Kebanyakan orang menakuti para Pawang. Tak heran, sebab kebanyakan orang tak pernah punya kontak dengan sihir. Mereka tak tahu perbedaan antara satu sihir dengan sihir yang lain. Dan untuk mencari solusi aman, mereka anggap kalau semua sihir adalah citraleka, adalah ilmu Malam.
Kendati begitu, sejumlah komunitas jadi pengecualian. Lembah Adal, contohnya. Di Era Kegelapan, tempat itu dipimpin oleh dua sosok pahlawan. Yang pertama adalah Rhashad Obor Merah, seorang Putra Fajar—dari keturunannyalah syah-syah Lembah lahir. Yang kedua adalah Khadiba Putri Mentari, seorang pawang—sampai sekarang namanya masih wangi menyengat di ingatan orang-orang. Ia dicintai sebesar Lidah Laknat dibenci.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
LEMBAH ADAL berangin hari itu, meniup jubah dan mantel Kahaq hingga berkelebatan bak bendera. Hanan duduk di belakangnya, di gerobak, memunggungi si Abdi dan mengawasi dengan teliti. Pegunungan Kelopak Bawah kini berada di samping kanan mereka, di selatan, menjunjung tinggi dengan puncak-puncak putih yang kadang tertutupi kegelapan.
“Jalur Lanau tak jauh lagi,” ungkap Kahaq, mengeluarkan carikan daging asap dan melahapnya, lalu menyodorkannya pada Hanan lewat pundak. Ekor kuda bajak berayun-ayun di depan, menghela gerobak yang dia tumpangi dengan lambat tapi mantap. Roda kayu berderak dan bergetar kala melindas jalanan yang tak rata. “Apa kau masih ingat perannya? Aku adalah Yashan, pedagang kulit. Ingin pergi ke Nu Sarba buat menjual barangku.”
Hanan menjawab sambil mengunyah. “Aku ... aku adalah Faisah, istri Yashan. Pencemburu. Aku ikut bersamamu karena takut kau hendak selingkuh dengan perempuan lain di perjalanan.”
“Jangan coba-coba jadi orang lain. Kau bakal langsung ketahuan. Jadi saja diri sendiri." Gadis pemalu, mudah tersipu, dan jarang bicara. "Sembunyi di balik jubahku kalau ada orang yang mendesakmu.”
Hanan tak menjawab, tapi Kahaq merasakan gadis itu bersandar ke punggungnya. Hangat tubuh menyerap melewati pakaian. “Tu Adal adalah satu-satunya tempat yang tak pernah disentuh Sang Malam.” Kahaq berdiri, menerawang jauh ke depan. “Tempat ini terlindung oleh barisan penggunungan dari segala arah dan cuma ada dua jalan keluar: Jalur Semut dan Jalur Lanau. Kalau sampai ada yang tahu kalau seorang Abdi datang bertamasya di lembah ini, maka habislah kita.” Kalau sampai ada yang tahu kalau Lidah Laknat datang bertamasya ke sini, maka habislah kita seribu kali.
Nama Kahaq senantiasa ditakuti di Nar Arath, tapi Tu Adal merupakan pengecualian. Di sini, Kahaq tak ditakuti, melainkan dibenci. Amat dibenci.
“Aku tahu,” timpal Hanan. “Aku dengar juru dongeng cerita. Para Abdi pernah menyerang Lembah Adal. Berkali-kali. Dengan banyak cara dan arah: lewat Jalur Semut dan Jalur Lanau, penyerbuan, penyusupan, perundingan, mendaki pegunungan, bahkan sempat juga melubangi gunung ....”
“Yang itu omong kosong,” potong Kahaq, mengernyit. “Kami tak pernah melubangi pegunungan mana pun. Jangan kelewat percaya omongan juru dongeng, penyair, atau ibu susumu.”
Kahaq duduk kembali, menatap langit. Memang cerah kala itu. Tak ada barang secarik awan pun yang melayang di atas kepala. Tapi jauh di utara, gumpalan hitam tebal tampak menumpuk, bergerak terbawa angin ke arah Kahaq berada. Tak lama lagi hujan akan turun, dan Jalur Lanau sama sekali bukan rute yang ramah ketika basah.
Beberapa hari terlewat semenjak mereka lari dari si Jagawana. Kahaq dan Hanan menjatuhkan diri ke air terjun, dan meskipun tak mendapatkan luka apa-apa, Hanan hilang kesadaran. Kahaq berenang sambil menyeret gadis itu, hampir tenggelam dan terbawa arus, tapi untungnya berhasil menepi. Seorang pedagang kulit menemukan mereka dan memberi mereka makan. Dan Kahaq membunuhnya.
Hanan tak berhenti menangis ketika itu. Dia juga tak berhenti ketakutan. Entah bagaimana, tampaknya si gadis lupa kalau Kahaq itu pada dasarnya adalah pembunuh. Bukan pembunuh tanpa alasan, tapi tetap saja pembunuh.
Pria itu melihat lukaku. Antara dia melaporkanku pada Pejuang Lembah dan membunuhku atau aku membunuhnya duluan.
Kahaq ingin melempar mayat si pedagang ke hutan, membiarkannya dicabik anjing liar dan gagak dan cacing. Tapi Hanan—masih sambil menangis, lengkap dengan ingus dan ludah bergelayutan—memohon untuk setidaknya menguburkan jenazah si pedagang dengan layak. Sama sekali bukan pilihan yang masuk akal. Bagaimana kalau bangkainya sampai ditemukan? Setidaknya orang bisa kira dia mati diserang hewan andai mayatnya bekas dimakan.
Sayang Kahaq tak bisa berlaku lebih kejam di hadapan Hanan. Dia mesti membawanya ke Anqi Thoqia. Dia mesti jadi pria baik supaya gadis itu mau ikut dengan suka rela. Jadi, Kahaq pun menggali kuburan untuk si pedagang kulit, lalu menyita gerobak serta kuda bajaknya.
Kahaq menatap waspada ke sekeliling. Jalanan yang tadinya dikurung oleh hutan di kedua sisi kini memasuki daerah terbuka berumput. Pertigaan tampak di depan: satu memanjang ke timur, ke Jalur Lanau; satu ke utara, ke Dal Tolihin. Sebuah patung, tiga kali tinggi pria dewasa jangkungnya, dibangun di tengah-tengah persimpangan itu. Terdengar suara Hanan yang bergerak rusuh, berdecak kagum.
“Siapa?” tanya gadis itu.
Kahaq berhenti tepat di kaki patung, menatap hasil pahatan tersebut dengan tak tertarik. Seorang perempuan muda, berambut sepinggang dan mengenakan jubah panjang. Tangan kirinya terangkat, telapak menghadap ke timur; tangan kanan di dada, memegang tongkat berukir. Lumut dan tanaman rambat tampak di beberapa tempat, mencampuri warna abu batu dengan hijau tua.
“Aku belum pernah melihat dia ketika masih muda, tapi aku kenal dengan tongkatnya. Dia pukul bokongku dengan itu sampai terbakar ketika aku hendak mengajukan negosiasi," kenang Kahaq. “Itu dirimu.”
Hanan menoleh, tampak bingung. “Aku?”
“Dirimu di kehidupan sebelumnya.”
Gadis itu sempat bingung. Dia cuma seorang bocah miskin, keturunan rakyat rendah, serta bekerja sebagai pelacur. Setelah mandi dan memakai kemeja cokelat serta rok bekas yang Kahaq beli desa sebelumnya, dia jadi kelihatan manis. Tapi sebelum ini, Hanan hanya mengenakan tunik kebesaran, dengan rambut lengket, wajah kotor, dan tubuh berbau tahi kuda. Pantas dia sulit menerima kenyataan kalau di kehidupan sebelumnya, dia adalah seorang pahlawan yang berhasil menghadang seorang Jenderal Tinggi Sang Malam.
“Khadiba Putri Mentari?” tanya Hanan, tapi kelihatannya dia tak butuh jawaban. “Dia ... dia cantik.”
Kahaq tertawa dingin. “Waktu aku bertempur dengannya, Putri Mentari sudah jadi nenek-nenek. Wanita bengal, dia itu. Sama sekali tak ada lucu-lucunya.”
Hanan tergelak. “Dia cantik .... Benarkah aku ini titisannya?”
"Jelas. Kau bisa mengendalikan roh cahaya. Kalian berdua ini titisan dari Safia yang Berpijar, salah satu dari Kaum Sebelas." Kahaq melompat turun dari pedati, menatap jejak-jejak yang ada di jalan. "Raga fana berubah ditiap kelahiran, tapi roh itu kekal. Kapan pertama kali kau menyadari kemampuanmu?" Ada banyak jejak kuda, roda, dan kaki manusia di tanah. Alis Kahaq berkedut.
“Waktu aku tujuh tahun.” Jawaban Hanan terdengar ragu-ragu. “Aku selalu kira kemampuanku itu sihir hitam. Ayahku ... ayahku tak ingin aku menggunakannya. Dia bilang itu dosa.”
"Tipikal mitos rakyat jelata. Mereka tak bisa membedakan antara sihir Pawang dengan citraleka." Kahaq menggeleng. "Tapi walau tak ada itu, kaum Pawang memang punya komunitas pembenci. Para imam, misalnya. Utamanya yang datang dari mazhab Ortodoks. Mereka adalah musuh kalian dalam Perang Delapan Negeri."
Hanan diam sejenak. "Haqa ... Haqa waktu itu memanggil Rimbawan dengan sebutan ... Pengkhianat Malam? Mengapa?"
"Tahu soal Delapan Dewa Lama?"
"Tahu," timpal si gadis. "Delapan anak Arash yang menciptakan kaum Tujuh Belas Pertama? Ibuku pernah bercerita soal Fuharil, pencipta Ruhya dan Sofya. Dari pasangan itu orang Ruhian lahir."
"Manusia tak selalu akur dengan pencipta mereka, Hanan," timpal Kahaq. "Dan para dewa tak pernah akur dengan sesamanya. Jarang ada tahun-tahun damai. Muak dengan itu, Kaum Sebelas datang ke hadapan Sang Malam, meminta bantuan untuk membunuh para dewa. Tuanku membunuh mereka, dan Dia mengangkat kalian menjadi Panglima Tinggi-Nya, berdampingan dengan para Panglima Adikara. Tapi kemudian si licik Sha'adin muncul, menghasut dan menyuap para Pawang untuk berkhianat. Pada pengkhianatan itulah untuk pertama kalinya Sang Malam dapat dilukai dan mundur."
Kahaq menoleh, mendapati Hanan yang melongo. Mulutnya terbuka tutup, matanya melotot tak percaya. “Aku ... aku ...,” si gadis tergagap, “aku .... Benarkah itu? Entah kenapa ....”
"Beda dengan yang kau dengar dari para imam?" Kahaq tertawa sinis. "Hati-hati dengan mulut mereka, asal tahu saja. Mungkin Sang Pencerah"—Kahaq meludah darah—"adalah Tuhan sejati, dan Seribu Satu Sabda membawa kebenaran, tapi para imam itu manusia. Lebih parahnya, mereka adalah manusia yang berkuasa. Selalu ada campuran aduk politik dalam dakwah penguasa."
Kahaq berlari ke arah pedati dan melompat naik, kembali memacu kudanya, berbelok ke utara. Hanan pasang wajah bingung. “Ada jejak pasukan, pergi ke Jalur Lanau,” jelas Kahaq, menunjuk ke cetakan-cetakan kaki dan roda di tanah. “Ada kemungkinan kita sudah ketahuan, atau para pelaut asing itu mulai bergerak ke mari, atau sesuatu telah terjadi selama aku pergi—tak pasti. Yang jelas, lebih baik kita cari informasi dulu.”
Mereka mulai memasuki perkebunan dan ladang-ladang yang baru ditanam. Pemandangan menghampar, dengan bukit-bukit kecil di beberapa tempat, sungai-sungai, serta pegunungan sebagai latar belakangnya. Pilar Langit menjulang tinggi di tengah lembah, cahaya Obor Surya-nya meremang kala tertutup awan gelap yang menggulung mendekat.
Jalan terpotong oleh sungai kecil yang mengalir dari timur laut ke barat. Kahaq melompat turun, memeriksa kondisi arungan: dangkal dan berarus lemah, namun juga penuh lumpur dan berdasar lunak. Tak mau ambil risiko pedati terperosok, Kahaq meminta Hanan turun dan menyeberang duluan.
Kahaq menuntun si kuda bajak yang lebar dan kekar, perlahan-lahan, memastikan pijakan roda pedati kuat dan stabil. Dia tengah memanjat ke tepian ketika tiba-tiba saja kudanya terperosok, mendompak, lalu menyentak maju. Kahaq mengumpat, bersumpah serapah karena kakinya pun ikut terperosok. Kuda kembali maju, tapi sayang, salah satu roda pedati menginjak tanah lunak yang lain, tenggelam sampai ke as.
Hujan turun. Deras dan rapat. Di tengah-tengah hujaman air yang menyakitkan, Hanan turut membantu Kahaq untuk mengangkat gerobak. Mereka berhasil, sebelum satu hasta kemudian, roda kembali terbenam, kali ini keduanya. Setelah beberapa menit usaha yang disertai hinaan-hinaan kotor, pedati berhasil lolos ... cuma untuk—lagi-lagi—kembali terbenam.
Kahaq menendang roda, berjingkrak-jingkrak karena kesakitan, terpeleset, lalu jatuh dengan wajah terlebih dahulu. Tubuhnya setengah terbenam di tanah becek. “Kita ... kita tak bisa lanjut,” ungkap Hanan, takut-takut. “Jalanannya terlalu becek.”
Kahaq mengangkat wajahnya yang belepot tanah, hampir sulit dikenali. “Nah.” Dia tak punya cukup semangat lagi untuk marah. “Cerdas sekali dirimu. Mari kita cari rumah buat menginap.”