Selain Kaum Sebelas, ada satu jenis sihir lain yang masih tersisa di zamanku. Penggunanya dipanggil dengan sebutan citraleka. Sebab kekuatan mereka untuk memuntir segala kodrat Tuhan, orang-orang takut pada mereka dan menciptakan sebutan Penyihir Malam.
Dasar manusia-manusia bebal! Apakah kalian lupa siapa yang membangun Pilar Langit hingga menjulang melebihi gunung? Apakah kalian lupa siapa yang membimbing Delapan Mata Angin ke masa-masa emasnya? Apakah kalian lupa siapa yang menyelamatkan raja kalian dari racun Nanah?—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
BUTUH LIMA BELAS orang dayang untuk menyeret Safia dari bawah ranjangnya—itu pun tidak sebelum korban jiwa berjatuhan. Sang putri selalu ada di sana semenjak Ayah puput usia. Mogok makan, katanya; tapi baru sehari berlalu, gadis itu diam-diam melahap tandas roti isi daging asap yang dibawa Mina ketika tak ada orang lihat. Rupanya rasa lapar memang mustahil ditahan entah itu di situasi genting sekali pun.
Di hari kedua Safia ngadat, Ibu perintah para dayang buat seret dia keluar. Itu pekerjaan yang berbahaya. Salah seorang pelayan milik permaisuri jadi korban pertama sang putri. Wajah wanita malang itu kena cakar dan kelingkingnya putus gara-gara digigit. Pernah sekali mereka menyergap Safia yang keluar buat buang air, tapi makhluk liar itu melempari seorang dayang dengan ember sampai pingsan. Sejak saat itu, Ibu tak pernah lagi coba-coba ganggu dia.
Sayangnya, kelakuan Safia tak bisa dibiarkan lagi. Persiapan penobatan sudah siap, dan gosip soal mangkatnya raja telah tersebar di sepenjuru Benteng Pahlawan. Upacara itu tak bisa ditunda lagi—terutama bila alasannya karena sang putri merajuk macam bocah tujuh tahun. Ingat! Dia sudah datang bulan, walau bagaimana pun. Sudah jadi wanita yang patut—seharusnya.
Jadi, hari itu, ketika bulan terbenam dan pagi dimulai, Ibu sendiri yang datang ke kamar Safia. Di belakangnya, lima belas dayang berbaris dengan lengan gaun tersingsing; orang-orang yang dipinjam Ibu dari wanita-wanita bangsawan lain.
“Safia, berhenti berkelakuan macam bocah. Berapa umurmu sekarang?” Permaisuri Hawla menyinggung. “Demi Sang Pencerah, keluar dari sana, Nak!”
"Laknat Lidah Laknat!" Safia mengumpat, berani bukan kepalang. Terdengar bunyi riuh para dayang yang coba menangkal sial dengan menggambar palang dan silang di dada. "Tak mau!"
“Ayahmu mangkat! Kau satu-satunya pewaris takhta kerajaan! Satu-satunya keturunan al'Nukhar! Kau punya kewajiban!”
“Berikan saja pada Haqa Yahir,” tukas Safia, tak mau kalah. Dia merayap makin dalam ke sudut terjauh ranjangnya. “Dia juga putra ayah! Dia laki-laki! Dia pintar! Berikan saja pada dia!”
Suara Ibu menggelegar, bahkan membuat Safia sendiri melonjak dan membentur dasar ranjang. “Jaga ucapanmu! Dia anak haram!”
“Sang Pencerah tak pernah bilang anak haram tak boleh jadi imam!”
“Ibu terkutuknya merencanakan pemberontakan waktu ayahmu jatuh sakit! Kalau saja aku tak hentikan dia, mungkin sekarang kau sudah tinggal bangkai, dasar bocah badung!”
“Bibi Fatia tak mungkin berbuat begitu!”
“Safia!”
“Lagian, Ayah jatuh sakit gara-gara mereka memaksanya buat melepas perbannya!” Safia menangis seraya mendekatkan pembalut tangannya ke dada. “Kalian tahu kalau luka dari Nanah mustahil disembuhkan! Tapi kalian paksa dia! Buat dia jatuh sakit! Lalu fitnah Bibi Fatia buat pengkhianatan dan usir Haqa Yahir dari sini!”
“Anak bodoh. Kau tahu sendiri kalau perban itu buatan citraleka.”
Citraleka. Penyihir Malam, ulang Safia dalam benaknya, menatap pembalut tangannya yang disulam dengan deretan huruf rumit. Ilmu Aksara Asali. Diajarkan oleh Sang Malam kepada para Abdi-nya, tapi bukan berati berasal dari kegelapan itu sendiri!
Terdengar suara derap langkah sepatu bot dan dentang baja. Safia menoleh, menatap selusin kaki prajurit yang mengerumuni ranjangnya. Mulanya dia mengira hendak diseret oleh para pria, tapi kemudian terdengar suara derak, dan ranjangnya tiba-tiba diangkat untuk dipindahkan. Safia kini kehilangan benteng kecilnya.
“Tangkap! Tangkap dia!” perintah Ibu berang. Wajah marahnya benar-benar mirip Safia sendiri sekarang. “Anak badung! Jangan menyiksa ibumu sendiri!”
Safia mendesis layaknya kucing yang berkelahi. Gaunnya yang belum diganti sembilan hari sama kusutnya dengan rambutnya. Para dayang ragu sejenak, mungkin teringat rekan mereka yang kehilangan jarinya, tapi setelah mendengar permaisuri kembali menjerit, mereka maju dengan takut-takut.