Ketika Min Thalaq jatuh ke tangan Sogül, Nar Arath didera situasi genting yang belum pernah dialami lagi semenjak Jihad Akbar. Haqa Saddan tewas, dan dia membawa serta seluruh prajurit kerajaan bersamanya. Kami teramat rentan dan lemah saat itu.
Sebagai benteng yang paling dekat dengan Min Thalaq, Shaer menjadi target serangan Sogül selanjutnya. Penguasanya, Syah Ishfaq al'Basim, kebakaran jenggot. Dia memohon pada ibuku untuk mengirimkan bantuan: pasukan, perbekalan, senjata, emas, apa pun. Ibuku mengabulkannya dan mengirimkan Haqa Yahir.
Dikatakan kalau Haqa Yahir ditertawakan kala datang ke aula Shaer: seorang bocah usia tiga belas dengan baju compang-camping, kuda kurus, panji gagak mematuk mata di panggulan. Dia dihina para kesatria, ditertawakan para wanita, digunjingkan para jelata.
Syah Ishfaq putus harapan. Dia menarik semua prajuritnya ke benteng, meninggalkan Lembah Sala Balah untuk dijarah dan dibakar. Haqa Yahir, entah dengan berani atau nekat, malah berbuat sebaliknya dengan pergi ke garis depan, mengumpulkan para nelayan dan memberi mereka arahan, keberanian, serta pimpinan. Sialnya, mereka menang. Semenjak itu Syah Ishfaq menganggap Haqa Yahir sebagai putranya sendiri, dan memberinya kekuasaan di Su Aqthi sebagai pelindung perbatasan.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
ELYAS AT'TIRSA'I mengusap mulutnya yang terasa kering, terlalu lama diterpa angin. Layar Sarah menggembung-gembung dan berkelebatan dengan kasar, mendorong kapal itu menyusuri Sungai Sala Balah. Cuma kapal nelayan, memang. Kecil dengan satu geladak dan tanpa kabin. Meski begitu, dibantu arus dan angin dan kosongnya kargo, kapal mampu melesat dengan cepat. Sang Pencerah tahu Elyas butuh kecepatan.
Tepi utara dari sungai teramat jauh, hampir tak nampak. Sementara itu, sisi selatan lebih dekat. Elyas bisa melihat hutan-hutan dari tempatnya berdiri di pinggir kapal, juga sungai-sungai kecil, ladang-ladang, serta desa-desa nelayan. Air Sala Balah mengalir tenang tak jauh di bawahnya, jernih dan beriak memantulkan cahaya dari Obor-Obor Surya terdekat. Elyas menjulurkan tangannya, menyentuh permukaan sungai dan merasakan pergerakan. Dia dibawa ke Ambar Thal ketika umurnya baru tujuh tahun, tapi dia ingat soal armada perang kecil milik ayahnya di Tar Sharba. Elyas sering menaikinya setiap ada kesempatan, entah itu secara terbuka atau sembunyi-sembunyi.
“Kau sering naik kapal, Putra Elyas?” tanya Hadi, setengah tersenyum. Tampaknya dia juga menikmati angin yang berhembus selaras dengan arus sungai ini. Setiap orang yang banyak menghabiskan hidupnya di atas kapal pasti akan suka. “Kukira orang ibu kota bakal langsung muntah.”
Elyas balas tersenyum, masih malu-malu. Putra Elyas, ulangnya dalam batin, masih tak nyaman dengan gelar tersebut. “Ayahku menjabat sebagai syah Tar Sharba ... tidak, maaf. Maksudku, mantan syah Tar Sharba—kini yang jadi syah adalah kakak sulungku.”
Putra Hadi mengangkat alis kanannya. Dia adalah seorang pria berusia tiga puluhan, dengan wajah persegi dan mata tajam. Berambut pendek dengan cambang lebat, namun tak berkumis dan berjanggut. Di dada tuniknya yang cokelat sederhana, tersulam simbol dua belut yang saling lilit, berdampingan dengan simbol ordo Putra Fajar. “Tar Sharba masih punya armada perang?”
“Aslinya? Uh ... aku kira ... tidak bisa dibilang begitu. Cuma ada tiga kapal yang tersisa. Ta-tak bisa disebut armada. Laut lepas tidak aman semenjak Malam Panjang datang. Tapi ... um ... aku selalu ikut setiap kali ada pelayaran. Aku ... aku suka kapal.”
“Aku tak pernah berlayar di lautan. Apa ini pelayaran sungai pertamamu?”
Elyas menggeleng. “Sekali ... kami, kami pernah mengarungi Sungai Air Nanah. Kami dengar Arungan Binasa sedang meluap ketika itu, jadi ayahku putuskan untuk pergi ke Menara Nadir dengan kapal. Sebenarnya ... bukan perjalanan yang menangkan. Tidak.” Dia menggeleng-geleng. “Airnya. Air sungai itu berasal dari Rawa Berkabut. Air terkutuk. Baunya mirip bangkai. Berlendir dan semu putih keruh. Katanya, al’Tudah—Nanah—dibuat di rawa-rawa itu dan buat lingkungannya tercemar.”
“Aku tak pernah suka pedang itu.” Hadi meringis lemah. “Tiap kali Yahir mencabutnya, bulu kudukku selalu merinding. Tak bisa bilang apa-apa, tapinya. Cuma itu satu-satunya benda yang ditinggalkan ibunya buat dia. Nanah. Dicabut sendiri dari betis Raja Zahir sehabis pertempuran melawan Lidah Laknat.” Mendadak, pria itu berdiri, menyeringai lebar, dan menunjuk ke tepi sungai di selatan. “Kita sampai. Su Aqthi!”
Elyas menoleh ke arah yang ditunjuk si Putra Fajar senior, pada sebentuk bukit berpuncak benteng kecil dengan menara pendek. Pilar Langit dibangun di sana, menjulang tinggi, menembus awan-awan dan mengobarkan Obor Surya dengan terangnya. Su Aqthi, benteng milik Yahir as’Shakhar yang dibangun oleh tangannya sendiri dalam pengasingan. Salah satu dari sedikit kubu yang membatasi Malam Panjang dan Nar Arath.
“Ya. Kita sampai,” ulang Elyas. Sudah lebih dari satu hastawara semenjak dia dinobatkan sebagai Putra Fajar oleh Putri—Ratu—Safia, dan segera dia bertolak dari Ambar Thal. Dia memulai perjalanan dengan berkuda menyusuri Jalan Barat, dan tatkala sampai di Pelabuhan Kepala Belut, berita buruk sudah menyambut telinganya.
Seorang Abdi Malam, kata pedagang yang datang dari Qrak, datang ke kota itu buat melacur. Dia digerebek dan kabur sambil telanjang, tapi sayangnya tak berhasil ditangkap. Sekarang pengurus benteng Qrak sedang mengerahkan pencarian terhadapnya, ingin buru-buru menutupi kesalahannya sebelum Syah Zubair pulang dari Ambar Thal. Si Abdi sudah menodai harga diri sang syah dengan melenggang masuk, menyewa pelacur, dan pergi tanpa tergores. Syah Zubair pasti murka besar andai tahu hal ini. Yang jadi pertanyaan, kenapa juga seorang Abdi datang jauh-jauh ke Qrak? Elyas coba menanyakannya, tapi semua orang menjawabnya dengan gelengan atau angkatan bahu.
Dengan menumpang perahu seorang pedagang, Elyas pergi ke Shaer dan bertemu dengan Syah Ishfaq al’Basim. Elyas sudah sering mendengar soal pria berumur enam tujuh itu, tapi belum pernah sekali pun melihatnya. Dialah orang yang mengasuh Yahir dalam pengasingan, memberinya secuil lahan di pinggir Sungai Sala Balah, dan memberinya izin untuk mendirikan benteng. Elyas meminta keramahan sang syah dan istirahat sejenak, tidur di kasur yang pantas dan mandi dengan bersih.