Gembala-prajurit pada umumnya tak mengenal ikatan aliansi kecuali lewat darah dan pernikahan. Jadi, sebuah suku bisa disebut juga sebagai sebuah keluarga dengan anggota yang luar biasa besar. Kalangan atas mereka diisi oleh bangsawan padang yang menggembala kuda, sementara kalangan bawah diisi oleh gembala-gembala kambing. Kendati begitu, ada pengecualian di sini.
Federasi Muhtaqdai tidak beranggotakan sanak saudara sedarah, melainkan campuran dari berbagai suku yang asing satu sama lain. Mereka juga mengadopsi sistem militer modern yang hampir serupa dengan Abdi Malam, membagi prajurit ke dalam kesatuan hierarkis dengan pemimpin yang dipilih secara voting. (Voting! Bahkan Perpustakaan Putih pun tidak melakukan itu!) Kesatuan terkecil adalah arban (sepuluh), lalu zuun (seratus), mingghan (seribu), dan terakhir tumen (sepuluh ribu). Setelah Baatar Mata Juling diasingkan, federasi dibubarkan dan kebesaran Muhtaqdai menyusut sampai hanya beranggotakan lima puluh orang. Akan tetapi, semua ini seketika berubah ketika Mata Juling memegang al'Zulkar.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar
ROMBONGAN SEDANG BERISTIRAHAT ketika sesuatu muncul dari timur. Padang Sunyi begitu datar dan luas sehingga segala hal akan kelihatan duluan sebelum datang. Apa itu yang mendekati mereka? Pelan-pelan, titik kecil itu membesar, menampakkan sesosok penunggang kuda yang sedang terburu-buru.
Baatar Mata Juling duduk berselonjor dekat api pengusir lalat; tangan kanan memegang marmot panggang, tangan kiri menggerayang bokong perempuan. Torjit cuma bisa memicing jengkel dengan kelakuan orang tua bejat yang satu ini. “Woi. Itelchü datang, noh.”
“Itelchü?—elang?” tanya Baatar, kebingungan. Tangannya masih kelayapan dengan genit, membuat gadis muda di sampingnya tersipu. “Aku gak berburu pake elang. Aku selalu pake panah sama kedua tanganku. Jadi, punya situ, kah?”
"Bukan itelchü hewan, ampas! Itu nama anak buahmu yang situ suruh ngintai duluan ke depan!"
Si orang tua menoleh pada rekan pendeknya lamat-lamat, layaknya putaran roda yang belum diberi minyak. Untuk sesaat, kerut di wajahnya bilang, “Kapan juga aku kasih perintah begitu?” Tapi tatkala dia buka mulut, matanya melotot, ingat. “Ah! Itelchü! Itelchü Mata Juling!”
“Jidatmu!” bentak Torjit. “Bukan, koplak! Itelchü Mata Pisau.”
“Beda sedikit pun. Kenapa kau ini kerjanya marah-marah melulu?” Baatar pasang ekspresi protes membalas wajah masam temannya, kemudian tersenyum lagi ketika menghadap si gadis. “Kau pergilah dulu ke ayahmu. Oh, tapi jangan segan buat datang lagi kalo lagi senggang.”
Gadis itu mengecup Baatar di kening, bangkit sambil nyengir nakal, sebelum akhirnya kabur. Si pak tua menggeleng-gelengkan kepala dengan hikmat. “Jadi pahlawan emang yahud,” ujarnya. “Cuma gegara ini pedang rongsok,” Baatar menepuk al’Zulkar yang tersarung di pinggang, “seluruh wanita ngejerit waktu aku lewat. Luar biasa. Luar biasa!”