Seribu Satu Sabda memberi keterangan bahwa ketika orang mati, dia akan bangkit di Kerajaan Abadi. Di sana, manusia akan menjadi bentuk sejatinya, bentuk baka, sosok sempurna yang bijak dan serba tahu. Ayahku tentunya mengalami hal ini ketika dia meramalkan bencana itu.—Perang Empat Bajingan, oleh Safia al'Nukhar
SAFIA AL’NUKHAR, putri mahkota takhta Nar Arath, bangun di balik lusinan boneka dan buku yang menumpuk di ranjangnya. Matanya sembab karena begadang; pakaiannya naik ke dada dan menampakkan perut putih; rambutnya awut-awutan, hitam mengkilap karena berminyak.
Safia menggosok matanya dan menguap lebar-lebar. Lama dia duduk di ranjang, tak melakukan apa-apa selain mengupil dan meniup-niup rambut poninya yang terlalu panjang. “Uh ... lapar,” gumam sang putri, mengusap sudut bibirnya yang berdaki dengan tangan. Dia menarik napas dalam, lalu membuka mulutnya lebar-lebar: “MINA!”
Tak ada jawaban.
“MINA! KEMARI KAMU!”
Gadis itu muncul dari ruang sebelah yang terhadang berlapis-lapis tirai penuh warna, seorang dayang muda dengan tudung hijau dan tubuh kurus. Usianya serupa dengan Safia, lima belas caturwulan. Meski begitu, ada jurang kedewasaan yang tampak jelas di sifat mereka.
"Pagi, Tuan Putri," sambut Mina kendati jelas waktu sudah bisa disebut siang.
"Lapar ...."
Mina mengangguk, tak menjawab. Dia sudah melayani Safia sejak kecil, ketika Haqa Yahir masih tinggal di istana. Dia tahu sifat sang putri, rutinitasnya, tingkah polahnya, serta keinginannya. Dia tahu cara menghadapi gadis manja itu ketika baru bangun di pagi hari.
Sebentar kemudian, Mina kembali dengan nampan berisi roti dan sup. “Tuan Putri.” Mina mengangguk pelan, lalu mulai menyusun sarapan di atas meja dekat ranjang. “Baginda Raja minta Anda supaya menghadap ke kamarnya setelah ini,” ujar si dayang.
“Hah?” Safia mengerutkan kening. Mulutnya masih penuh dengan roti. Hujam remah-remah menerjang seprai. “Mungkin maksud kamu ibuku. Siapa yang bilang ke kamu? Elyas?”
“Dayang Sahi.”
“Memang ibuku, kalau begitu. Tak usah buru-buru. Biasanya tak penting,” kilah sang putri, lalu mengambil roti dengan tangannya yang belum di cuci, membiarkan garpu serta pisau tak tersentuh. Safia menoleh ke sekeliling. “Ke mana Ehyas?”
“Saya tak tahu, Tuan Putri.”
“Itu kucing langkahnya memang sunyi banget.” Safia mendengus. “Haqa Yahir yang kasih nama begitu, kamu tahu? Dia bilang kalau kucing itu mirip Elyas; sama-sama tak berbunyi waktu bergerak.” Haqa Yahir, batin Safia, enam tahun yang lalu, tepat sebelum dia diusir dari Ambar Thal. Penasaran macam apa sekarang rupanya. “Ada kabar dari Haqa Yahir?”
“Merpati tiba di kemarin lusa. Mereka bilang pasukan Syah Yahir sudah sampai di pos perbatasan dan mulai masuk ke Malam Panjang,” tutur Mina. “Belum ada kabar lagi semenjak itu.”
“Kalau itu, sih, aku juga sudah tahu,” keluh Safia kecewa. Dia kemudian meminum susu madunya dan mengusap mulut dengan selimut. “Dan lagi, Mina, Haqa Yahir bukan syah. Berapa kali aku mesti bilang?”
“Bukannya beliau menguasai Su Aqthi, Putri?”
“Memang, tapi resminya, Su Aqthi hanya bagian dari kekuasaan Shaer. Kakakku tidak mengepalai satu pun provinsi.” Safia mengacungkan jarinya. “Jadi, dia bukan syah.” Walau kuyakin dia jauh dari keberatan untuk dipanggil begitu. Untuk suatu alasan, Haqa Yahir gila hormat. Dan memang, dia pantas diberi hormat.
Selesai bicara, si putri melompat di atas kasurnya, mendarat ke lantai dengan kecekatan seekor kucing. “Mari, bantu aku cari Ehyas.”
Mina membuka mulutnya, seolah hendak mengingatkan sesuatu, tapi sekedip kemudian, dia menutupnya kembali dan menghela. Safia tersenyum lebar, menampakkan deretan gingsul giginya. “Kau paham aku, rupanya, Mina,” ujar si putri, pura-pura terkejut.
BALAIRUNG TAKHTA kosong dan tak berpenghuni. Tak ada audiensi hari ini. Kondisi Ayah sedang sakit, dan terus semakin parah semenjak Kartar Ishpreet—tabib utama istana—kabur. “Dia meracuni dirinya sendiri,” kata Mina suatu hari, mendengar desas-desus dari para penggosip. “Tabib itu membuat ramuan yang mampu membuatnya mati, lalu hidup kembali.”
Ketika Safia bertanya apa hubungannya hal tersebut dengan kaburnya Tabib Kartar, Mina bilang, “Kartar Ishpreet pernah mati. Dia pergi ke Kerajaan Abadi walau sesaat, mendapatkan kebijakan kaum Asli, dan mengetahui apa-apa yang akan terjadi di masa depan. Dia tahu bahwa akan ada bencana yang menimpa Nar Arath.”
Safia ada di antara percaya dan tidak. Kartar adalah Pawang Darah, manusia paling ahli di bidang medis. Mungkin baginya untuk menciptakan ramuan yang mampu membunuh dan menghidupkan orang. Lalu soal pergi ke Kerajaan Abdi? Itu tak diragukan lagi. Kitab Seribu Satu Sabda juga tercipta dengan cara yang sama. Jadi, apa yang Safia ragukan?
Sang putri kurang percaya dengan sumber berita itu sendiri: gosip.
Lelah mencari kucingnya yang tak kunjung ketemu, Safia bersandar ke salah satu pilar balairung, menghadap ke lusinan lukisan yang berjejer memenuhi dinding. Salah satunya menggambarkan sebuah jalan pegunungan di dasar lembah yang menanjak. Jalur Semut.
Di posisi atas—utara—berdiri Khadiba sang Putri Mentari bersama Putra Rhashad si Obor Merah, memimpin para pejuang terakhir cahaya yang berlindung di Lembah Tu Adal. Di posisi bawah—selatan—berdiri Kahaq si Lidah Laknat, menghunus pedang sewarna nanah ke langit. Sepasukan Abdi Malam berbaris rapat di belakang pria itu, mengacungkan tombak ke arah orang-orang beriman.
“Putri Mentari,” ujar sebuah suara. Safia menoleh, mendapati seorang nona kecil yang tak dia kenali, berdiri di sampingnya sambil menunjuk ke arah lukisan. “Aku tahu dia. Ayahku sering cerita soal dia.”