, jadi dia memutuskan untuk memanggilnya “Hanan” saja. Sapaan akrab yang dipakai untuk wanita muda—biasanya yang bertampang manis. Tak heran kalau gadis itu tersipu sewaktu Kahaq memanggilnya begitu.

Hanan menuruni lereng bukit dengan ringkih. Kakinya gemetar, hampir roboh sewaktu tak sengaja menginjak batu kerikil, lalu kembali bergerak pelan-pelan. Makhluk inilah yang buat Kahaq terlambat dua hari dalam perjalanannya. Lelet sewaktu bergerak, susah bangun sewaktu tidur, lemah sewaktu mendaki, dan parahnya ... perlu diasuh dan diberi makan.

Kahaq heran sendiri, kenapa pula dia bawa anak itu?

Di Qrak, bersama-sama mereka kabur dari para Putra Fajar—bugil total kecuali serban di leher. Kahaq berniat untuk menerobos gerbang, tak peduli berapa jumlah penjaga yang bakal menghadangnya. Toh, lagi pula, dia sudah tak bisa hidup lama lagi. Era kejayaan Malam sudah berakhir.

Dan terpujilah sang Penguasa Kegelapan!

Kuda Kahaq rupanya lepas dari tambatan, mengamuk di depan gerbang, coba untuk menerobos. Tampaknya dia tahu kalau keberadaan Kahaq sudah kepergok. Kuda yang pintar. Dia meringkik, mendompak, berputar-putar tak tentu arah. Para penjaga coba tenangkan dia, sibuk dan penuh celah.

Saat itulah Kahaq masuk, mengangkat pedang yang dia curi dari Putra Shahir. Ketika dia berhasil menebas putus kepala seorang penjaga, kerumunan gerbang segera menjerit dan menjauh, menciptakan ingar-bingar yang lebih parah. Kahaq berlari, secepat yang dia bisa. Terus bergerak. Terus melangkah. Terus melaju. Tanpa menoleh ke belakang, tanpa mempertimbangkan arah, tanpa peduli kalau dia masih telanjang!

Sadar-sadar, Kahaq sudah sampai di kaki perbukitan sebelah barat Qrak. Napasnya habis, tenaganya terkuras. Pedang Shahir hilang entah ke mana—mungkin jatuh tertinggal. Kahaq, untuk pertama kalinya, menoleh, lalu terkejut! Si gadis pelacur membungkuk tak jauh di belakangnya, mengambil napas dengan kasar sambil menangis. Wajahnya merah, mulutnya basah oleh ludah dan ingus.

Kahaq hampir lupakan dia.

Lihat selengkapnya