Perihal Putra-Putri Laut, mereka mengadopsi sistem militer semi-modern yang mencampurkan prajurit tetap berpangkat dengan pimpinan bangsawan dalam kesatuan armada. Dimulai dari lurah prajurit, bekel, senopati, dan dikepalai seorang rakeyan tumenggung yang diwakili oleh rakeyan rangga. Di puncak hierarki ada gusti sri prabu, raja mereka.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
“SUDAH KUBILANG, bukan? Diam saja di Simpang Tilu dan hibur para prajurit,” gerutu Galuh, melempar sepotong kayu ke api. “Ini tak bakal jadi perburuan yang menyenangkan, Pak Dalang.”
Angkur merapatkan sarungnya dan menatap sipit si lurah prajurit dengan jengkel. “Memang tak bakal menyenangkan,” balas si dalang. “Setiap dongeng kepahlawanan memang seru buat didengar, tapi tidak pernah asyik buat dilakoni. Macam itulah.”
Galuh bergumam tak jelas dan menatap ke langit tak berbulan, yang hitam pekat warnanya, tak berbintang. Selain api unggun, satu-satunya cahaya datang dari kebakaran hutan di sebelah utara yang berupa semburat merah samar. Angin yang datang berhembus dari timur dingin dan menggigit, membuat Angkur menggigil sampai ke tulang. “Dingin keparat,” umpat si dalang.
Di sekelilingnya, dua belas pria lain duduk bersila, sama-sama kedinginan dan sama-sama berebut tempat dekat api. Keris yang terselip di pinggang mereka sederhana dan membosankan, memiliki ukiran tapi tanpa hiasan. Keris adalah simbol derajat seorang pria, dan dapat dilihat kalau dua belas pria ini hanya prajurit rendahan.
“Memang dingin. Harusnya dingin. Sang Surya tak memberkati negeri ini. Tapi ....” Bibir Galuh mengerut, menampakkan ekspresi tak suka. “Ketika bulan muncul, udara menjadi hangat. Itu tidak normal. Itu melawan alam. Negeri ini tak beres.”
“Mereka bilang daratan terang di arah hulu sungai besar.” Timpal Baléng, pemuda bertubuh besar bak kerbau dan destar berpola awan merah—batik Jala Layung. “Radén Menggung mengirim beberapa kapal pengintai ke sana. Makin barat makin terang. Mereka mendirikan obor raksasa yang menjulang ke langit.”
“Kapan Radén Menggung berencana bergerak ke barat? Tak ada lagi yang bisa kita lakukan di tempat busuk ini.” Angkur menoleh ke belakang, pada hutan dan pepohonan yang mengelilinginya. “Hutan ini punya kuncen.”
“Bukan Radén Menggung yang pegang kuasa, Pak Dalang," timpal Galuh. "Tapi Gusti Prabu. Kita di sini cuma buat mampir, menjelajah sedikit, meraba-raba wilayah. Lagi pula, kalau meringkus gadis keparat itu saja tak becus, manalah mungkin kita menumpas bala tentara negeri ini.”
Angkur tak pernah melihat si “gadis keparat” ini, tapi dia mendengarnya. Tentu saja dia mendengarnya—hampir semua orang membicarakannya. Empat hari yang lalu, segerombolan serigala datang menyerang gerbang barat Simpang Tilu. Di tengah-tengah kekacauan itu, si gadis menyelinap, memanjat menara tempat Radén Alitdaksa berada dan menyerangnya. Dia berhasil kabur dengan melompat ke sungai.