Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #9

Pangeran Haram


Ketika Putra-Putri Laut datang menginvasi, Haqa Yahir baru berusia delapan belas tahun. Sejumlah orang mungkin akan bilang kalau itu usia yang teramat muda. Mereka lupa kalau perang pertama Haqa Yahir berlangsung ketika dia berusia tiga belas: dengan rakyat jelata sebagai pasukan, cangkul sebagai senjata, serta Jenderal Sogül sebagai musuh. Haqa Yahir adalah sosok panglima yang cerdas, berani, dan inovatif. Aku mencintainya untuk itu.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

 

ORANG-ORANG BARBAR itu mencari tawanan Yahir. Dia tahu dari gerak-geriknya. Dalam kelompok tiga-tiga, mereka bergerak menjelajah Hutan Dahaq: seorang dengan obor untuk menerangi jalan, seorang dengan golok untuk membersihkan jalan, seorang lagi dengan busur untuk mengamankan jalan.

Hutan-hutan disiangi dan dibakar. Dari menara pos Batu Miring, Yahir melihat asap membumbung tinggi ke langit, bersamaan dengan gelombang api raksasa yang melalap pepohonan, dikipasi oleh angin yang berhembus ke arah barat. Dahaq kini dipenuhi warna jingga dan bau hangus.

“Heran kenapa mereka sengotot ini. Mereka bakal buat sang Rimbawan Hutan murka,” keluh Hamir, memandang bagian timur Hutan Dahaq yang terang benderang. Api teramat besar di sana, sangat besar sampai-sampai asapnya melayang jauh ke Batu Miring, membuat Hamir dan Yahir sulit bernapas. “Aku tak ingat kapan terakhir dia murka.”

“Aku ingat,” cetus Yahir. “Aku masih dua belas tahun ketika itu. Lebih muda ketimbang Tar'iq.” Pangeran Haram tersenyum miring ke arah bocah itu. Kain putih membalut erat separuh kepalanya, menutupi mata yang terluka. “Enam tahun yang lalu.”

Hamir menaikkan satu alisnya. “Pemberontakan Selir Fatia?”

“Iya. Pemberontakan ibuku," timpal Yahir jengkel. "Setidaknya, begitulah yang orang bilang. Raja Zahir jatuh sakit ketika itu. Hampir mati. Ada ‘sedikit’ pergolakan tentang siapa yang akan naik takhta menggantikannya: aku, Yahir as’Shakhar, si Pangeran Haram? Atau dia, Saddan al’Nukhar, si Babi Tolol? Permaisuri Hawla tak biarkan putranya kehilangan klaim cuma gara-gara aku.

“Suatu malam, dia menyerang kediaman kami. Ibuku tertangkap sementara aku berhasil kabur dari Benteng Pahlawan, menjadi gembel di kawasan kumuh Ambar Thal. Aku berhasil bertahan hidup, tapi sehastawara kemudian, ibuku diarak untuk dibakar hidup-hidup di Api Abadi. Mayatnya digantung di alun-alun, dibiarkan jadi makanan gagak."

Yahir mengusap simbol bani yang terjahit di dadanya. Gagak mematuk mata. “Paham kalau aku tak punya apa-apa lagi, aku minggat dari Ambar Thal; ke utara, mendaki kaki Pegunungan Qo Thahal. Aku sekarat, lemah, dan kelaparan; tapi seorang gadis jelata menyelamatkanku. Wanita seumuranku, tidak cantik, namun cukup pandai menjahit dan meramu obat.

“Dia membawaku ke desanya, dan untuk beberapa hastawara, aku tinggal di sana.” Yahir menjilat bibirnya—kering karena terlalu banyak bicara. “Suatu hari, garnisun Ambar Thal datang, membantai orang-orang desa buat mencariku. Aku sendiri sudah kabur ketika itu, kembali mendaki, masuk jauh ke dalam hutan.

“Entah kegilaan apa yang merasuki orang-orang itu. Mereka membakar hutan, coba mengasapiku dan memaksaku keluar. Aku hampir mati tercekik, tapi kemudian Latifah datang. Sang Rimbawan.”

“Apa yang dia lakukan pada mereka, ya Syaidina?” tanya Tar’iq, tampak penasaran. Tangan kirinya mengusap mata kanannya yang pecah.

Lihat selengkapnya