Bastards' Last Argument

Zangi al'Fayoum
Chapter #22

Tupai Hitam


Bumi fana begitu tua. Ia melewati banyak zaman dan masa, dihuni oleh bermacam-macam kaum yang datang-pergi silih berganti. Sejumlah peninggalan mereka masih tersisa sampai sekarang.—Perang Empat Bajingan, Safia al'Nukhar

 

KAHAQ MENGUSAP pedangnya pada batu asah, berkali-kali, menciptakan irama desah besi yang kasar. Bagian pinggang ke bawahnya telanjang, mulut menggumamkan hitungan. Hal ini mengingatkannya pada masa lalu, ketika dia dan Laon Toar masih bertempur berdampingan melawan para Pejuang Lembah. Ada seorang rekannya yang lain. Fang si Gembel mereka menyebutnya. Manusia nista yang menolak segala bentuk kehigienisan macam mandi, cuci muka, atau gosok gigi. Dia pandai berkelahi, tapinya. Manusia paling pandai berkelahi di dunia, sejauh pengetahuan Kahaq.

Toar sendiri selalu menghilangkan asahannya. Tak heran, sebenarnya. Dia bertarung macam orang gila, jadi wajar saja kalau barang-barangnya berjatuhan. Pria itu juga sering kehilangan pipa dan rumput rokoknya. Karenanya hampir setiap hari dia meminjam punya Kahaq—beberapa bahkan belum dikembalikan sampai sekarang. Di mana Toar sekarang? Dia sudah berhenti jadi cantrik dan diangkat sebagai Rimbawan Hutan Bersiul? Pastinya dia masih ada di sana. Andai Kahaq punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi, dia berniat untuk menagih utang-utang dan ganti rugi soal barangnya yang Toar hilangkan.

“Bukannya Abdi Malam memakai pedang lurus?” tanya Hanan tiba-tiba. Mata dan tangannya masih sibuk dengan jarum, benang, dan kain, mencoba memperbaiki celana Kahaq yang sobek lebar di bokongnya gara-gara salah duduk. “Aku pernah lihat Abdi Malam di Su Aqthi. Yang sudah diringkus, tapi aku memang lihat pedang mereka. Lurus dan bermata dua.”

“Kaltik,” sahut Kahaq. Jarinya menyentuh mata pedang—dia mengumpat kala kulitnya teriris. “Itu namanya. Bilah melengkung lebih superior dalam tebasan, cocok untuk melawan musuh yang berzirah ringan; tapi untuk menembus zirah berat, bilah lurus lebih unggul.”

“Haqa bisa memakai pedang melengkung?”

“Aku ini Kahaq Tupai Hitam, bukan bocah petani di kebun jagung. Tentu saja aku bisa. Aku pernah memakai hampir semua jenis senjata. Sebenarnya, itu hal umum di dalam perang asli.” Kahaq menyarungkan pedangnya dan mengusap-ngusap darahnya ke balik baju. “Kau tak tahu bagaimana kacau balaunya pertempuran. Lebih semrawut dari pasar mana pun di dunia. Darah dan keringat muncrat dari segala arah. Tambah air kencing. Kadang gagang pedang lepas gara-gara licin. Kau mesti pakai apa pun yang ada di dekatmu dalam situasi macam itu. Aku sendiri pernah mencolok mata seorang prajurit sampai mati dengan pipa rokokku.”

Teringat akan pipa dan rumput rokok yang baru saja dia beli dengan uang penjualan kulit, Kahaq mengambil tasnya dan mengeluarkan kedua benda itu. “Dulu aku punya pedang sakti. Al’Tudah namanya—Nanah. Dibuat oleh citraleka di Rawa-Rawa Berkabut ... nah, tepatnya, rawanya jadi berkabut gara-gara dipakai tempat menempa Nanah. Aku kehilangannya dalam Pertempuran Min Thalaq dua puluh tahun lalu, tertinggal di paha Raja Zahir. Kau pasti sering melihatnya dibawa-bawa si Pangeran Haram.”

“Ini.” Hanan menyerahkan celana yang baru saja dia jahit.

Kahaq buru-buru mengambil dan mengenakannya, merasa dingin karena terlalu lama mengekspos bagian bawah pinggang pada udara bebas. “Makasih.” Dia berdiri mantap, merentangkan kedua tangan dan menatapi pakaiannya sendiri: kemeja abu, celana cokelat, rompi kulit merah kekuningan. “Lebih suka hitam."

"Sebab warna malam?"

"Bukan. Cuma suka saja.”

“Aku akan menjahitkannya untukmu,” timpal Hanan, “setelah kita sampai di Anqi Thoqia, maksudku. Aku bisa menjahit pakaian. Pelayan senior di Su Aqthi mengajariku. Aku juga bisa memasak gulai ayam yang enak.”

Kahaq nyengir, setengah merasa berdosa. Malam teduhkan aku! Kenapa aku tak bisa memiliki keduanya? Kenapa aku tak bisa punya istri manis dan negeri berdaulat tempat dia tinggal? Era Malam Panjang sudah lewat. Tinggal menunggu waktu sebelum binasa. Hanya dia satu-satunya harapan!

“Ada kabar apa lagi soal jalur rahasia itu?” tanya si gadis, kelihatan sekali ingin buru-buru pergi ke Anqi Thoqia. Selama tiga hari ini, dia tak pernah henti-hentinya menanyakan negeri tempat Kahaq mengabdi. Tupai Hitam mengatakan yang sebenarnya: Anqi Thoqia bukan tempat yang indah, tapi memanglah adil dan makmur. Tak ada bangsawan di sana. Semua orang sama. Semua orang punya kesempatan untuk berjaya. Semua orang bebas melakukan kehendaknya. Pejabat negeri dan perwira militer dipilih bukan karena keturunan, tapi karena kemampuan. Segalanya berjalan dengan tertib, bergerak dengan aturan-aturan yang Sang Malam sendiri buat. Tak ada penindasan atau kejahatan.

“Tak ada,” jawab Kahaq, menepuk-nepuk kepala si gadis yang rendah. “Aku curiga jalan masuknya ada di telaga.” Selama tiga hari dia tinggal di Dal Tolihin, Kahaq sudah bolak-balik dari ujung utara ke ujung selatan, dari tepi barat sampai tepi timur. Usahanya untuk mencari Tembusan Besar berjalan di tempat, hampir sia-sia.

Kala hujan besar datang dan membuat orang-orang enggan pergi keluar, Kahaq coba-coba menyelinap ke Benteng Api. Bukan hal yang mudah untuk menyeberangi parit dan memanjat tebing tanpa ketahuan. Ketika berada di dalam pun, Kahaq tak bisa mengintai sampai ke jantung bangunan. Benteng Api bukan Su Aqthi. Si Abdi Malam sama sekali tak tahu bentuk pasti bangunannya, rute-rutenya, jadwal patroli, serta rutinitas-rutinitas penghuninya.

“Telaga Lumut?” Hanan mengerutkan alisnya. “Kenapa dengan tempat itu? Kita pernah lihat-lihat ke sana. Tak ada apa-apanya.”

Telaga Lumut terletak di ujung utara kota, berbatasan dengan tebing kapur, tak terlalu jauh dari Benteng Tohen. Airnya sendiri berasal langsung dari Air Terjun al'Katsar, berbentuk kolam yang lebar dan memanjang—sekitar dua puluh depa kali lima puluh. Lumut air—yang jadi asal nama tempat tersebut—tumbuh subur di sisi yang berdekatan dengan tebing.

Kahaq dan Hanan pernah coba-coba memancing ikan di sana dan mendapatkan tiga ekor. Juru masak penginapan merebusnya jadi sup paling lezat yang pernah Kahaq ingat. Diam-diam, Hanan meminta si juru masak mengajarinya—tapi tak terlalu diam sampai-sampai lepas dari perhatian Kahaq.

“Aku pernah coba-coba berenang di sana,” Kahaq mengaku.

Kerut makin dalam di kening Hanan, ditambah pula dengan sorotan mata heran. “Sama anak-anak kota?” Di hari mereka memancing, memang ada beberapa bocah tengik yang berenang di telaga. Para orang dewasa mengusirnya karena menakut-nakuti ikan.

“Jangan tatap macam aku ini anak nakal yang susah diatur. Umurku sudah lewat tujuh puluh,” protes Kahaq. “Aku berenang sendiri ketika bulan terbit. Bukan ... uh ... tepatnya ‘menyelam’. Aku mencari lubang masuk ke Terusan Besar di sana, kira saja tersembunyi oleh air. Cahaya bulan menembus sampai ke dasar telaga, jadi aku bisa lihat dengan cukup jelas.”

Sesaat pertama, Hanan bertanya dengan terpukau, “Haqa berenang sambil telanjang bulat?” Sesaat kedua, Hanan menutup mulut dan coba meralat perkataan sebelumnya. “Ketemu, kah? Jalan masuknya.”

“Tidak,” Kahaq menimpali dengan masam. “Telaganya dalam. Kucoba mengukurnya dengan tongkat, lima depa panjang, dan itu pun tak sampai ke dasarnya! Kata bocah-bocah yang sering berenang di sana, tak ada yang pernah tahu di mana dasar telaga itu. Kecuali kalau aku diikat ke batu, susah buatku untuk menyelam sedalam itu.” Kahaq bersin. “Apa lukaku kelihatan?”

Hanan menjulurkan tangan dan memperbaiki posisi serban di leher Kahaq. “Sudah. Tidak lagi.”

Terompet berbunyi, tanda kalau bulan sudah menyentuh puncak-puncak tajam Pegunungan Kelopak Atas. Itu juga tanda kalau makanan sedang disiapkan di aula Tupai Bakar—Kahaq tak kunjung menyukai nama dari penginapan itu. Butuh waktu satu jam lagi sebelum orang-orang berkumpul dan membuat keramaian, tapi Hanan tak pernah suka keramaian. Jadi, mereka berdua turun dari kamar saat itu juga.

Kahaq mengulurkan tangan, menawarkan bantuan untuk berjalan. Hanan bilang kalau kakinya sudah baikan sekarang. Seorang tabib mengobatinya dengan ramuan herbal dan salep, juga dengan sedikit api dan uap air berisi sesuatu yang mencurigakan. Kecuali Kahaq, tak ada yang tahu kalau itu merupakan ilmu peninggalan era pagan—termasuk sang tabib sendiri.

Di aula penginapan, cuma ada sedikit orang yang terlihat, tak lebih dari jumlah jari di tangan. Nasyah—gadis pelayan yang sering Kahaq ajak mengobrol—melempar senyum centil pada Kahaq, tak melihat Hanan yang setengah bersembunyi di belakang punggung si Abdi. Dua gadis itu tak pernah bicara, tapi entah kenapa Kahaq tahu kalau hubungan mereka kurang akur. Entah kenapa.

Kahaq memesan ayam gulai, telur rebus, ikan panggang, ditambah bongkahan roti hitam. Berbeda dengan Hanan yang makan sedikit dan pelan, Kahaq melahap hidangannya macam orang kesurupan. Kebiasaan yang dia bawa dari perang berkepanjangan, ketika tak ada yang tahu kapan musuh menyerang, ketika tak ada yang tahu kapan kematian datang. Beberapa kali pria itu hampir tersedak, tapi langsung dibilas dengan beberapa teguk arak jelek. Itu sudah gelas yang ketiga, dan Kahaq masih bisa minum beberapa lagi.

“.... Ada perang di Nu Sarba,” ujar seorang pria yang duduk tak jauh dari meja Kahaq. Aula penginapan mulai ramai. “Potong lidahku kalau aku mengada-ngada. Aku dengar dari temanku yang punya ayah yang punya teman seorang pedagang yang kabur dari Nu Sarba.”

Itulah yang namanya mengada-ngada, sobat. Kahaq menyeringai geli. Dia teringat kala masih menjadi pengintai di Min Thalaq, ketika dia dan rekan-rekannya adu bualan dengan bilang: “Aku dengar dari temanku yang dengar dari temannya yang punya ayah yang berteman dengan seorang anu yang anu yang anu anu anu ....” Di antara mereka, Kahaq-lah yang paling jago membual.

“Ada pengepungan di sana,” lanjut si tukang ngibul. “Datang dari laut, membawa ratusan kapal perang. Abdi Malam, pastinya. Dipimpin oleh Jenderal Tinggi yang baru diangkat oleh Sang Malam sendiri. Panji-panji merah putih dengan gambar pohon dan tupai.”

Hal pertama yang Kahaq pikir adalah: Yang benar pohon dan belati berlekuk-lekuk, goblok! Lalu: Setidaknya dia tak membuat kebohongan dari kebohongan. Kebohongan yang baik itu selalu berasal dari kebenaran yang dimanipulasi. Kemudian: Mereka bukan Abdi Malam. Kenapa semua orang selalu main menyalahkan kami saja? Dan akhirnya: Malam teduhkan aku! Yang dia maksud adalah para pelaut asing sialan itu! Mereka menyerang Nu Sarba!

Dengan paha ayam masih menyumpal mulut, Kahaq memberi tanda agar Hanan tetap duduk sementara dia meraih cangkirnya dan pergi ke meja si tukang ngibul—Dia tidak ngibul! Cengiran lebar dia persembahkan kepada tiga penghuni meja tetangga yang menatapnya kala Kahaq duduk bersama mereka tanpa izin. “Maaf, sobat. Maaf tuan-tuan sekalian. Aku sedang makan dengan istriku dan tak sengaja ... kau tahu maksudku ... mendengar apa yang tuan yang baik ini bicarakan.” Kahaq mengangguk pada si pembual. “Aku ... aku seorang pedagang juga. Aku ingin pergi ke Nu Sarba, rencananya begitu. Membeli batu hias di sini dan menjualnya di sana. Tapi, tapi, tapi ... apakah aku tak salah dengar?” Kahaq meneguk cangkir araknya, merasa kering di tenggorokkan. “Apa memang ada perang di Nu Sarba? Pengepungan? Kalau memang begitu ... kau tahu apa maksudku ... bakal lebih menguntungkan untuk membawa makanan ke sana. Yah ... buah, gandum, asinan, apalah-apalah. Apa aku benar?”

Si pembual membiarkan rahangnya jatuh, membuat mulutnya yang bau terbuka lebar-lebar. Tentunya dia tak pernah mendengar orang yang bicara sepanjang dan secepat Yasha ibn Ruslar ini. “Ya, kau tak salah dengar,” ujar si pembual pertama-tama. Lalu, “Demi Penguasa Hari, siapa pula kau ini!”

“Pedagang keliling yang kebetulan lewat Dal Tolihin bersama istrinya bernama Yasha ibn Ruslar. Maksudku ... aku Yasha ibn Ruslar, bukan istriku.” Kahaq tergelak macam orang gila, dan dia hampir saja merengut karena malu sendiri dengan kelakuannya. “Istriku adalah gadis manis yang sedang makan di sana. Manis, bukan? Tapi dia pemalu dan pecemburu, percayalah. Namanya—”

“Berhenti bicara, Nak! Demi Sang Pencerah dan Tujuh Belas Pertama!” bentak pak tua bergigi hitam yang duduk di sebelah kirinya.

Kahaq terlalu fokus ada si tukang ngibul, dan kini, dia akhirnya sadar. Si penjaga gerbang! Kahaq menoleh ke sebelah kanan, mendapati penjaga gerbang yang lain. Tak salah lagi. Dia tak mengenakan zirah sekarang, tapi Kahaq tak mungkin lupa dengan kumis timpang yang terbakar sebelah itu!

Dengan wajah terpukau, Kahaq membuka mulutnya lebar-lebar, siap untuk menyatakan keterkejutannya dengan panjang dan lebar, tapi si gigi hitam buru-buru angkat tangan. “Jangan bicara, Nak. Aku tahu kalau kau ‘bahagia’ buat ketemu lagi dengan kami, tapi jangan bicara. Aku sedang pusing. Sudah seminggu ini gigiku sakit.” Pak tua itu menyesap giginya dengan berkerut-kerut. “Ya Tuhanku Sang Pencerah! Kalau aku tahu dirimu menginap di Tupai Bakar, tak bakal aku datang ke sini!”

“Tenang, Abba Ismir. Makanan di sini enak, tapi pemilik penginapannya galak.” Si Kumis Timpang tertawa hambar. “Dan kau, Yasha ibn Ruslar”—sela si Kumis Timpang waktu Kahaq buka mulut—“tutup bacotmu, Bung. Demi kedamaian di dunia! Kau adalah teman perjalanan yang menjengkelkan, kalau mau jujur. Tak heran kalau istrimu bacok dirimu waktu kalian lewat jalanan sepi. Aku tak membual! Ada patroli yang kembali dari Jalur Semut. Mereka menemukan kuburan seorang pria dekat hutan. Dibunuh, tentunya. Mungkin gara-gara dia kelewat banyak bicara di dekat orang yang sedang sakit gigi.”

Kahaq hampir saja melompat tatkala mendengar kabar sialan itu. Malam sembunyikan aku! Akan kumakan sepatuku kalau itu bukan si pedagang kulit yang kubunuh tempo hari! “Tentu, tuan sobat prajurit yang baik. Sakit gigi memang menyiksa.” Tapi tak mengherankan kalau gigimu hitam begitu! “Mertuaku sering sakit gigi, dan aku sering dibentak pula gara-gara ....” Kahaq berhenti bicara, kena pelotot si Gigi Hitam. Dia berdehem dan mengganti topik. Dia tak peduli kalau mesti kena pelotot untuk pertanyaan yang satu ini. “Jadi ... kira-kira siapa yang bunuh lelaki itu. Lelaki yang dikubur itu, maksudku. Istrinya?”

“Abdi Malam,” timpal si Kumis Timpang, jengkel—bukan karena Kahaq banyak bicara, tapi karena kata “Abdi Malam”. Dia pasti sudah meludah delapan kali seandainya mereka ada di penginapan yang pemiliknya tidak terlalu galak. “Kami menemukan darah hitam celaka mereka di dekat kuburan.”

Tahi! Tahi saja diriku! Bagaimana mungkin seorang pengintai kawakan macam aku bisa lepas dari hal sepele begitu! “Abdi Malam! Ya Tuhan! Ya Tuhan!” Kahaq gemetar hebat—setengah pura-pura terkejut, setengah benar-benar terkejut. “Di Lembah Adal!”

“Tempat ini tak pernah sekali pun ditembus Abdi Malam,” si Tukang Ngibul bergumam. “Tak pernah sekali pun, bahkan ketika Lidah Laknat membunuh Obor Merah dan Putri Mentari, kita masih tetap bertahan.”

Kahaq batuk. Tangannya menggerak-gerakkan kerah jubah yang menutup bekas luka di lehernya. Jangan sampai mereka lihat ini. Jangan sampai mereka lihat ini. Semoga Malam sembunyikan aku!

“‘Lidah Laknat’,” si Gigi Hitam mencemooh, menyesap giginya, lalu melanjutkan, “mungkin maksudmu ‘si Bugil’.”

Tak ada Abdi Malam yang lebih dibenci daripada Kahaq di sini—yang bahkan melebihi kebencian terhadap Sang Malam sendiri. Kalau sampai mereka tahu aku adalah si Kahaq—peduli setan mau itu Lidah Laknat atau si Bugil atau Tupai Hitam atau apalah-apalah!—aku bakal mati. Sang Abdi menegak cangkir araknya—yang rupanya sudah kosong. Bulir keringat dingin menetes dari pelipis. Tidak. Lebih buruk dari mati. Pastinya begitu. Kuharap aku bisa mengirim Hanan ke Dvanticar dulu sebelum mereka menghakimiku.

“Lari telanjang gara-gara mau digorok oleh Kihisa sang Bunga—semoga Sang Pencerah berkati ruhnya dan terangkan jalannya.” Si Kumis Timpang menyesap habis cangkirnya, mendesah, lalu menepuk dada dengan goyah. Dari wajahnya yang memerah, kelihatan kalau dia mulai mabuk oleh arak jelek itu. “Dia akan selalu jadi pahlawan. Ketika Min Thalaq takluk di Pemberontakan Selir Fatia, si bajingan Bugil membunuh putra dan putri Kihisa, memerkosanya beramai-ramai, lalu menyeretnya dengan kuda sampai meninggal. Mayatnya dibuang di perbatasan, tersula oleh pasak dari bokong sampai ubun-ubun. Dasar makhluk laknat!”

Tunggu, tunggu, tunggu! Aku memang membunuh Altaf Tupai Muda, tapi sisanya fitnah itu! Kendati demikian, Kahaq cuma bisa duduk lemas di kursinya, tak mampu membela diri. Bagi orang-orang Tu Adal, Kahaq adalah sosok busuk berhati iblis yang tak memiliki nurani. Bodoh! Tak akan pernah ada iblis yang mampu mengumpulkan ratusan ribu pengikut!

Kahaq sedang meminta arak tambahan pada Nasyah ketika si Kumis Timpang tiba-tiba nyeletuk, “Oh, benar. Kau bilang kalau kau dan istrimu datang dari Qrak. Kau lewat Jalur Semut, kan? Kau tak mungkin terbang buat datang ke Lembah. Apa kau lihat sesuatu yang aneh waktu lewat? Dilihat dari kondisinya, mayat pria itu tak lebih dari tiga hastawara umurnya—mungkin dua.”

Lihat selengkapnya