Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #10

Tupai Hitam


Pembahasan tentang para Pawang. Mereka disebut Kaum Sebelas karena jumlahnya. Telah ada bahkan sebelum sang Nabi muncul membawa ajaran Seribu Satu Sabda. Semenjak itu, mereka terus bereinkarnasi dan hidup di berbagai raga, negara, dan bangsa.

Kendati memiliki reputasi jelek sebagai penyihir, ada satu Pawang yang punya tempat tersendiri dalam sejarah Nar Arath. Namanya Khadiba, sang Putri Mentari. Dialah wanita yang menepis serangan Kahaq Lidah Laknat dari Tu Adal. Orang Lembah memujanya bak dewi sementara Abdi Malam mengutuknya bak duri.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

 

TIGA HARI LEWAT semenjak Kahaq mulai menyusuri Jalur Semut, dan gadis pelacur itu masih juga mengikutinya. Dia berjalan agak jauh di belakang, tak terlihat di balik pepohonan dan bebatuan besar yang berkerumun di sepanjang jalan. Tapi Kahaq mendengar. Gadis bodoh itu benar-benar berisik.

Jalur Semut tak jauh berbeda dengan yang diingat Kahaq enam puluh tahun yang lalu. Sebuah jalan yang sebenarnya tak layak disebut jalan. Rute ini mendaki Pegunungan Kelopak Bawah, mengular untuk menghindari tebing dan jurang, kadang landai, seringnya mendaki curam. Kalau pun ada perubahan yang terjadi, itu adalah jalan yang semakin sulit ditemukan.

Dulu, Jalur Semut setidaknya sering dilewati. Pepohonan dan sesemakan disiangi di sekitar jalannya, jalur curam diberi bebatuan agar tak licin, dan kalau beruntung, kau bisa bertemu dengan sesama pengembara kurang kerjaan untuk bertukar makanan serta cerita. Sekarang, pepohonan kembali tumbuh dengan rimbun, sesemakan beranak pinak dengan subur, lumput tumbuh di keteduhan, lereng-lereng tertimbun tanah longsor dan makin licin. Satu-satunya cara Kahaq mengetahui rute yang benar adalah dari tugu-tugu batu yang diletakkan setiap sepuluh depa—yang kadang hilang pula, tertutup lumut serta semak.

Oleh karena itu, dari lubuk hatinya yang terdalam—kalau pun dia masih punya hati—Kahaq kagum pada Hanan yang masih mampu mengikutinya. Ingin rasanya Kahaq biarkan saja gadis itu berbuat sesukanya, tapi dia tak bisa. Hanan berjalan dengan begitu berantakan. Setiap tempat yang dia lewati pasti penuh dengan jejak kaki, ranting patah, serta dedaunan yang gugur.

Kemarin, Kahaq sampai di sebuah bukit batu yang menjulang di antara pepohonan. Dari sana dia bisa melihat jauh ke selatan, mengawasi beberapa sosok kecil yang melintasi Jalur Semut tepat di belakang Hanan. Para pengejar dari Qrak. Orang-orang kafir itu berhasil melacak Kahaq dari jejak yang Hanan buat.

Kahaq mengumpat.

Walaupun Kahaq punya kaki seorang pengintai yang tangkas, masih butuh setidaknya empat sampai lima hari untuk sampai ke Tu Adal. Dan dia kehabisan makanan! Makin tinggi dia mendaki, makin jauh pula dia dari Pilar-Pilar Langit. Kahaq mulai memasuki Perbatasan Senja, tempat tanpa berkah cahaya maupun kegelapan. Tempat mati. Tempat gersang dengan tanah kering, pepohonan layu, dan tanpa hewan sama sekali.

Ruh-ruh udara tempat ini sekarat. Sedalam apa pun Kahaq menarik napas, jantungnya tetap merasa kekurangan, membuatnya tersengal-sengal. Dia butuh istirahat—yang mustahil dia dapatkan selama para pengejar masih di belakangnya.

Terdengar suara air yang mengalir. Dengan tergopoh-gopoh, Kahaq mempercepat langkahnya, menerobos semak dan memanjat bebatuan. Terlalu lelah, dia terjerembab akar pohon yang mencuat dari tanah. Udara mendobrak keluar dari paru-parunya lewat batuk. Dada terasa nyeri karena menghantam tanah sementara wajahnya terbenam ke bantaran sungai.

Kahaq mengangkat wajah dan memuntahkan lumpur yang masuk ke mulut. Setelah batuk hebat, dia buru-buru meminum air sungai dengan rakus. Dingin memang, membuat lidahnya hampir beku; tapi setidaknya mampu melepas dahaga dan menyegarkan. Setelah perutnya terisi penuh, Kahaq membaringkan diri di tanah, mengambil napas untuk sejenak.

Aku tak akan sampai ke Tu Adal tanpa tertangkap lebih dulu. Kahaq tersadar. Lawan mereka atau mati di sini!

Kahaq bangkit dan merangkak ke arah sungai, kemudian berbaring di bantaran seberang. Di bawah deraan air dingin, dia mulai mengubur dirinya sendiri di lumpur. Mula-mula kaki, lalu perut dan dada. Kahaq menghabiskan banyak waktu untuk menyembunyikan kepalanya, menyisakan sedikit lubang bagi mulut dan mata. Terakhir, dia menyusupkan tangannya ke belakang tubuh, salah satunya masih memegang kapak dengan erat.

Sungai mengalir dengan lambat, membawa serta air keruh bersamanya. Kahaq diam tak bergerak, menunggu dengan sabar sampai arus kembali jernih. Mulutnya mengambil napas dengan perlahan-lahan, mencegah lumpur masuk; mata menatap ke selatan, mengawasi dengan cermat lewat celah kecil.

Lama dia menunggu. Dilihatnya langit yang berawan, dengan bulan yang muncul menghilang di baliknya. Rasa lelah membuatnya mengantuk, amat mengantuk. Dia perlu menggigit lidahnya sendiri untuk tetap sadar. Darah terasa asam dan pedas di gusinya, masuk ke tenggorokkan dan hampir membuatnya terbatuk. Dia tak boleh batuk! Tidak untuk sekarang!

Kahaq mendengar suara langkah dan sesemakan yang berdesir, samar pada awalnya, tapi semakin jelas dan dekat. Hanan muncul tak lama kemudian, dekil oleh debu dan keringat, lelah oleh rasa lapar dan udara mati. Gadis itu lebih kepayahan daripada Kahaq. Wajahnya pucat, jalannya terseok-seok, lutut gemetar, dan dia jatuh juga pada akhirnya—tepat di tempat Kahaq pernah jatuh.

Sang Abdi makin memendekkan napasnya, tak membiarkan dadanya mengembang terlalu jelas. Di dalam batin, dia mengumpat gila-gilaan karena perutnya mendadak mulas, ingin kentut. Kahaq menatap Hanan, terbaring lemas di tanah, tersengal-sengal. Yakin kalau dia sedang tak memperhatikan, Kahaq melepaskan kentutnya, menciptakan gelembung tak alami di dalam air.

Apa dia sudah mati? Kahaq mulai khawatir, lalu bingung. Kenapa pula dia mesti khawatir? “Kahaq Tupai Hitam”, begitulah julukannya sekarang. Dialah orang yang membunuh Altaf Tupai Muda di Arungan Ternak, dialah orang yang memimpin penjarahan ke desa-desa perbatasan ketika Min Thalaq takluk, dialah orang yang menduduki kursi Jenderal Tinggi Nar Arath sebelum al’Nukhar datang.

Dia bakal diangkat sebagai Panglima Adikara seandainya Sang Malam masih berkuasa.

Jadi, kenapa pula dia mesti menaruh perhatian kepada bocah tengik ini? Mereka sama sekali tak mirip, batin Kahaq, coba meyakinkan diri. Yang benar saja! Putri gadis itu jauh lebih cantik daripada makhluk dekil ini!

Lihat selengkapnya