Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #18

Tupai Hitam


Ketika Lidah Laknat mengepung Lembah Adal dari Jalur Semut dan Jalur Lanau, dia kira semua jalan keluar sudah tertutup. Dia kira dia telah melumpuhkan Pejuang Lembah dengan membunuh dua pimpinan mereka. Dia kira punggungnya bakal aman sementara dia menghadapi al'Nukhar. Dia tentunya langsung sadar kalau dirinya salah ketika putra Obor Merah muncul dan mengetuk pintu gerbang Min Thalaq. Dan dia tidak sendirian.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

 

SEHABIS MENDAKI bukit kecil, Dal Tolihin akhirnya terlihat, tak lebih dari sejam perjalanan lagi jauhnya. Kahaq menarik tali kekang kuda, memberhentikan gerobaknya di puncak. Mata Hanan terbuka lebar, terkejut dan penuh semangat. Rona muncul di pipinya.

“Selama bertahun-tahun, aku berusaha untuk meratakan kota benteng yang satu itu.” Kahaq menyandarkan diri dan mengambil pipa rokoknya. Di ufuk selatan, separuh wujud bulan masih mengintip, jadi mau tak mau dia mesti menunggu andai tak ingin menarik perhatian. Saudara Sesabda tabu untuk berkeliaran kala Mata Malam masih melihat. “Tak pernah terpikir aku akan kabur ke sana.”

“Aku ... aku sering mendengar soal Dal Tolihin, tapi tak aku kira bakal ....” Hanan mangap-mangap, kesulitan mencari kosakata yang tepat.

“Untuk pertahanan, Min Thalaq jelas lebih unggul,” cerca si Abdi, meremehkan. Asap biru mengepul dari celah mulut serta mangkuk pipanya. “Untuk kemegahan ... kau mesti lihat Ash Valon setelah kami menghancurkan al’Habbis dan membangunnya kembali. Ada satu menaranya yang teramat tinggi—Pencakar Langit, kami menyebutnya. Dari sana, kau bisa melihat sejauh puluhan hari perjalanan ke sekeliling ....” Kata-kata Kahaq lenyap bersama angin. Rupanya Hanan terlalu terpukau untuk bisa mendengarkan.

“Haqa, itu apa?” Si gadis menunjuk layaknya seorang bocah cerewet yang bertanya pada ayahnya. “Itu!”

“Mana?”

“Dua bangunan yang di sisi kanan-kiri gerbang.”

Dengan enggan, Kahaq mengambil sudut pandang yang lebih baik, menatap seksama Dal Tolihin. Kota itu dibangun di kaki gunung yang berupa bongkahan raksasa batu kapur. Tembok pertahanannya melengkung dari barat sampai timur, zig-zag, membentuk setengah lingkaran bergerigi—mirip bintang sudut banyak. Tingginya mencapai lima depa, diselingi oleh menara-menara bulat gemuk. Di belakangnya, sebuah tebing cadas menjulang tinggi. Garis putih membelah dinding raksasa itu, berkilau dan bergerak samar. Air Terjun al’Katsar.

Pasokan air tak hingga dan tembok pertahanan bergerigi. Kahaq meringis sendiri. Benteng ini memang sulit diserbu, dan pengepungan bakal makan waktu sampai menahun.

Kendati aman dan kokoh, Lembah Adal bukanlah tempat dengan penduduk melimpah. Gerbang Dal Tolihin yang hanya berjumlah dua menjadi bukti kalau kota tersebut tak terlalu padat—mereka tak membutuhkan jalur akses besar. Jalan yang kini Kahaq pijak menuruni bukit dan mengular ke gerbang paling depan. Gerbang yang menghadap ke tenggara. Gerbang dengan dua patung raksasa yang mengapitnya.

Kahaq mengerutkan kening dengan jengkel. “Masih pula kau tanya-tanya. Itu dirimu.”

Hanan melirik dengan kaku. Mata makin melotot. “Diriku?”

“Jangan pasang wajah beloon begitu. Kita sudah lihat yang macam ini di pertigaan belakang.”

“Ta-tapi ... itu ....”

“‘Lebih kecil’? Aku kira memang begitu.” Patung di depan sana masih berupa seorang perempuan muda, berambut sepinggang dan mengenakan jubah panjang. Tangan kirinya terangkat, telapak menghadap ke timur; tangan kanan di dada, memegang tongkat berukir. Yang jadi pembeda antara patung di persimpangan dan patung di sini adalah ... tak ada lumut dan tanaman rambat di patung ini. Juga, ukurannya sulit untuk dibandingkan lagi. Kepala Khadiba sendiri sampai menjulang tinggi melewati tembok pertahanan, bersama bahu dan dadanya. “Jauh lebih kecil.”

“Siapa yang membuatnya?”

“Entah; tapi orang Tu Adal memang terkenal karena pengukir batunya.” Tak banyak hal lagi selain batu di sini, soalnya.

"Memang mungkin? Membuat patung sebesar itu?"

Kahaq mencium bau-bau sihir. Mungkin citraleka, mungkin sihir pandit Dewa Lama, atau mungkin bukan bau sihir sama sekali melainkan bau ketiaknya. "Malam, Hanan. Apa itu penting?"

“Apa itu Rhashad Obor Merah?”

Di sisi kiri gerbang, saling hadap dengan Khadiba, sesosok patung lain berdiri. Kali ini seorang pria dewasa, dengan kumis dan janggut selebat semak. Di balik jubahnya, dia mengenakan zirah plat dan rantai yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Helm kubah kerucut terpasang di kepalanya, diikat dengan serban dan berpuncak rumbai-rumbai. Pedang teracung di tangannya, menantang ke arah timur—ke arah Anqi Thoqia, tempat Dvanticar berdiri.

“Iya. Itu Rhashad, pimpinan pemberontak Tu Adal.” Bulan nyaris tenggelam. Kahaq melecut kuda bebannya kembali, bergerak pelan menuruni bukit. “Anak pertamanya, Fatia—Fatia si Jelita, bukan Fatia ibu Yahir—menikah dengan al’Nukhar. Dari sana, lahirlah Raja Zahir kita yang penyakitan. Sementara itu, anak keduanya—Mazhar—meneruskan kepemimpinan di Lembah. Keturunan-keturunannya kemudian menjadi Syah Tu Adal. Murad, penguasa yang sekarang, adalah cucu Obor Merah.”

“Haqa pernah melihat wajahnya secara langsung?”

Lihat selengkapnya