Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #8

Tupai Hitam


Dahulu kala, Delapan Mata Angin memiliki mentari. Dahulu kala, siang dan malam bersatu dalam hari. Dahulu kala, terang dan gelap datang secara bergantian. Kini mentari sudah menghilang. Siang dan malam dipisahkan. Dunia dibagi menjadi dua wilayah: tanah terang dan Malam Panjang.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

 

KAHAQ TUPAI HITAM berdiri di antara dua sisi dunia: sebelah kirinya, ada lembah yang dalam, berselubung oleh kegelapan Malam Panjang; di sebelah kanan, membentang lembah lain, berwarna merah diterpa cahaya remang Obor Surya. Kahaq sendiri bertengger pada dahan di puncak pohon, memantau wilayah timur tempat para pengejar datang.

Mereka makin dekat, Kahaq tahu itu. Setidaknya, salah seorang dari mereka adalah pemburu yang cukup andal buat mengikuti jejak-jejak yang Kahaq tinggalkan. Sang Abdi mengumpat, menengadah, lalu kembali mengumpat dengan lebih parah.

Langit sama-sama berwarna merah di sini, bersih dari awan, menampakkan atap dunia yang kosong melompong. Tak ada burung, kabut, juga bulan. Tak ada Mata Malam. Tak ada Tuhan para Abdi. Kahaq sendirian—lebih tepatnya, berdua dengan Hanan. Dan itu lebih buruk, berhubung si gadis sama tak bergunanya dengan batu di pinggir kali.

Batu di pinggir kali lebih baik, Kahaq meralat. Setidaknya, batu tak usah dikasih makan.

“Mereka datang,” Kahaq berujar, lalu melompat turun ke bawah, tempat Hanan menunggu. Wajah gadis itu makin pucat dan kumal setelah berhari-hari berjalan tanpa istirahat yang memadai. “Mereka datang. Kau dengar aku. Yang sadar!”

Hanan mengangguk, lalu menjilat bibirnya yang kering dan pecah.

“Setelah lembah ini,” Kahaq menunjuk ke wilayah Malam Panjang di bawah, “Jalur Semut tak akan jauh lagi. Kita mesti menyeberanginya—sekalian menyingkirkan para keparat itu.”

Hanan pasang wajah risih, kelihatan takut. Tak heran. Malam Panjang, wilayah kekuasaan para Abdi dan sang Penguasa Kegelapan. Daerah yang tak terjangkau cahaya Obor Surya. Tak ada satu pun orang kafir waras mau dekat-dekat dengan tempat macam itu.

“Jangan khawatir. Aku tak butuh Ikrar Hitam-mu. Kau tak usah lepas ikat tanganmu,” Kahaq berbalik, memungut bebatuan sebesar kepalan. Lagi pula tuanku dalam tidur panjang. Tak seperti dulu, bayangan bukan lagi telinganya, dan bulan bukan lagi matanya. “Bantu aku; atau kau lebih suka bergabung dengan mereka?”

Kahaq tak menoleh; dia juga tak mengharapkan jawaban. Meski begitu, dia mendengarkan suara si gadis mengikutinya, bantu mengumpulkan senjata. Serigala melolong di dasar lembah, mencium aroma daging dan darah.

Batu-batu ditumpuk di ujung puncak bukit yang menebing, membentuk gunung kecil. Kahaq berjongkok—melambaikan tangannya agar Hanan mengikutinya—lalu mengintip ke lembah seberang. Sesemakan tampak bergoyang ketika ditembus oleh manusia, beriringan dengan diamnya burung-burung.

“Mereka hampir sampai.” Kahaq menelan ludahnya, lalu menoleh ke ufuk selatan. Mata Malam belum menampakkan diri, masih bersembunyi di bagian bawah dunia. Tanpa-Nya, hanya warna hitam yang akan Kahaq lihat di Malam Panjang. Dia kembali memeriksa kaki bukit, menemukan empat orang pria dekil yang bergerak cepat, coba mendaki bagian lereng yang berbatu. Kahaq menarik napas dalam-dalam, menenangkan jantungnya yang berdegup liar.

Batu pertama dia timang dengan penuh kehati-hatian, sebelum dia dia lempar, mengenai pejalan terdepan tepat di selangkangan. Pria itu menjerit layaknya perempuan, lalu terjungkir dan menimpa temannya yang ada di belakang.

“Tai!” Salah seorang dari mereka mengumpat cukup keras untuk Kahaq dengar, lalu tersamarkan oleh ejekan dan teriakan lain yang menyusul. “Tai!”

“Malam teduhkanku,” desis Kahaq, lalu kembali melempar, lebih liar dan brutal dari yang pertama. Beberapa batu berhasil mengenai tubuh musuh, beberapa lagi meleset dan menggelinding cepat menuruni lereng. Dua pengejar melompat, mencari perlindungan pohon dan bebatuan besar; satu lagi coba menyeret korban pertama Kahaq yang masih merintih kesakitan.

Seorang pria dengan helm bulat muncul, busur siap tembak terentang di kedua tangannya selagi Kahaq mengambil ancang-ancang melempar. Sekedip kemudian, terdengar suara dengung senar, bersamaan dengan desis udara yang disayat. Anak panah melesat dengan cepat, menyerempet telinga Kahaq.

“Goblok!” Buru-buru Kahaq menarik kepalanya dari tepi tebing. Darah hitam menetes cepat dari lukanya, jatuh ke tanah. Pelan-pelan, Kahaq merayap buat mengintip, tapi baru saja keningnya nongol, desau panah kembali terdengar. Kali ini dia berhasil menghindar; mulut mengumpat dan jantung berdebar.

Para pengejar kembali bergerak, mendaki lereng dan semakin mendekat. Kahaq tahu itu. Di utara, belum ada tanda-tanda kemunculan sang bulan. Kahaq meraih potongan kayu kering di sampingnya dan menaruhnya ke ujung tebing. Senar berdengung dan sekejap kemudian batang panah menerjang potongan kayu itu.

Sekarang! Ketika si pemanah masih menyiapkan busur!

Tanpa ragu, Kahaq menjulurkan kepala. Di bawah sana, berdiri dua orang pemanah: satu sedang memasang busur, satu membidik. Batang panah melesat dengan cepat; Kahaq menghindar dan berhasil, lalu menghempaskan batu ke kepala si keparat. Anak panah lain hampir menembus lehernya ketika Kahaq menarik diri ke belakang, terjungkir menimpa Hanan.

“Tai! Tai! Anjing!” Kahaq bangkit, melotot pada Hanan. “Urus mereka, kalau kau memang ingin tetap hidup!” Ada keparat lain yang mesti aku urus.

Kahaq melangkahkan lututnya di tanah berbatu, bergerak secepat yang dia bisa ke tepi tebing yang lain. Sekitar sepuluh depa jauhnya dia dari tempat Hanan, Kahaq menjatuhkan diri dan berguling. Pelan-pelan, dia mendekat ke tepi dan menjulurkan kepala. Kahaq mengumpat. Di bawah sana, seorang pria lain terpisah dari kawanan, coba mendaki bagian lereng yang bertanah dan lebih licin.

Kahaq celingukan, mencari batu: tak ada. Dia coba congkel bongkahan sebesar kepala yang terkubur di tanah; susahnya minta ampun. Dia menyerah dan kembali mengintip. Ada batu di bawah sana, lebih besar dari bokong Hanan, dua depa dari tempat Kahaq berada. Sementara itu, musuh makin mendekat, menancapkan jari-jarinya di permukaan lembek tanah.

Tak ada pilihan lain. Cahaya butakan mereka! Kahaq berguling dan menjatuhkan diri ke bawah, mendarat tepat di samping bongkahan batu besar itu. Dia coba untuk menggulingkannya, yang rupanya lebih sulit dari yang dia kira. Keringat merembes dari kening dan bokongnya, tapi batu itu cuma bergeser sedikit.

Lihat selengkapnya