Sang Malam memuntir kodrat dari tubuh-tubuh Abdi-nya, memperkuat mereka dengan kutukan hitam. Mereka tak bisa membusuk, entah itu hidup atau mati. Mereka tak bisa sakit. Mereka tak mudah lelah. Dan jangan lupakan kemampuan mereka untuk melihat dengan cahaya bulan.
Orang mungkin mengira kalau Abdi Malam tak punya rona wajah sebab darah mereka yang hitam. Mengira kalau mereka punya bibir dan lidah yang gelap. Kabar buruknya, wahai manusia-manusia bebal, mustahil untuk membedakan antara Saudara Sesabda dengan Abdi Malam kecuali lewat darah mereka secara langsung. Kulit Abdi mampu memalsukan warna serupa bunglon. Andai tidak begini, Lidah Laknat tentu sudah dicekik ibunya sendiri ketika dia kecil.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
LUKA MENGANGA lebar di tangan dan bahunya. Darah hitam menetes dari sana, lebih kental dan lebih lambat keluar dibanding darah merah. Untunglah dia seorang Abdi Malam, jika tidak, dia akan mati gara-gara radang. Kebanyakan prajurit kafir mati karena itu. Luka yang tak parah, namun kotor dan terbuka. Selama beberapa hari, kau akan baik-baik saja, tapi kemudian dagingmu mulai membusuk, lalu demam menyerangmu. Kekuatan hilang dari tubuhmu, pergi bersama kesadaran. Kalau sudah begitu, tinggal menunggu waktu sebelum kau mati.
Jika luka tak terlalu parah, kau bisa membakarnya dengan besi panas, menjahitnya, lalu menutupnya. Cara yang menyakitkan, tapi lebih baik dari daging busuk. Jika lukanya terlalu lebar, kau mesti memotong bagian tubuh tersebut. Amputasi. Pilihan yang sinting. Seorang Dukun Cangkok bisa menyambung tangan seorang Abdi pada tubuh Abdi lain, tapi tidak begitu dengan kaum kafir.
Kahaq melepas pakaiannya, membersihkan diri, lalu mengenakan celana milik si Putra Fajar tua—pakaiannya paling bagus di antara keempat pengejar. Bulan sudah terbenam beberapa jam yang lalu, tapi Hanan masih memejamkan mata—entah karena terlalu lelah atau memang sudah sifatnya: jago tidur. Selain membersihkan luka di betis mungilnya, Kahaq sama sekali tak mengganggu gadis itu.
Kayu dan ranting kering disusun. Sesaat kemudian, api pun dinyalakan. Kahaq meraih sebatang kayu yang masih membara, menggosokkannya ke luka di lengan kirinya. Sang Abdi mengerang sakit, hampir menjerit. Kulit dan kerak darah meleleh layaknya lilin, menutup lukanya dengan tak wajar.
“Tai.” Kahaq melempar kayunya kembali ke api, lalu menggosok-gosok lengan kirinya. Luka itu tertutup sempurna sekarang, meninggalkan segaris luka bakar mengerut yang amat-amat-amat jelek. Sejumlah bekas luka serupa tersebar di sekujur tubuh Kahaq, oleh-oleh perkelahian lamanya yang tak terhitung lagi banyaknya.
Dia coba gerakan tangannya. Masih terasa nyeri luar biasa. Setidaknya, butuh waktu dua minggu agar irisan di daging kembali merekat.
Hanan meringis linglung, membuka matanya, lalu menatap Kahaq dengan terkejut. Dia melompat berdiri, hampir kabur, tapi langsung roboh dan mengerang sakit. Kahaq menghela napas. “Kakimu disayat pake pisau. Kau lupa, ya?”
Gadis itu tak mendengarkan, beringsut mundur, ngotot untuk kabur dari Kahaq. Reaksi yang tak aneh, sebenarnya. Ingat? Kahaq pernah melempari bocah itu batu dan sempat mau memerkosanya. Jangan heran kalau Hanan takut terhadap si Abdi Malam.
Kalau dia takut padaku, pikir Kahaq, ngapain juga dia ikut aku ke sini? Pertanyaan tersebut berpusar di kepalanya dan tak mau menghilang. Masihkah dia berniat buat memotong leherku? Kalau benar begitu, ini anak pasti susah untuk dibuat kapok. Mengingat siapa Hanan di kelahiran sebelumnya—Khadiba Putri Mentari!—Kahaq rasa tebakannya sama sekali tak bisa disebut konyol.
“Kau lapar?” Kahaq meraih batang kayu baru dari api dan menggosoknya di bahu. “Aku punya daging panggang.”
Hanan menoleh ke api. Potongan daging besar ditusuk dan dibakar di atasnya, tampak penuh otot dan minim lemak. Untuk sesaat, gadis itu memasang pandangan lapar; sesaat lagi, dia mual dan muntah. Dia tahu itu daging apa—bukan, daging siapa.