Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #21

Ajirai


Federasi Muhtaqdai awalnya hanyalah berupa sekumpulan suku kecil yang dipimpin Torjit Yak Putih. Ketika tongkat komando diserahkan pada saudara sumpahnya, Baatar Mata Juling, barulah Muhtaqdai memulai agresinya pada suku-suku lain. Kemenangan demi kemenangan terus begulir, yang pada akhirnya membuat mereka menguasai seluruh Padang Sunyi bagian selatan. Mereka bahkan pernah menyerang Perpustakaan Putih dan nyaris menaklukkannya.

Mahaguru Mi'er—cendekia yang dikirim Perpustakaan Putih untuk menjadi pengajarku—berkata kalau pemimpin baru Muhtaqdai tidak berprilaku serupa gembala. Dia tahu seni pengepungan, piawai dalam manuver politik, serta tak segan untuk berinovasi.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

 

AJIRAI SUKU JAABAK meminum susu kudanya sambil menunggang, menghindari gerombolan lalat-lalat keparat yang mengganggu. Baru sejam yang lalu ketika dia menemukan sepetak padang botak, bekas para ternak merumput. Dia sudah tak jauh lagi dari perkemahan suku Borjig.

Ajirai langsung tahu kalau dia sudah sampai. Dia melihat sebuah bukit yang menjulang landai di sebelah selatan perkemahan. Ada bangunan yang berdiri di puncaknya, terbuat dari tumpukan tanah, tulang, dan batu-batu serupa kerucut—pasti Kuil Gembala Agung. Sekarang jelas kalau mereka yang tinggal dalam ger-ger di kaki bukit adalah suku Borjig. Tak banyak orang di Era Fajar yang masih menganut kepercayaan kuno.

Dari arah perkemahan, seorang penunggang kuda datang untuk menyambutnya—kalau wajah masam itu memang bisa digunakan untuk menyambut. Begitu jarak mereka tak jauh lagi, baik Ajirai dan pria itu memelankan tunggangan mereka sampai mereka berhenti dan saling berdampingan.

“Salam, saudaraku,” Ajirai menyapa. Ujung jemari menyentuh kening. “Semoga Sang Pencerah terangi jalanmu.”

Si pria penyambut hanya balas mengangguk tanpa menjawab salam, lalu menatap sinis ke arah panji-panji yang diusung Ajirai—dua helai kulit anjing putih yang dipotong segitiga. “Sama siapa aku berhadapan?” Seketika, lalat-lalat pengganggu berdatangan dan bergumul di udara.

Jelas dia tau aku, padahal pikir Ajirai getir. “Ajirai suku Jaabak. Datang atas perintah Chaka-qai, Gembala Pertama dari suku Jaabak, suku-suku keturunannya, serta suku yang bersumpah padanya. Pertemukan aku sama Yeke-qai.”

Si pria penyambut membersut, menepis lalat-lalat, lalu memutar tunggangannya. “Ikut sini.”

Untuk sesaat, Ajirai kembali bebas dari lalat. Dia berkuda tepat di belakang si pria masam meskipun kuda Ajirai—Ebügen-qai—jelas mampu melampauinya. Ketika sampai di perkemahan, keramaian mulai mengisi keheningan Pandang Sunyi. Anak-anak bermain, ibu-ibu mengaduk susu, pemuda mengatur ternak. Dari setiap puncak ger yang berlubang, asap membumbung tinggi, mengusir lalat-lalat yang coba memasuki perlindungan terakhir manusia.

Si pria penyambut mengantar Ajirai ke ger utama yang tinggi dan cerah. Tampak di ambang atas pintunya sehelai khatakh, melambai-lambai dengan lesu tanpa angin yang meniupnya. “Yeke-qai di dalam,” pria penyambut mengumumkan, lalu mengulurkan tangan, meminta tali kekang Ajirai. “Biar aku yang pegang kuda situ.”

“Jangan. Gak usah.” Ajirai melompat turun dari pelana, pengusap kepala kudanya, lalu membiarkannya begitu saja. “Biarin dia bebas. Yang satu 'ni bukan ternak.”

Mulanya si pria masam pasang wajah terkejut, lalu ragu, menatap sang kuda dari samping. Ebügen-qai mendengus, membuat kuda di sampingnya terdiam dan menunduk hormat. Baru setelah itu, si pria masam percaya. Dengan hikmat, Ebügen-qai memutar badannya dan melenggang ke arah padang rumput yang menghampar sejauh mata memandang.

Udara di dalam ger utama berbau asap dan daging yang dibakar. Seorang perempuan tua sibuk menenun dekat dinding tenda. Di kakinya, bergelantungan seorang gadis cilik, tak lebih dari lima tahun umurnya. Tengah tenda, seorang pria beruban duduk di kursi kayu. Kotoran kuda kering ditambahkan ke pendiangan, memberi makan api yang mulai mengecil.

Ajirai diam di ambang pintu, menunggu sampai pemilik ger menyadari keberadaannya. “Ebügen-qai baik-baik aja, Ajirai?” Yeke menyapa tanpa menolehkan mata dari api.

“Dia lahir di masa Tujuh Belas Pertama, melewatinya zaman demi zaman, perang demi perang, penunggang demi penunggang. Tentu dia baik-baik aja.”

“Tujuh Belas Pertama ... enam belas manusia dan satu kuda yang pertama kali diciptakan buat huni Delapan Mata Angin.” Yeke mengayunkan tangannya, tanda kalau dia menerima posisi tamu Ajirai dan menawarkan perapiannya. “Dua di antaranya adalah Butanchar dan Hoelun, pasangan yang diciptakan Sang Gurqai. Dari mereka kaum gembala-prajurit lahir. Jadi, jawab aku, Ajirai suku Jaabak; kenapa kita berhenti sembah dewa yang ciptakan kita?”

“Sang Gurqai tidak menciptakan kita seperti halnya ibu kita,” balas Ajirai, melipat jubahnya dan duduk berhadapan dengan tuan rumah. “Kedelapan Dewa Lama cuma tanam benih Pohon Ibu, dan Sang Gurqai siram dua di antaranya pake darahnya sendiri.”

Lihat selengkapnya