Pawang Rimba agak berbeda dengan kesepuluh pawang yang lain. Dia berbagi ingatan dengan pepohonan dan binatang hutan. Oleh sebab inilah legenda mengatakan bahwa dia dewasa dengan amat cepat. Konon Latifah sendiri, avatar Pawang Rimba yang sekarang, sudah mampu bicara ketika masih berumur sepuluh hari.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
MEREKA SEDANG MEMBEMBAM ubi liar tatkala Kahaq menyadari ada yang ganjil. Tidak; bukan masalah penting, memang. Apa yang dirasa aneh oleh si Abdi adalah ekspresi wajah dan pergerakan paha Hanan. Dia ingin buang air. Pasti begitu. Sudah tiga belas hari sejak mereka bertemu di Qrak, jadi Kahaq mulai terbiasa dengan gerak-gerik si gadis.
“Temanku Fang pernah bilang, ‘Jangan suka tahan kencing. Penyakit.’ Sumpah.” Ketika itu mereka sedang berperang melawan sisa-sisa pasukan Min Thalaq di Hutan Dahaq. Si Fang bangsat bilang begitu sambil kencing di samping Kahaq yang sedang makan. Memang teman tahi tiada ampun dia itu. “Sana. Aku tak bakal intip.”
Wajah Hanan memucat. Keringat merembes dari pelipis dan mengalir jatuh ke pipinya yang berbintik. “Tidak. Aku tidak ....” Gadis itu kembali melipat pahanya, makin tak tahan. Anehnya, ketimbang pergi, dia malah memutar mata ke hutan-hutan mati di sekeliling. Dia takut.
Kahaq menghela. Bocah yang satu ini terlalu banyak mendengar omong kosong para juru dongeng, rupanya. Kahaq kenal tempat ini. Di sini, dia pernah menjagal ratusan kepala Pejuang Lembah yang sedang beristirahat. Dia juga tahu kalau tempat ini angker. Amat tahu. Tapi, enam puluh tahun sudah lewat, dan alam mulai melupakan apa-apa yang telah terjadi di wajahnya.
“Ingin aku temani?” canda Kahaq.
Hanan tak tertawa atau berkilah. Dia menatap Kahaq—melotot dan penuh harap.
Si Abdi terkekeh hambar. Tangannya sibuk mengorek-ngorek ubi yang terkubur di dalam abu panas. “Dengar. Aku Abdi Malam, aku Pelayan Kegelapan, tapi tak berarti aku sahabatan dengan hantu!" Walau aku sahabatan dengan bajingan. "Jadi, ada atau tidak ada aku, tak bakal banyak pengaruh.”
Mata lebar Hanan mulai berkaca-kaca.
“Oke!” Kahaq meninggalkan ubinya dan meraih sebatang kayu yang masih berapi. “Ayuk!”
Hanan buru-buru bangkit, mengikuti Kahaq layaknya seorang anak mengikuti ibunya. Mereka pergi tak terlalu jauh dari perapian, tapi tak terlalu dekat pula supaya bau pesingnya tidak tercium. Setelah memastikan kalau tempatnya bukan tanah berkat, Kahaq menjatuhkan diri dan duduk di akar pohon. “Nah. Silakan. Aku tunggu.”
Untuk beberapa saat, Hanan menatap Kahaq yang tengah melinting rumput hisap—yang dia curi dari si kesatria tua—di daun kering. Dia tak berbicara, namun pipinya memerah. Sang Abdi mengangkat kepalanya, menatap rekan perjalanannya dengan alis terangkat. Mereka saling diam, tak bergerak; lalu Kahaq mengerti.
“Kita pernah telanjang bareng,” ujar pria itu, agak muak dengan tuntutan berkelanjutan Hanan. “Kau tak usah malu.”
“Ta-tapi, Haqa ....” Gadis itu tak mau bergerak.
Butuh usaha yang besar untuk menekan rasa jengkel di dada. Tak boleh, tak boleh, batin Kahaq. Aku mesti jadi haqa baik. Haqa penyabar. Haqa jantan yang senantiasa lembut terhadap perempuan. “Daulat.” Kahaq bangkit berdiri.
“Ah ... Haqa ... itu ....”
“Jangan terlalu jauh? Siap, siap.”
Pada akhirnya, Kahaq tetap duduk di akar pohon tadi, hanya saja dengan punggung menghadap Hanan. Sambil menunggu, pria itu menyulut rokok daruratnya. Si kesatria tua memang membawa pipa hisap, tapi sayangnya patah waktu dia jatuh. Jadi, Kahaq terpaksa menggunakan daun sebagai pengganti pipa. Dia tak pernah mencobanya, tapi Laon Toar pernah bilang kalau cara itu juga enak.
Setelah hisapan pertama, Kahaq memutuskan kalau temannya adalah tukang ngibul. Rokoknya sama sekali tak enak. Alih-alih, Kahaq malah terbatuk gila-gilaan hingga ingusnya keluar. Luar biasa rasanya. Bahkan Hanan yang sedang buang air saja langsung terlonjak gara-gara terkejut.
“Oh! Maaf! Ini rumput hisap terlalu lezat,” komentar Kahaq. Meski begitu, dia coba hisap sekali lagi, lalu batuk sekali lagi. “Memang lezat. Semoga Malam kutuk Laon Toar!”
UBI MASAK ITU tercium wangi dan menggiurkan. Terutama di hutan ini, di tempat di mana tak ada hewan dan tumbuhan yang masih sehat. Sayangnya, ubi itu begitu kecil dan cuma ada tiga. Besarnya tak lebih dari dua jari Kahaq, dan dia masih harus berbagai dengan Hanan.
“Nih.” Dengan berat hati, Kahaq memberi gadis itu dua buah. Hanan mengangkat kepalanya, bimbang dan terkejut. Kahaq buru-buru mengangkat bahunya. “Kau mesti cepat-cepat sembuh.”
Kahaq Tupai Hitam masih keroncongan ketika mereka melanjutkan perjalanan. Sementara itu, Perbatasan Senja paling gelap sudah tertinggal di belakang dan langit makin terang seiring jarak. Hanan berjalan dengan terpincang-pincang di belakang. Baru ketika mereka berpapasan dengan rute yang terjal dan perlu dipanjat, Kahaq menawarkan jasa untuk menggendong gadis itu.
Tanpa mereka sadari, Jalur Semut berhenti naik dan mulai melandai turun. Jika mereka mampu mempertahankan kecepatan, mereka akan sampai di desa pertama dalam dua hari lagi. Semoga saja memang begitu, pikir Kahaq. Aku sudah muak dengan bau bocah ini.
Setelah menempuh hutan-hutan mati dan wilayah kering agak lama, sesemakan mulai tampak kembali di beberapa tempat. Kahaq merasakan kalau tanah kembali menghitam oleh kelembapan dan humus. Kala bulan mulai tergelincir ke arah selatan dari puncak posisinya, langkah Hanan melambat sampai berhenti sama sekali. Napas gadis itu memburu dan kasar; wajahnya memerah; sekujur tubuh basah oleh keringat.
“Tak jauh lagi,” bujuk Kahaq, meraih pergelangan si gadis. “Ada telaga di depan.”
“Telaga?”
“Tak kelewat besar, tapi cukup untuk memberi minum kuda-kuda dan lima puluh ribu kepala manusia. Telaga Manis namanya—dulu airnya memang terasa manis, entah kalau sekarang." Mungkin pahit. Kahaq ingat kalau telaga tersebut adalah tempat yang strategis. Sungai yang mengalir ke Tu Adal bersumber dari sana. Jadi, dia bisa mencemari persediaan air Pejuang Lembah dari telaga itu.
Tak lama kemudian, mereka sampai. Hanan buru-buru menjejakkan kedua kakinya ke tanah, diam bagai patung dengan mata melotot. Dia memang sering melotot semenjak datang ke Jalur Semut. “Aku tahu tempat ini,” lirihnya.
Kahaq kaget bukan kepalang. Tangannya kontan melompat ke gagang pedang. Ingatan Khadiba kembali? Kahaq mengernyit. Mustahil!
Hanan melihat ekspresi Kahaq, dan buru-buru dia menambahkan, “Ti-tidak. Maksudku ... aku pernah mendengarnya. Ketika berperang melawan Khadiba Putri Mentari, Haqa bertahan di telaga ini. Membangun kubu-kubu pertahanan. Haqa disergap Putra Rhashad si Obor Merah, lalu kalah. Haqa mundur, tapi karena tak rela musuh menduduki posisi strategis, Haqa melempar mayat orang-orang yang tewas ke telaga itu. Darah membuat airnya jadi merah, sementara daging-daging membusuk dan mencemarinya. Itu tempat ...”
“... angker,” lanjut Kahaq, malas. “Dan kapan itu terjadi? Setengah abad yang lalu. Setengah abad! Ketika itu nenekmu saja masih perawan.”
Hanan tak menjawab, tak teryakinkan.
“Kau pernah lihat hantu semenjak kita datang ke Jalur Semut?”
Si gadis diam sejenak, lalu menggeleng dengan ragu.
“Kalau begitu berhenti bilang hantu inilah ... hantu itulah ....” Kahaq menoleh ke arah telaga. Tempat itu lebih kecil dari yang diingatnya, dengan pepohonan berdaun sedikit yang mengepung di segala sisi. Di sana-sini tampak fondasi-fondasi yang usang dan terkubur tanah, satu-satunya peninggalan pertempuran sinting itu. “Kau aman bersamaku,” ujar si Abdi Malam, tak tahu harus berkata apa lagi.
Anehnya, Hanan balik meraih tangan Kahaq. Kepala menunduk, pipi memerah; dan waktu si Abdi membimbingnya untuk maju, gadis itu tak melawan. Kahaq berhasil, tapi sebagai gantinya, dia makin bingung dengan isi kepala teman seperjalanannya itu.
Setibanya di tepi telaga yang berbatu, Kahaq melepas bot dan melipat naik ujung celananya. Air terasa sejuk dan nyaman waktu dia mencelupkan kaki, tapi waktu dia coba minum ... “Nah, masih bisa diminum,” kilah Kahaq saat mendapati rasa air yang hambar—sedikit apak, kalau boleh jujur. Sedikit. Seperti halnya yang lain, ruh telaga ini sekarat.
Kahaq meloloskan tunik lewat kepalanya dan mulai mengulur tali pengikat celana. Dia merasa teramat dekil, dengan kotoran dan daki yang hampir menutupi seluruh pori. Dia perlu mandi. Tentu; orang panggil dia Kahaq si Lidah Laknat, bukan Kahaq si Gembel. Kahaq menatap jauh ke tepi seberang, waswas. Tak ada bangkai manusia, pikirnya bingung. Ke mana perginya tulang-tulang mereka? Kalau aku tak salah ingat, aku menumpuk banyak mayat di sini—cukup banyak untuk membuat airnya limpas.
Hanan tak ikut mandi. Wajahnya merah padam waktu melihat tubuh Kahaq yang liat dan penuh bekas luka. Teramat merah sampai-sampai bintik pipinya tersamarkan. Ini bocah ngapain pula masih malu-malu. Kahaq keheranan sendiri. Macam anak gadis saja.
“Kau tak gatal apa?” Kahaq menceburkan diri ke air layaknya berang-berang. Rambutnya hitamnya jatuh menutupi kening dan alis. “Airnya segar, nih.”
Hanan kelihatan tergoda, tapi tertahan oleh rasa malu.