Orang-orang di luar agama kami tentunya sulit memahami kekuatan dari al'Zulkar. Utamanya Abdi Malam. Mereka memanggil kami "kaum fanatik gila". Tanpa iman yang sama, mustahil bagi kalian untuk memiliki pandangan yang sama juga. Sebab itu, aku menyerah untuk memberi pemahaman dan hanya akan memberi pengetahuan: Kami percaya pada Tuhan kami. Dan Dia berkata bahwa kami wajib menegakkan kebenaran, membasmi kemungkaran, serta mengikuti segala perintah Nabi. Melakukan hal sebaliknya adalah dosa dan murtad.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
PADANG SUNYI tak terlihat banyak berubah semenjak Baatar meninggalkannya, delapan tahun lalu. Masih datar macam biasa, masih berangin macam biasa, dan masih banyak lalat macam biasa. Amat banyak, berhubung musim dingin sudah tertinggal jauh di belakang. Baatar benci lalat. Hewan jahanam, mereka ini. Menyerang ketika lengah, kabur ketika dikejar, lalu kembali lagi ketika situasi tenang. Mirip betul dengan para gembala.
"Aaaaaaaah!" Baatar membentangkan tangannya sembari duduk di pelana, coba menikmati aroma rumput, ternak, dan tahi yang menerjang bersama angin. "Bikin nostalgia banget .... Gimana Torjit? Situ juga ngerasain, kan?"
Torjit angkat satu alis, tubuh membungkuk santai di atas kudanya. "Masa?" Torjit melirik ke atas, pada puncak tombaknya, pada ekor kuda putih yang terikat di sana. Panji-panji damai Muhtaqdai.
"Oh. Jangan gitulah, Torjit. Gak asyik abis." Baatar menggeleng hikmat. "Apa dirimu gak mendadak inget soal kenangan-kenangan manis kita di sini?"
Torjit mengernyit. "Gak. Gak inget. Gak yakin pernah inget. Gak yakin kalo rasanya manis ketimbang asem."
Baatar mengabaikannya, menyipit, lalu menunjuk. Agak jauh di depan sana, segerombolan kambing merumput. Seorang gembala dan seekor anjing hilir-mudik di sekitarnya, sibuk bekerja. "Wah! Torjit! Ada perawan!"
Torjit menoleh, ikut menyipit, lalu berkata lambat-lambat: "Baatar ... itu ... bocil."
"Tapi perawan, kan? Masa muda gitu udah janda."
"Secara hakikat mungkin iya, tapi secara ... istilah ... rasa-rasanya kurang ..."
"... pas?" usul Baatar.
"... bermoral," tandas Torjit.
"Masa?" Baatar mengernyit, lalu angkat bahu. "Mangsa pertama, Torjit! Ayuk!"
"Situ ngebacot udah kayak kakek cabul tukang mangsa anak-anak, aja."
Baatar mengabaikannya—lagi dan selalu. Dia mencongklang kudanya, meninggalkan Torjit di belakang dan menghampiri si gembala kecil. Anak itu sibuk betul dengan seekor kambing badungnya yang coba menjauh dari kawanan. Dengan tubuh mungil, si gembala coba menarik binatang itu, mulut tak henti-hentinya mengeluarkan umpatan cempreng.
Jadi, begitu si gembala menoleh dan mendapati Baatar yang menjulang di atas kuda, dia langsung melongo. Mata lebarnya kian besar dan seolah hendak copot.
"Sang Pencerah terangi dirimu, makhluk kecil," sabda Baatar dalam nada dakwah yang datar. "Perlu bantuan?"
Tak ada jawaban.
"Saranku itu kambing kita gorok saja. Sebelom yang laen ikut-ikutan dia."
Tak ada jawaban.
"Hmm. Siapa namamu, makhluk kecil? Dari suku mana? Di mana mereka berkemah? Pasti tak jauh, kan?"
Tak ada jawaban.
"Oke, makhluk kecil. Kau membuatku ketakutan sekarang."
Ketika itulah Torjit muncul dan menghentikan kudanya di samping Baatar. "Anjir. 'Ni bocil pasti takut banget sama situ. Sampe ngebatu begitu." Torjit mengeryit, mengendus, lalu melirik rok si gembala kecil yang basah. "Sampe beser ... begitu."
"Apah! Gak masuk akal! Wajah tampan begini? Apa seremnya!"
"Baatar, mending kita pergi, yok." Torjit melirik kanan-kiri dengan resah. "Aku ngerasa gak enak banget bikin anak sekecil ini sampe gemetaran begitu."
"Asli, Torjit? Ke mana juga perginya si Yak Putih yang sangar lagi sadis? Situ kek gak pernah bacok orang sampe jadi bubur aja."
"Baatar, situ emang bajingan tulen sampe berani sama bocil begini."
"Gak, Torjit. Bentar! Ini anak badung belom tau aja aku siapa!" Dengan gagah, Baatar menghunus pedang tuanya. Pedang satu tangan, dengan bilah kumal dan gagang berukir kepala naga. "Lihat dan perhatikan, Nak! Aku adalah titisan dari al'Nukhar sang Pemberontak! Avatar Nabi—"
Si bocah menjerit histeris, lalu lari kabur meninggalkan kambingnya. Meninggalkan Baatar di tengah-tengah pidatonya. Meninggalkan si pak tua yang kini diam mematung dengan mulut masih terbuka.
"Aku bilang juga apa." Torjit menutup wajah dengan tangan, bahu gemetar seolah menangis. "Aku gak pernah ngerasa jadi orang baek, tapi gila, aku juga gak pernah ngerasa sejahat ini."
"Huh. Gak macem yang aku bayangin." Baatar melirik pedang di tangannya, kening mengernyit curiga. "Padahal tadinya aku ngira bakal langsung disembah-sembah begitu orang liat ini peda—ANJING!"
"Oh? Apaan?"